Riset AJI: Jurnalis Perempuan di Lampung Masih Minim Perlindungan

- Mayoritas jurnalis perempuan bekerja di Bandar Lampung, dengan usia produktif dan pengalaman kerja bervariasi.
- Jam kerja panjang, gaji di bawah UMP, dan minimnya tunjangan menjadi masalah utama yang dihadapi jurnalis perempuan.
- Tekanan mental, diskriminasi, dan minimnya ruang aman juga menjadi sorotan riset terhadap kondisi kerja jurnalis perempuan di Lampung.
Bandar Lampung, IDN Times - Kondisi kerja jurnalis perempuan di Lampung masih menghadapi beragam tantangan. Mulai dari jam kerja panjang, upah di bawah standar, minimnya jaminan sosial, hingga tekanan psikologis saat meliput isu sensitif.
Gambaran ini terungkap dalam riset yang dilakukan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung melalui pemetaan kondisi kerja jurnalis perempuan. Riset bertajuk Pemetaan Kondisi Kerja Jurnalis Perempuan di Lampung ini dilakukan pada 4–25 November 2025 dan melibatkan 47 jurnalis perempuan dari berbagai wilayah di Provinsi Lampung.
Hasilnya menunjukkan, persoalan struktural di industri media masih berdampak langsung pada kesejahteraan dan keamanan jurnalis perempuan.
1. Mayoritas jurnalis perempuan bekerja di Bandar Lampung

Berdasarkan hasil survei, mayoritas responden atau 61,7 persen bertugas di Bandar Lampung. Sementara itu, sisanya tersebar di berbagai wilayah seperti Provinsi Lampung (12,8 persen), Way Kanan (6,4 persen). Serta masing-masing 2,1 persen di Lampung Selatan, Lampung Tengah, Lampung Timur, Lampung Utara, Lampung Barat, Pringsewu, Tulang Bawang Barat, Tanggamus, dan Kota Metro.
Dari sisi usia, sebagian besar jurnalis perempuan berada pada rentang usia produktif. Sebanyak 40,4 persen berusia 31–40 tahun, disusul usia 21–30 tahun sebesar 38,3 persen. Sementara itu, jurnalis perempuan berusia 41–50 tahun tercatat 12,8 persen dan usia 51–60 tahun sebesar 8,5 persen.
Jika dilihat dari pengalaman kerja, 44,7 persen responden telah bekerja sebagai jurnalis selama 1–5 tahun. Kemudian 27,7 persen memiliki pengalaman 11–15 tahun, 17 persen selama 6–10 tahun, dan sisanya di atas 16 tahun. Dari sisi jabatan, 70,2 persen masih berada di posisi reporter atau jurnalis, disusul redaktur 17 persen dan pemimpin redaksi 6,4 persen.
2. Jam kerja panjang, gaji di bawah UMP dan minim tunjangan

Riset AJI Bandar Lampung mencatat lebih dari separuh jurnalis perempuan bekerja dengan jam kerja cukup tinggi. Sebanyak 51,1 persen bekerja selama 40–50 jam per minggu.
Bahkan, 29,8 persen bekerja lebih dari 50 jam per minggu. Meski demikian, sebagian besar media sudah menyediakan jam istirahat khusus, yakni sebesar 95,7 persen.
Persoalan upah masih menjadi masalah krusial. Sebanyak 38,3 persen responden mengaku tidak mendapatkan gaji rutin per bulan.
Bahkan, 29,8 persen menyebutkan gaji dibayarkan secara dicicil. Dari sisi besaran gaji, masih terdapat jurnalis perempuan menerima upah di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP) Lampung sebesar Rp2.893.070. Tercatat 34 persen menerima gaji Rp1–2 juta, 6,4 persen bahkan di bawah Rp1 juta.
Selain itu, fasilitas dan jaminan kerja juga masih minim. Sebanyak 34 persen media belum menyediakan asuransi kesehatan dan 42 persen belum memberikan Jamsostek.
Mayoritas responden juga tidak mendapatkan tunjangan makan (63,8 persen), tunjangan telekomunikasi (66 persen), tunjangan transportasi (66 persen), dan tunjangan dinas malam (85,1 persen).
3. Tekanan mental, diskriminasi, dan minimnya ruang aman

Tak hanya persoalan kesejahteraan, riset ini juga menyoroti tekanan mental yang dialami jurnalis perempuan. Sebanyak 40,4 persen responden mengaku kadang-kadang mengalami stres saat bekerja.
Sumber tekanan terbesar berasal dari beban kerja 25,5 persen, deadline 23,4 persen, narasumber 14,9 persen, dan tekanan atasan 12,8 persen.
Dalam konteks keamanan saat bertugas, masih ada 44,7 persen jurnalis perempuan merasakan diskriminasi. Selain itu, 23,4 persen responden mengaku pernah mengalami pelecehan seksual, baik secara verbal, fisik, maupun online. Rasa cemas juga kerap muncul saat meliput isu sensitif, dialami oleh 63,8 persen responden.
Sayangnya, tingginya tekanan tersebut belum diimbangi dengan dukungan memadai dari perusahaan media. Sebanyak 59,6 persen responden menyatakan tidak mendapatkan dukungan psikolog atau konseling, dan 51,1 persen mengaku tidak memiliki ruang aman di tempat kerja.
Meski demikian, 55,3 persen menyebut media tempat mereka bekerja telah memiliki kebijakan untuk melindungi jurnalis dari trauma liputan berat.

















