Kematian Harimau "Bakas", Antar Antroposentrisme dan Keadilan Ekologis

- Bentuk ketidakadilan ekologisBenny menegaskan bahwa penanganan konflik manusia dengan satwa liar berakhir dengan kematian spesies dilindungi, menunjukkan ketidakadilan ekologis yang merugikan rantai kehidupan.
- Melanggar prinsip keadilan antar generasiPendekatan konservasi yang masih antroposentris akan membuat satwa seperti harimau menjadi korban berulang, melanggar prinsip keadilan antar generasi.
- Dorong audit dan perbaikan profesional hingga kesejahteraan satwaKasus ini harus mendorong penegakan hukum terhadap perburuan dan pemasangan jebakan ilegal, serta perbaikan prosedur penanganan satwa konflik agar lebih profesional dan
Bandar Lampung, IDN Times - Kematian seekor Harimau Sumatera jantan bernama "Bakas" hasil evakuasi dari Kabupaten Lampung Barat bukan sekadar insiden satwa liar, tetapi dinilai cermin kegagalan kolektif dalam menjaga keseimbangan ekologi.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Bandar Lampung (UBL), Benny Karya Limantara mengatakan, harimau ditemukan dalam kondisi terluka, kehilangan jari, lalu mati saat proses pemindahan ke kandang perawatan. Itu menunjukkan sistem perlindungan satwa dari sisi hukum maupun praktik lapangan belum berpihak pada kelestarian alam.
"Dari perspektif keadilan ekologis, kasus ini menegaskan bahwa hak lingkungan bukan hanya milik manusia. Satwa dan ekosistem juga memiliki kepentingan yang wajib dilindungi," ujarnya dimintai keterangan, Senin (10/11/2025).
1. Bentuk ketidakadilan ekologis

Benny melanjutkan, prosedur penanganan konflik manusia dengan satwa liar berakhir dengan kematian spesies dilindungi, terjadi ketidakadilan ekologis yang merugikan keseluruhan rantai kehidupan.
Menurutnya, penggunaan kandang jebakan, minimnya standar operasional yang ketat, serta kurangnya mitigasi habitat, itu memperlihatkan bahwa hak hidup satwa sering dikorbankan demi kenyamanan manusia.
"Dalam paradigma ekosentrisme, manusia bukan pusat alam, melainkan bagian kecil dari komunitas ekologis. Harimau tidak dapat dipandang sebagai ancaman semata. Ia adalah predator puncak yang memegang fungsi vital menjaga keseimbangan hutan," tegasnya.
2. Melanggar prinsip keadilan antar generasi

Benny mengatakan, mengeliminasi satu individu berarti mengganggu stabilitas ekologis, maka pendekatan konservasi masih antroposentris dengan mengutamakan keamanan manusia tanpa strategi pelestarian memadai bakal pasti membuat satwa seperti harimau menjadi korban berulang.
Oleh karenanya, tragedi ini melanggar prinsip keadilan antar generasi, sebab, hilangnya satu individu harimau berarti berkurangnya peluang generasi mendatang menikmati keanekaragaman hayati Indonesia yang khas.
"Sumber daya genetis, keseimbangan ekosistem, dan keberlangsungan spesies adalah warisan ekologis yang seharusnya dijaga. Ketika generasi kini gagal melindungi satwa dan habitatnya, maka kerugian diwariskan kepada generasi selanjutnya," kata Benny.
3. Dorong audit dan perbaikan profesional hingga kesejahteraan satwa

Benny menambahkan, kasus terjadi di Lampung Barat kali ini harus menjadi titik balik. Pasalnya, penegakan hukum terhadap perburuan dan pemasangan jebakan ilegal harus ditegakkan tanpa kompromi.
Selain itu, prosedur penanganan satwa konflik perlu diaudit dan diperbaiki agar profesional, transparan, dan berbasis kesejahteraan satwa. Maka pemerintah daerah dan pusat harus memperkuat mitigasi habitat, termasuk koridor satwa, zona aman, dan edukasi masyarakat.
"Kematian harimau ini bukan akhir sebuah cerita, melainkan peringatan keras. Jika paradigma pengelolaan alam tidak berubah menjadi lebih adil, ekosentris, dan berorientasi masa depan, maka kita akan kehilangan lebih banyak dan bukan hanya satwa langka, tetapi juga integritas moral sebagai bangsa yang dikaruniai keanekaragaman hayati luar biasa," tegas dia.



















