Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Masalah Kesehatan Mental Remaja di Lampung Meningkat Setiap Tahun

Ilustrasi gangguan kesehatan mental pada remaja (pexels.com/Liza Summer)
Ilustrasi gangguan kesehatan mental pada remaja (pexels.com/Liza Summer)
Intinya sih...
  • Kasus kesehatan mental remaja di Lampung meningkat, termasuk angka tawuran, kekerasan seksual, dan bullying.
  • Permasalahan kesehatan mental dialami remaja antara lain depresi, kecemasan, dan gangguan perilaku.
  • Usia remaja adalah masa krusial dalam mengembangkan kebiasaan sosial dan emosional yang berpengaruh pada kesejahteraan di masa depan.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Bandar Lampung, IDN Times - ES masih belum percaya, saat anak sulungnya minta diantar berobat ke Rumah Sakit Jiwa pada pertengahan 2020 lalu. Sebagai ibu yang masih awam dengan masalah kesehatan mental, ES merasa bingung dan sangat terkejut.

Untungnya, ES cepat sadar dan memahami kondisi anaknya ternyata memang sangat menghawatirkan. Sehingga, dengan sigap dia mengantarkan anaknya ke puskesmas kemudian dirujuk ke psikiater di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung.

"Sebenernya waktu dia (anaknya) ngajak konsultasi ke psikiater itu saya syok tapi untungnya saya waktu itu segera memahami kalau orang-orang seperti anak saya ini harus dapat support dari orang tuanya, harus didampangi, dimengerti dengan penuh kasih," kata ES kepada IDN Times, Sabtu (19/10/2024).

1. Berusaha maksimal demi kesembuhan anaknya

Ilustrasi orang depresi (freepik.com/freepik)
Ilustrasi orang depresi (freepik.com/freepik)

ES menceritakan masa-masa sulit dialami anaknya saat pandemik COVID-19 2020 lalu, anaknya kehilangan rasa percaya diri, kehilangan minat beradaptasi. Bahkan tidak merasakan apa yang dialami tubuhnya seperti tidak merasakan lapar atau lelah.

"Pernah satu minggu itu gak ada masuk (makan) nasi, terus berhari-hari gak tidur. Tapi kalau sudah tidur itu akan tidur terus. Secara fisik dia terlihat sehat, tapi saya perhatikan kok ada yang aneh dari anak ini, ternyata mentalnya sangat menghawatirkan," ujarnya.

Meski tak banyak mengerti tentang masalah kesehatan mental, ES berusaha semampunya untuk membantu anaknya sembuh. Selain rutin mengonsumsi obat dari psikiater, ia juga selalu meyakinkan anaknya, semua akan baik-baik saja dan keluarga selalu memberi dukungan serta mendoakan yang terbaik.

"Saya juga sering bertanya, untungnya dia mau terbuka tentang kondisinya. Saya juga kadang kaget, dia tiba-tiba nangis atau minta peluk yang kenceng dan lama. Jadi saya biarin aja, dia melampiaskan rasa sedihnya. Karena dia juga gak ngerti kenapa tiba-tiba nangis. Nanti kalau sudah tidur saya elus kepalanya sambil saya doakan terus," ceritanya.

2. Lakukan pengobatan rutin dan ada perubahan

ilustrasi merasa frustasi (pexels.com/Andrea Piacquadio)
ilustrasi merasa frustasi (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Namun ES tak membiarkan anaknya terus-terusan bergantung dengan obat untuk mengatasi kegelisahannya. Ia terus memberi nasihat bahwa diri sendiri juga harus bisa melakukan perlawanan. Selain itu ES juga mendorong anaknya untuk pelan-pelan melakukan aktivitas yang membuatnya nyaman dan semangat lagi.

Menurutnya, setelah rutin melakukan konseling dan minum obat selama 4 bulan, anaknya menunjukkan perubahan, mulai percaya diri dan memiliki minat untuk beraktivitas. Setelah lepas dari obat, anaknya masih rutin melakukan konseling secara online.

"Dari dulu anak saya terbiasa apa-apa harus perfect. Jadi dia selalu berusaha keras tapi ketika hasilnya tidak maksimal dia akan kecewa sama diri sendiri. Sebenarnya bagi orang lain pekerjaan dia udah bagus, tapi bagi dia selalu belum terlihat sempurna. Akhirnya itu menjadi tekanan buat dia sendiri karena selalu merasa tidak maksimal padahal sudah mengerjakan susah payah," tuturnya.

ES memahami, anak-anak sekarang tekanannya lebih berat sehingga sebagai orang tua ia hanya bisa memberi dukungan dan berpesan pada anak-anaknya, untuk selalu menceritakan masalah pada keluarga.

"Kalau ada apa-apa cerita sama keluarga terutama ibu dan ayah dulu, jangan ke orang lain. Walaupun misal gak ngasih apa-apa, pasti orang tua akan mendoakan yang terbaik," ucapnya.

3. Kasus kesehatan mental di Lampung meningkat

ilustrasi data analitik (pexels.com/AS Photography)
ilustrasi data analitik (pexels.com/AS Photography)

Cindani Trika Kusuma Pskilog Klinis Lampung menyebut, kasus kesehatan mental remaja di Lampung memang meningkat. Itu bisa dilihat dari naiknya angka tawuran, kekerasan seksual, bullying serta permasalahan pada gangguan psikologis yaitu diagnosa depresi, kecemasan, dan gangguan prilaku pada anak-anak berusia remaja.

“Remaja itu kan dibagi menjadi tiga kelompok, praremaja, remaja dan pascaremaja. Tapi secara usia, remaja itu anak berusia 10 sampai 19 tahun, sehingga di 19 tahun itu menuju dewasa awal,” jelas pemilik layanan psikologi di Kota Bandar Lampung ini.

Berdasarkan data Simfoni Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, kasus kekerasan berakibat fatal pada kesehatan mental remaja menjadi kasus tertinggi di Lampung. Hingga Oktober 2024, kasus kekerasan seksual sebanyak 61 persen, kekerasan fisik 22 persen dan psikis 10 persen. Dari data tersebut, korban didominasi remaja di rentang usia 13 sampai 17 tahun.

4. Permasalahan umum memicu kesehatan mental remaja

ilustrasi orang frustrasi (pexels.com/Alex Green)
ilustrasi orang frustrasi (pexels.com/Alex Green)

Cindani menjelaskan, permasalahan kesehatan mental dialami remaja saat ini seperti pobia sosial atau diagnosa lainya perlu dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu oleh tenaga kesehatan mental seperti psikiater atau psikolog. Sehingga, anak-anak remaja tidak mudah melabeli diri sendiri mengalami gangguan kesehatan mental hanya dari melihat diagnosa orang lain yang dianggap memiliki gejala sama.

“Jadi akan lebih bijaksana sebelum self diagnose, melakukan pemeriksaan ke tenaga kesehatan profesioal dulu. Apalagi yang ngecek sendiri di internet itu belum tentu akurat. Karena dari sekian gangguan psikologis, memang ada gejala yang mirip. Misal di kecemasan ada gejala menarik diri dari lingkungan sosial. Gejala itu juga ada di gangguan depresi. Atau misal stress ringan pun juga ada. Jadi memang taraf, kondisinya, latar belakangnya perlu ditelaah dulu oleh psikolog atau psikiater,” jelasnya.

Cindani mengatakan, usia remaja memang masa krusial karena menjadi proses mengembangkan kebiasaan sosial dan emosional yang nantinya itu sangat berpengaruh bagi kesejahteraan mereka di masa depan.

Menurutnya, permasalahan umum dialami remaja paling banyak adalah masalah keluarga, pendidikan seperti sekolah, proses belajar dan pertemanan. Lalu ada juga faktor lebih krusial seperti paparan kemiskinan, pelecehan dan kekerasan yang membuat remaja makin rentan terhadap masalah Kesehatan mental.

5. Era digital, akses ke psikolog lebih mudah

ilustrasi bercerita pada psikolog (pixabay.com/olegsturm)
ilustrasi bercerita pada psikolog (pixabay.com/olegsturm)

Disampaikan Cindani, klien usia remaja yang melakukan konseling di kliniknya dari tahun ke tahun meningkat. Terutama, paling signifikan setelah pandemik COVID-19. Hal itu menunjukkan kesadaran mereka meningkat untuk datang ke psikolog. Menurutnya, hampir 80 persen klien pada usia anak remaja tersebut masih dalam permasalahan kategori umum dan kategori ringan ke sedang. Sehingga, prosesnya bukan hanya terapi kategori ringan ke sedang tapi juga untuk untuk pengembangan diri proses belajar.

“Paling banyak datang dengan orang tua. Biasanya orang tua ini sudah membawa ke dokter atau spesialis anak dulu kemudian baru disarankan anak-anak ini menemui psikolog atau psikiater. Tapi anak-anak remaja juga sudah mulai memiliki kesadaran untuk mendatangi profesional jika merasa ada yang aneh dalam dirinya,” terangnya.

Menurutnya, ditengah kemajuan teknologi pesat ini, akses mendatangi psikolog atau psikiater menjadi lebih mudah. Meski di Lampung terutama di daerah-daerah pedesaan masih minim tenaga kesehatan mental, kini sudah banyak psikolog bersertifikat mengadakan konseling secara online dengan biaya terjangkau dan jarak mudah diakses.

Cindani berharap, pemerintah dan psikolog bisa mengambil peran bersama untuk terus menyuarakan dan menyadarkan bahwa, teman-teman klien dengan permasalahan psikologis ini ada dan kasusnya nyata.

"Harapannya bisa lebih digencarkan lagi untuk memahamkan bahwa mereka perlu sekali uluran tangan kita untuk bisa bertahan menjalani perkembangan usia. Sehingga mereka bisa bermanfaat dan berkontribusi di masyarakat. Minimal mereka mampu beradaptasi sehingga minim kejadian yang melukai diri sendiri atau orang sekitar," harapnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Silviana
Martin Tobing
Silviana
EditorSilviana
Follow Us

Latest News Lampung

See More

Pembunuh Pasutri di Tanggamus Terungkap! Dipicu Luka Mencurigakan

14 Des 2025, 18:53 WIBNews