Kisah PW, Berjuang Melawan HIV/AIDS di Tengah Stigma

- PW, seorang ibu di Bandar Lampung, merasa campur aduk saat mendengar putranya positif AIDS
- PW menunda tes HIV/AIDS karena takut, akhirnya dinyatakan positif setelah menjalani tes bersama anak pertamanya
- Setelah kehilangan suami dan anak keduanya, PW rutin menjalani terapi ARV di puskesmas terdekat
Bandar Lampung, IDN Times - PW, perempuan 38 tahun merasa campur aduk, marah, sedih dan bingung, saat mendengar vonis dokter putra keduanya positif mengidap AIDS. Namun, ia tak tahu harus melampiaskan amarah itu kepada siapa. Pernyataan tersebut datang bagai petir di siang bolong, mengguncang kehidupan PW.
Kejadian itu terjadi sekitar 2018, ketika putranya baru berusia 2 tahun 8 bulan. Awalnya, PW hanya mengira anaknya mengalami sakit biasa, seperti demam atau flu.
Ia sama sekali tidak menyangka gejala yang muncul merupakan tanda dari penyakit serius dan menakutkan. Bagaimana seorang anak yang masih begitu kecil bisa menghadapi kenyataan seberat ini.
Bagi PW, kabar tersebut menjadi awal dari perjalanan panjang penuh perjuangan, penyesuaian diri, dan upaya menemukan harapan di tengah badai. “Waktu dokter bilang anak saya positif itu, kaki saya rasanya lumpuh sampai gak bisa jalan dan gak ada semangat hidup. Kata dokter, anak saya tertular dari saya, dan saya tertular dari suami saya," jelasnya.
"Jadi saya pengin marah tapi gak tahu mau marah sama siapa. Terus saya mengingat lagi, anak saya butuh saya, jadi semua pertanyaan-pertanyaan yang gak ada jawabannya itu saya kesampingkan. Sampai suami saya meninggal pun saya gak pernah tanya apa yang dia lakukan di luar sana. Terserah dia mau ngapain, intinya waktu itu anak yang paling utama,” cerita PW kepada IDN Times, Jumat (9/11/2024).
1. Perjalanan melawan HIV/AIDS

Setelah mendengar pernyataan dokter anaknya positif AIDS dan dokter menyarankan agar ia dan suaminya segera memeriksakan diri agar bisa dilakukan pengobatan. Namun, PW masih belum memiliki keberanian untuk melakukan tes.
Namun, rasa takut dan kebimbangan membuat PW belum berani mengambil langkah itu. Selain itu, PW juga merasa tubuhnya baik-baik saja.
Selama hampir satu tahun, PW terus menunda untuk melakukan tes. Ketakutan akan hasil yang mungkin ia terima menjadi beban yang sulit diatasi. Akhirnya, setelah melalui berbagai pergulatan batin, PW memberanikan diri untuk menjalani pemeriksaan bersama anak pertamanya. Hasilnya, ia dinyatakan positif, sedangkan anak pertamanya dinyatakan negatif.
Momen itu menjadi titik balik dalam hidupnya, sebuah realitas yang harus dihadapi dengan keberanian dan kesadaran perjalanan ini adalah bagian dari perjuangannya sebagai seorang ibu dan seorang penyintas.
“Setelah saya tes dan dinyatakan positif, saya minta suami juga tes. Tapi dia gak mau karena merasa sehat-sehat aja. Padahal waktu itu dia juga udah sakit, kulitnya udah melepuh dan bersisik gitu. Tapi dianggepnya itu alergi penyakit kulit biasa. Tapi setelah aku paksa cek, ternyata positif. Setelah itu selama tiga bulan dia terapi dan langsung sembuh kaya biasa lagi. Akhirnya balik merantau kerja lagi,” ujarnya.
2. Penyesalan, perjuangan dan kehilangan

PW mengenang kembali penyesalannya karena saat hamil dulu tidak terpikir untuk melakukan tes HIV/AIDS. Menurutnya, pada 2016, belum ada imbauan kuat agar ibu hamil menjalani tes tersebut. Saat mengandung anak keduanya, ia merasa sehat-sehat saja, dan kehamilannya berjalan normal. Bahkan, bayinya lahir tanpa ada indikasi penyakit apa pun.
Namun, keadaan berubah drastis ketika sang anak berusia 2 tahun. Anak itu mulai sering demam dan batuk, gejala yang awalnya dianggap PW sebagai penyakit biasa. Ia hanya memberikan obat-obatan umum untuk mengatasi demam dan batuk, tanpa pernah menduga itu adalah tanda-tanda AIDS.
Kondisi sang anak terus memburuk hingga akhirnya PW memutuskan untuk membawanya ke rumah sakit besar. Setelah melalui serangkaian tes, dokter mendiagnosis putranya positif AIDS.
“Saat itu kondisi anak saya sudah drop banget. Jantungnya kena, fungsi hati, paru-paru mati sebelah. Yang bikin saya sakit banget harus liat dia minum obat tiap hari, bahkan menjalani operasi. Pokoknya apa pun saya lakukan demi kesembuhan anak saya. Kalau saya sendiri ya sambil terapi juga tapi gak merasakan sakit, karena saya waktu itu udah bahagia bisa liat anak saya bertahan hidup,” tuturnya sambil terisak.
Namun, kebahagiaan PW melihat perjuangan sang anak ternyata tidak bertahan lama. Di usia 9 tahun, putranya harus menyerah pada penyakitnya dan meninggal dunia. Kepergian sang anak membuat PW merasa hancur dan kehilangan harapan hidup. Belum selesai duka itu, setahun lebih setelah anaknya meninggal, PW kembali kehilangan suaminya karena kondisinya semakin memburuk selama di perantauan.
“Suami saya meninggal baru aja 100 hari kemarin ini. Sebenarnya selama dia di perantauan saya rutin kirim obat tapi gak tahu diminum atau gak. Kondisinya di sana ternyata makin parah dan saya dapat telepon dari rumah sakit kalau sudah meninggal. Langsung saya bawa pulang ke Lampung,” tuturnya dengan suara lirih, mengenang duka yang belum hilang.
3. Bertahan dan berjuang melawan HIV/AIDS di tengah stigma

PW mengungkapkan, akses pengobatan HIV/AIDS di Lampung saat ini sudah cukup mudah. Setelah kehilangan anak keduanya, PW memutuskan untuk tidak lagi menjalani terapi di rumah sakit besar karena biaya transportasi yang dirasa terlalu mahal.
Sebagai gantinya, ia berpindah ke puskesmas terdekat yang lebih terjangkau dan kini rutin melakukan terapi serta menebus obat Antiretroviral (ARV) yang harus dikonsumsinya seumur hidup.
“Alhamdulillah, sekarang saya sehat dan baik-baik saja karena saya patuh terapi ARV. Biayanya juga sudah ada subsidi dari BPJS, meskipun tidak sepenuhnya. Kalau dulu kan harus bayar sekitar Rp900 ribu sampai Rp1 juta untuk obat. Tapi sekarang, ke puskesmas hanya perlu bayar biaya pendaftaran saja,” jelas PW.
Selain berjuang menjaga kesehatannya, PW harus bekerja keras untuk menghidupi anak sulungnya yang masih sekolah. Di tengah perjuangan itu, ia memilih untuk merahasiakan penyakitnya, bahkan dari keluarganya sendiri, demi melindungi anaknya dari stigma dan diskriminasi.
“Ini kan penyakit yang masih awam bagi masyarakat. Kalau saya pribadi sebenarnya tidak takut, tapi saya kasihan sama anak saya. Dia masih remaja, takutnya nanti dia yang kena stigma dan diskriminasi. Soalnya dulu salah satu kakak saya tahu soal penyakit ini, dan dia sempat menjauh, bahkan gak mau datang lagi ke rumah,” katanya lirih.
Untuk mendapatkan dukungan dan edukasi, PW bergabung dengan komunitas HIV/AIDS di Lampung. Baginya, komunitas ini adalah tempat untuk berbagi pengalaman, mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang penyakitnya, dan menemukan kekuatan dari orang-orang yang menghadapi perjuangan serupa.
4. Kota Bandar Lampung menjadi daerah paling tinggi kasus HIV/AIDS

Menurut data dari Advocacy Officer Wahana Cita Indonesia (WCI) pada 2023, diperkirakan sekitar 5.600 hingga 6.000 orang di Provinsi Lampung terinfeksi HIV/AIDS. Di antara jumlah tersebut, sekitar 2.900 di antaranya adalah anak-anak.
Pada 2022, Provinsi Lampung bahkan menempati urutan ke-13 dalam daftar provinsi dengan jumlah kasus HIV/AIDS terbanyak di Indonesia. Peringkat ini meningkat signifikan dari tahun sebelumnya, di mana Lampung berada di posisi ke-21 secara nasional.
Bandar Lampung, ibu kota provinsi tercatat sebagai daerah dengan kasus HIV/AIDS terbanyak, dengan lebih dari 3.000 orang terinfeksi. Dari jumlah tersebut, sekitar 1.287 orang masih menjalani pengobatan secara rutin dan berkesinambungan.
Kini, layanan pemeriksaan dan pengobatan HIV/AIDS sudah tersedia di rumah sakit daerah dan puskesmas. Obat utama yang digunakan oleh penderita HIV/AIDS adalah Antiretroviral (ARV), yang membantu menekan jumlah virus dalam tubuh. Harga obat ARV untuk satu botol yang berisi 30 tablet adalah sekitar Rp300 ribu, dan satu botol dapat dikonsumsi untuk satu bulan pengobatan.