Kondisi Hutan Lampung Memprihatinkan, Hanya 20 Persen Asli

- Lampung kehilangan 303.000 hektare tutupan pohon, menghasilkan emisi karbon sebesar 161 juta ton CO₂e.
- Konflik agraria masyarakat terjadi di seluruh kabupaten/kota Lampung karena minimnya informasi publik terkait pelepasan kawasan hutan sejak 2000.
- Hanya 20 persen kondisi hutan di Lampung yang masih murni, kerusakan hutan bisa lebih dari 37 persen karena 80 persen kawasan hutan sudah dimanfaatkan manusia.
Bandar Lampung, IDN Times - Dua dekade terakhir, alih fungsi hutan atas nama investasi dan pembangunan semakin marak terjadi di Sumatra. Ratusan ribu hektare lahan berubah menjadi perkebunan musiman atau ditebang demi memenuhi kebutuhan industri.
Dampaknya, ekosistem hutan rusak parah sekaligus merampas ruang hidup masyarakat. Potret buram itu mengemuka dalam acara nonton bareng dan diskusi publik yang digelar Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia atau The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) Simpul Lampung bersama Teknokra Unila, Taman Diskusi FISIP Unila, Pojok FISIP Unila, Aliansi Pers Mahasiswa Lampung, serta HMJ Sosiologi Unila, di Graha Kemahasiswaan Universitas Lampung, Kamis (25/9/2025) sore.
1. Periode 2001–2023, Lampung kehilangan sekitar 303.000 hektare tutupan pohon

Staf Kampanye dan Jaringan Walhi Lampung, Annisa Despitasari mengatakan, di Lampung deforestasi juga berlangsung masif. Catatan Walhi Lampung menunjukkan, sepanjang 2001–2023, Lampung kehilangan sekitar 303.000 hektare tutupan pohon. Hilangnya tutupan pohon itu menghasilkan emisi karbon sebesar 161 juta ton CO₂e.
Salah satu penyebab utama menurutnya adalah alih fungsi lahan ke industri perkebunan musiman, seperti sawit dan tebu. Bahkan, sebanyak 108.909 hektare kawasan hutan di Lampung sudah diberikan izin usaha pemanfaatan hutan.
Izin ini sebagian besar dikuasai korporasi besar seperti PT Inhutani V, PT Silva Inhutani Lampung, dan PT Budi Lampung Sejahtera. Annisa menyebut, data Kementerian Kehutanan pun menunjukkan adanya penyusutan luas hutan Lampung.
Berdasarkan SK Menhutbun Nomor 256/KPTS-II/2000, luas hutan Lampung mencapai 1.004.735 hektare. Namun, pada 2021, angka itu menyusut menjadi hanya 948.641 hektare, merujuk SK KLHK Nomor SK.6618/MENLHK-PKTL/KUH/PLA.2/10/2021.
“Degradasi hutan ini memperparah kondisi lingkungan sekaligus kesejahteraan masyarakat. Yang paling diuntungkan tetap korporasi,” tegas Annisa.
Ia menambahkan, penggundulan hutan atas nama investasi menyebabkan hilangnya habitat flora-fauna, mempercepat perubahan iklim, dan mengganggu keseimbangan ekosistem.
2. Konflik agraria masyarakat selalu menjadi pihak paling tertindas

Staf Divisi Sipil dan Politik YLBHI-LBH Bandar Lampung, Arif Ridho Tawakal menyoroti konflik agraria yang hampir terjadi di seluruh kabupaten/kota Lampung. Menurutnya, dalam perebutan ruang hidup, masyarakat selalu menjadi pihak paling tertindas. “Bahkan dalam beberapa konflik, pelaku mafia tanah justru pejabat, mulai dari tingkat desa hingga BPN,” ujarnya.
Arif menegaskan konflik ini muncul karena minimnya informasi publik terkait pelepasan kawasan hutan sejak 2000. Banyak masyarakat tidak tahu lahan yang ditempati bukan lagi kawasan hutan, hingga tiba-tiba diklaim sepihak oleh perusahaan dengan HGU atau sertifikat hak milik.
Saat menuntut hak, mereka justru terancam kriminalisasi. Karena itu, LBH Bandar Lampung mendorong penghitungan ulang seluruh HGU di Lampung.
3. Kondisi hutan di Lampung hanya 20 persen yang masih murni

Kepala Dinas Kehutanan Lampung, Yanyan Ruchyansyah, mengakui kondisi hutan di Lampung sangat memprihatinkan. Ia menyebut, kerusakan hutan bisa lebih dari 37 persen, karena 80 persen kawasan hutan sudah dimanfaatkan manusia. “Artinya, hanya 20 persen yang masih murni,” katanya.
Yanyan menekankan pentingnya menjadikan masyarakat sekitar sebagai subjek pelestarian hutan. Salah satunya melalui program perhutanan sosial.
Meski masih belum optimal, program ini diharapkan memberi akses kelola kepada masyarakat sekaligus mengembalikan fungsi hutan. Namun, untuk lahan yang sudah dikuasai korporasi melalui izin pusat, pihaknya hanya bisa memfasilitasi musyawarah masyarakat dengan pihak terkait.
Dalam kesempatan daring, Jurnalis Tempo Fachri Hamzah menambahkan, pola penguasaan hutan oleh korporasi di Lampung mirip dengan Mentawai. Perusahaan yang diberi izin justru lebih banyak mengambil hasil hutan tanpa melakukan penghijauan kembali.
Akibatnya, ekosistem hancur, masyarakat kehilangan penghidupan, hingga rawan bencana. “Dan yang menolak perusakan hutan justru sering berujung kriminalisasi,” ujarnya.
Karena itu, Fachri menegaskan pentingnya pemerintah memprioritaskan kepentingan masyarakat ketimbang korporasi. “Konstitusi sudah jelas. Kekayaan alam di Indonesia harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat,” tandasnya.
4. Diskusi dan nonton bareng film dokumenter

Diskusi ini dipandu Koordinator SIEJ Lampung, Derri Nugraha itu diawali dengan nonton bareng film dokumenter di balik layar liputan investigasi kolaborasi berjudul “Menyelamatkan Mentawai Dari Keserakahan”. Liputan ini diterbitkan melalui platform Depati Project dan ditayangkan di enam media, yakni Tempo, KBR, Langgam, Mentawaikita, Law-justice, serta Ekuatorial.
Hasil investigasi tersebut mengungkap ancaman hilangnya lebih dari 21.000 hektare hutan di Pulau Sipora, Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat, akibat izin pengusahaan hutan. Kondisi ini jelas mengkhawatirkan.
Sipora merupakan pulau kecil yang dihuni masyarakat adat dengan ketergantungan tinggi terhadap hutan. Saat ini saja, masyarakat sudah mengalami krisis air di musim kemarau dan rawan banjir di musim hujan.
Jika kerusakan hutan berlanjut, bencana ekologis akan semakin parah. Namun, masalah perampasan hutan dan ruang hidup bukan hanya terjadi di Mentawai.