Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Kadisnaker hingga Akademisi Soroti Tren Freelance Gen Z Lampung

Ilustrasi Pekerja Freelance (Pexel/Resume Genius)
Ilustrasi Pekerja Freelance (Pexel/Resume Genius)
Intinya sih...
  • Kadisnaker Lampung soroti tren freelance Gen Z
  • Gen Z pilih freelance karena fleksibilitas dan teknologi
  • Pelaku usaha media tetap berikan kontrak jelas, akademisi sebut freelance bentuk baru kapitalisme digital
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Bandar Lampung, IDN Times - Tren kerja freelance kini semakin marak di kalangan anak muda, khususnya Gen Z di Lampung. Bagi mereka, pekerjaan lepas dianggap sebagai jalan fleksibel, bisa dikerjakan dari mana saja, sekaligus sesuai dengan era digitalisasi yang terus berkembang.

Namun, dibalik kebebasan itu, ada pula sisi tantangan yang harus dihadapi. Fenomena ini memunculkan beragam pandangan dari berbagai pihak, mulai dari pemerintah, pelaku usaha media, hingga akademisi.

Berikut pandangan terkait tren ini dari Kepala Dinas Tenaga Kerja (Kadisnaker) Lampung, praktisi media, hingga akademisi sosiologi.

1. Freelance Gen Z makin marak, tapi minim jaminan

Ilustrasi Pekerja Freelance (Pexel/Tim Gouw)
Ilustrasi Pekerja Freelance (Pexel/Tim Gouw)

Kadisnaker Lampung, Agus Nompitu mengatakan, tren Gen Z semakin banyak memilih kerja freelance karena waktunya fleksibel, bisa dikerjakan dari mana saja, dan sesuai dengan perkembangan teknologi serta digitalisasi saat ini. Menurutnya, Gen Z meyakini mereka bisa memperoleh penghasilan lebih besar dengan fleksibilitas kerja, sekaligus membuka peluang menjadi wirausaha muda dan membangun portofolio.

Namun, Agus juga menekankan adanya tantangan besar, yaitu pendapatan yang tidak tetap, keterlambatan pembayaran, hingga ketiadaan jaminan sosial seperti BPJS, pensiun, maupun cuti. Ia menambahkan, belum ada regulasi spesifik mengenai freelance, sehingga perlu adanya inisiatif revisi undang-undang ketenagakerjaan agar bisa mengakomodasi pola kerja baru ini.

2. Pengusaha media di Lampung tetap berikan kontrak jelas, hak pekerja tetap dijamin

Ilustrasi Pekerja Freelance (Pexel/Andrea Piacquadio)
Ilustrasi Pekerja Freelance (Pexel/Andrea Piacquadio)

Salah satu inisiator media online di Lampung, Derry Nugraha, menegaskan, pihaknya tetap memberikan hak pekerja freelance sesuai kesepakatan kontrak. Menurutnya, meski hanya bekerja dalam jangka waktu tertentu, kontrak kerja tetap dibuat untuk mengatur kewajiban, masa kerja, dan hak upah.

Derry juga menambahkan, meski media dikelola bersifat nirlaba dan belum mampu memberikan jaminan seperti BPJS Ketenagakerjaan, ia memastikan pekerja freelance tetap mendapat hak yang adil. Bahkan, jika ada kebutuhan tambahan seperti kuota internet, hal itu ditanggung oleh pihak media.

Derry menilai, perusahaan besar seharusnya bisa lebih tegas dalam menempatkan posisi freelance dalam UU ketenagakerjaan, agar tidak terjadi penyalahgunaan status kerja.

3. Akademisi sosiologi sebut freelance adalah bentuk baru kapitalisme digital

Ilustrasi Pekerja Freelance (Pexel/Arina Krasnikova)
Ilustrasi Pekerja Freelance (Pexel/Arina Krasnikova)

Pandangan berbeda datang dari Akademisi Sosiologi Universitas Lampung, Muhammad Guntur Purboyo. Ia menyebut freelance atau yang populer dengan istilah gig worker merupakan bentuk kapitalisme baru di era digital. Menurutnya, meski freelance menawarkan kebebasan waktu dan tempat, para pekerja justru tidak memiliki jaminan yang seharusnya melekat pada seorang pekerja.

Ia mencontohkan bagaimana konten kreator di platform digital hanya menerima sebagian kecil dari pendapatan yang sebenarnya dihasilkan. Dalam praktiknya, pekerja freelance seringkali menanggung risiko sendiri, sementara platform hanya berperan sebagai perantara. Kondisi ini membuat mereka tanpa sadar menjadi bagian dari “buruh digital” yang tereksploitasi dengan cara baru.

4. Antara peluang, gaya hidup dan risiko sosial

Ilustrasi Pekerja Freelance (Pexel/Andrea Piacquadio)
Ilustrasi Pekerja Freelance (Pexel/Andrea Piacquadio)

Guntur menilai, pilihan menjadi freelance di Indonesia tidak hanya karena sulitnya mencari pekerjaan formal, tapi juga terkait gaya hidup dan status sosial. Gen Z sering menjadikan “freelancer” sebagai identitas yang lebih diterima ketimbang mengaku pengangguran. Namun, di sisi lain, pola kerja ini berpotensi menimbulkan masalah solidaritas sosial karena minim interaksi langsung dan ketiadaan jaminan ketika menghadapi situasi darurat.

Menurutnya, negara perlu hadir untuk memberi perlindungan bagi pekerja freelance, karena mereka tetap memberikan kontribusi pada perekonomian melalui pajak dan konsumsi. Guntur menyebut, freelance memang dapat membantu mengurangi pengangguran, tetapi tanpa regulasi yang jelas, justru memperparah ketidakpastian jaminan kerja.

"Tantangannya adalah bagaimana pemerintah meminimalisir dampak negatif dari sistem kerja ini, sekaligus memperbesar potensi positifnya bagi generasi muda dan ekonomi digital di Indonesia," imbuhnya.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Martin Tobing
EditorMartin Tobing
Follow Us

Latest News Lampung

See More

Mesin Oven Pabrik Sagu di Tubaba Meledak, 6 Pekerja Alami Luka Bakar

20 Sep 2025, 12:03 WIBNews