Rekonstruksi Penembakan Polisi, Keluarga Korban: Penuh Kebohongan

- Proses rekonstruksi kasus penembakan oknum TNI penuh kebohongan menurut keluarga korban.
- Keluarga korban menuntut hukuman mati bagi pelaku dan merasa tidak puas dengan hasil rekonstruksi yang dianggap jauh dari kebenaran.
- Keluarga korban menyebut rekonstruksi manipulatif, penuh kebohongan, dan menuntut proses persidangan dilakukan secara terbuka.
Bandar Lampung, IDN Times – Proses rekonstruksi kasus penembakan melibatkan oknum anggota TNI, Kopda Basar, dinilai penuh kebohongan oleh keluarga korban.
Tersangka Kopral Dua (Kopda) Basar menembak tiga polisi di Way Kanan yakni Anumerta AKP Lusiyanto, Aipda Anumerta Petrus, dan Briptu Anumerta Ghalib pada penggerebekan sabung ayam, Senin (17/4/2025).
Keluarga menyatakan ketidakpuasan dan kekecewaan mendalam atas hasil rekonstruksi yang mereka nilai jauh dari kebenaran dan sarat kebohongan. Mereka menilai kasus ini sebagai pembunuhan berencana dan menuntut agar hukuman mati dijatuhkan kepada pelaku.
1. Rekonstruksi yang dilakukan tidak mencerminkan kejadian sebenarnya

Rekonstruksi dilakukan oleh Detasemen Polisi Militer (Denpom) II/4 Lampung itu digelar di Satlog 043 Garuda Hitam Korem Lampung, pada Kamis (17/4/2025). CH Dwi Haryati, kakak kandung dari Aiptu Anumerta Petrus, mengatakan rekonstruksi yang dilakukan tidak mencerminkan kejadian yang sebenarnya.
“Saya tidak puas dengan rekonstruksi ini. Itu pembunuhan berencana menurut saya. Adik saya sudah tiada, meninggalkan anak kecil yang baru ia dambakan lama. Saya tidak bisa menerima ini. Hukum seadil-adilnya, dan itu hukuman mati,” katanya.
2. Polisi telah wafat namun tetap difitnah

Hal senada disampaikan oleh Suryalini, ibu dari Briptu Anumerta Ghalib. Ia menyebut putranya telah wafat namun tetap difitnah oleh pihak yang membela pelaku.
“Sudah meninggal masih difitnah, dibilang anak saya yang menembak duluan, padahal tidak. Saya sudah tanya langsung ke saksi, temannya sendiri, itu tidak ada. Pelurunya masih utuh, senjatanya masih terlipat. Saya sebagai ibu tidak terima. Kejam sekali mereka pada anak saya,” ungkapnya sambil menangis.
3. Rekonstruksi upaya manipulatif menyesatkan publik

Sapril Eka Putra, keponakan dari AKP Anumerta Lusiyanto, menyebut rekonstruksi tersebut sebagai upaya manipulatif yang menyesatkan publik.
“Rekonstruksi ini sangat ambigu dan banyak kebohongan. Pelaku digambarkan membela diri, padahal kami yakin anggota sudah jadi target sejak awal. Luka-luka tidak sesuai dengan narasi. Tidak ada penyesalan dari pelaku, malah seolah dilindungi,” ujarnya.
Pihak keluarga juga menuntut agar proses persidangan dilakukan secara terbuka, dengan pengawasan dari publik dan akses penuh bagi kuasa hukum mereka.
“Kami minta sidang ini dilangsungkan terbuka dan disaksikan oleh seluruh masyarakat Indonesia. Kami ingin transparansi dan keadilan ditegakkan setegas-tegasnya. Ini bukan hanya soal korban, tapi soal kebenaran,” tuturnya.