LBH Bandar Lampung Desak APH Ungkap Tindakan Kekerasan Ormawa Unila

- LBH Bandar Lampung mendesak aparat penegak hukum usut tuntas kekerasan organisasi kampus di Unila, yang menyebabkan hilangnya nyawa seorang mahasiswa.
- Pihak kampus diduga terlibat dalam menutupi kasus dan melakukan intimidasi terhadap korban, serta tim investigasi bekerja secara tertutup.
- Pelaku kekerasan di lingkup pendidikan dapat diancam dengan pidana 7-12 tahun, sementara LPSK didorong untuk memberikan perlindungan bagi korban.
Bandar Lampung, IDN Times - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung mengecam dan mendesak aparat penegak hukum mengusut tuntas dugaan tindakan kekerasan organisasi kampus terjadi di lingkungan pendidikan Universitas Lampung (Unila).
Kepala Divisi Advokasi LBH Bandar Lampung, Prabowo Pamungkas mengatakan, tidak ada alasan pembenar apapun terhadap kekerasan yang dilakukan oleh organisasi kampus dalam melakukan kaderisasi di lingkup pendidikan Unila
"Aparat penegak hukum wajib mengungkap dan menindak tegas dugaan peristiwa Diksar maut yang menyebabkan hilangnya nyawa seorang mahasiswa," ujarnya dimintai keterangan, Senin (2/6/2025).
1. Pihak kampus diduga ikut terlibat

Bowo melanjutkan, peristiwa menimpa korban mahasiswa Pratama Wijaya Kusuma pada akhir 2024 lalu baru terkuak baru-baru ini. Itu lantaran diduga adanya keterlibatan pihak-pihak kampus dalam mendiamkan kasus tersebut.
Termasuk anggota Ormawa melakukan sejumlah intimidasi, dengan meminta melakukan persetujuan sepihak, agar tidak melakukan penuntutan terhadap insiden memakan korban jiwa tersebut.
"Meskipun Unila dalam hal ini pihak rektorat dan juga dekanat FEB telah membentuk tim investigasi, namun diketahui tim tersebut bekerja secara tertutup untuk menghindari tekanan dari pihak-pihak yang tidak diinginkan," tegasnya.
2. Desak investigasi libatkan aparat penegak hukum

Menurut Bowo, klaim dilakukan pihak perguruan tinggi ini tentu mengundang tanda tanya. Sebab, pengungkapan kasus harus menggunakan pendekatan transparan dan juga akuntabel melibatkan aparat penegak hukum.
Harapannya, agar hasil investasi dapat jelas dan terang benderang, serta memberikan keadilan bagi korban maupun pihak keluarga yang ditinggalkannya.
"Sebagai institusi pendidikan, Unila tidak pernah belajar dari pengalaman, mengingat peristiwa serupa sudah berulang kali terjadi dan bukan kejadian pertama kali. Tidak ada evaluasi secara mendalam bagi ormawa-ormawa yang disinyalir masih melakukan kekerasan dalam aktivitas kaderisasi," seru dia.
3. Impunitas bongkar perilaku kekerasan

Berkaca terhadap akibat tindakan kekerasan telah menghilangkan nyawa korban tersebut, Bowo menambahkan, para pelaku di lingkup pendidikan dapat diancam dengan tindak pidana kekerasan yang dilakukan secara bersama-sama, sebagaimana diatur dalam Pasal 170 ayat (1) dan (2) KUHP.
Ancamannya, pidana maksimal hukuman penjara 7-12 tahun baik pelaku menyebabkan luka ringan, berat atau hilangnya nyawa seseorang. Sementara itu, pihak civitas akademik diduga terlibat dalam menutupi kasus ini bahkan sampai mengintimidasi juga mesti diberikan sanksi tegas oleh Unila.
"Sanksi tegas kepada orang yang terlibat dalam kasus ini diharapkan dapat meretas impunitas yang berlangsung. Impunitas dalam membongkar perilaku kekerasan di lingkup pendidikan yang menyebabkan peristiwa ini terus saja berulang," imbuhnya.
4. Dorong LPSK turun

Bowo menambahkan, korban merupakan peserta Diksar juga wajib dilindungi dan didengar kesaksiannya. Itu karena berdasarkan informasi yang beredar, dari enam peserta Diksar yang menjadi korban, hanya satu orang berani untuk melaporkan peristiwa tersebut.
"Maka dalam hal ini lembaga perlindungan saksi dan korban (LPSK) juga dapat didorong, untuk memberikan layanan perlindungan bagi korban untuk menjamin proses penegakkan hokum yang sedang berlangsung," desak Bowo.