Koalisi Sipil Lampung Kutuk Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto

- Pengabaian suara masyarakat sipil dan korban Orde Baru
- Dalang pelanggaran HAM sekaligus aktor kejahatan korupsi
- Tandai kembalinya semangat kemunduran politik tanah air menganut zaman Orde Baru
Bandar Lampung, IDN Times - Koalisi masyarakat sipil di Provinsi Lampung mengutuk penganugerahan gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI Soeharto, sekaligus mengecam keras keputusan Presiden Prabowo Subianto tersebut.
Kepala Divisi Advokasi YLBHI-LBH Bandar Lampung, Prabowo Pamungkas mengatakan, penyematan gelar bertepatan peringatan Hari Pahlawan ini menjadi tamparan keras bagi nurani bangsa dan bentuk paling terang pengkhianatan terhadap cita-cita reformasi 1998.
"Keputusan ini alih-alih menghormati perjuangan korban pelanggaran HAM dan menegakkan supremasi hukum, negara justru memilih untuk mengabadikan Soeharto pelaku pelanggaran HAM berat sebagai sosok yang diagungkan," ujarnya dikonfirmasi, Senin (10/11/2025).
1. Pengabaian suara masyarakat sipil dan korban Orde Baru

Merujuk keputusan tersebut, Bowo menilai, Presiden Prabowo Subianto terang-terangan menunjukkan pengabaian terhadap suara masyarakat sipil dan penderitaan ribuan korban kekerasan negara pada masa-masa Orde Baru.
Pasalnya, Soeharto memimpin rezim selama 32 tahun berkuasa telah menumpas perbedaan, menindas kebebasan, dan melanggar hak asasi manusia secara sistematis. Menurutnya, sejarah mencatat pembunuhan massal 1965-1966 yang menewaskan ratusan ribu orang tanpa proses hukum.
Selain itu, ribuan masyarakat lainnya ditahan, disiksa, dan dikucilkan secara sosial termasuk perempuan seperti Nani Nurani mendekam tujuh tahun di penjara tanpa pernah diadili. Kekerasan itu menjadi fondasi rezim otoriter yang menguasai seluruh aspek kehidupan bangsa.
"Di Lampung sendiri, darah rakyat pernah tumpah di Talangsari pada 1989, ketika puluhan warga sipil dibantai dan puluhan lainnya dipenjara hanya karena dituduh subversif. Laporan Keadaan HAM Indonesia 1989 mencatat sedikitnya 31 orang tewas dalam peristiwa itu," katanya.
"Luka Talangsari hingga kini belum sembuh dan para korban masih menunggu keadilan. Namun, pada saat korban bahkan belum mendapatkan pengakuan negara, pelaku utama sistem represif justru diberi gelar 'pahlawan'. Ini bukan rekonsiliasi ini adalah pengkhianatan," lanjut Bowo.
2. Dalang pelanggaran HAM sekaligus aktor kejahatan korupsi

Pelanggaran HAM berat lainnya terjadi secara meluas mulai dari penghilangan orang secara paksa tahun 1997-1998, tercatat 13 aktivis pro-demokrasi masih hilang tanpa kabar; Rumoh Geudong di Aceh (1989–1998) menjadi simbol penyiksaan dan kekejaman aparat; serta Tragedi Mei 1998, Tim Gabungan Pencari Fakta mencatat sedikitnya 85 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan Tionghoa, termasuk 52 kasus perkosaan.
Menurutnya, serangkaian peristiwa pelanggaran HAM berat itu terjadi jelas di bawah kendali Soeharto. Namun faktanya, hari ini negara justru menghapus jejak kejahatan tersebut dengan gelar kehormatan gelar "Pahlawan Nasional".
"Tak hanya pelanggaran HAM, Soeharto juga simbol kejahatan korupsi. TAP MPR XI/MPR/1998 secara tegas menuduhnya sebagai pelaku utama korupsi, kolusi, dan nepotisme," tegas Bowo.
Selain itu, nilai kerugian negara mencapai miliaran rupiah, tetapi upaya hukum untuk mengadili Soeharto justru berakhir tanpa hasil, dengan penerbitan SKP3 (Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara) tertanggal 12 Mei 2006 menandai kebobrokan hukum yang tunduk pada kekuasaan.
"Putusan Mahkamah Agung No. 140 PK/PDT/2015 bahkan membebaskan Soeharto dari kewajiban mengembalikan kerugian negara. Korupsi dan pelanggaran HAM menjadi dua sisi dari mata uang yang sama kekuasaan yang tak tersentuh," sambung dia.
3. Tanda kembalinya masa Orde Baru

Bowo menegaskan, keputusan Presiden Prabowo Subianto untuk menetapkan Soeharto sebagai pahlawan nasional telah menandai kembalinya semangat kemunduran yang membawa politik tanah air menganut zaman Orde Baru.
Menurutnya, Presiden Prabowo seharusnya menegakkan nilai-nilai reformasi justru memilih untuk memuliakan figur yang menjadi simbol kekerasan negara. "Langkah ini bukan sekadar kesalahan politik, tetapi sebuah penghianatan terhadap generasi reformasi dan keluarga korban yang masih berjuang untuk keadilan," ucapnya.
4. Keberpihakan negara kepada pelaku kekerasan

Melalui keputusan tersebut, Bowo menambahkan, pemerintah telah berdalih penetapan kebijakan gelar pahlawan nasional bagi sang mantan presiden ini sebagai bagian dari upaya rekonsiliasi nasional. Padahal, rekonsiliasi tanpa kebenaran adalah kebohongan dan pengampunan tanpa keadilan adalah kekerasan baru terhadap negara maupun para korban pelanggaran HAM berat di tanah air.
"Negara hukum yang benar seharusnya berpihak kepada korban, bukan pelaku. Mengangkat pelaku sebagai pahlawan berarti menormalisasi impunitas dan menghapus makna keadilan yang selama ini diperjuangkan rakyat," imbuh dia.

















