Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

UKT Mahal, Akademisi: Kalau Tak Bisa Cabut, segera Revisi Permendikbud

Biaya kuliah semakin mahal
Intinya sih...
  • Mahalnya biaya UKT di perguruan tinggi negeri menjadi sorotan publik
  • Pemerintah membatalkan kenaikan UKT namun dinilai sebagai 'omong kosong' tanpa mencabut Permendikbud Nomor 2 Tahun 2024
  • Peraturan tersebut memungkinkan perguruan tinggi menentukan sendiri harga pendidikannya, serta kuota jenjang 1-2 hanya tersedia 20 persen

Bandar Lampung, IDN Times - Mahalnya biaya uang kuliah tunggal (UKT), khususnya di perguruan tinggi negeri saat ini tengah menjadi sorotan publik. Biaya UKT antara Rp5 sampai Rp10 juta terbilang mahal bagi rata-rata orang tua mahasiswa di Indonesia.

Pemerintah dalam hal ini Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim mengatakan membatalkan kenaikan UKT. Namun janji Nadiem mulai santer disebut ‘omong kosong’ belaka selama Pemendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 tidak dicabut.

Pengamat Pendidikan Lampung, M Thoha B Sampurna Jaya mengatakan; akar masalah kenaikan UKT perguruan tinggi memang pada Permendikbud Nomor 2 Tahun 2024 tersebut.

Sehingga menurutnya, langkah bijak pemerintah terhadap masalah ini seharusnya memang mencabut peraturan kontroversial tersebut, atau minimal melakukan revisi pada pasal-pasalnya.

“Mestinya pemerintah, atau dalam hal ini Kemendikbud ya, harus bijak. Okelah kalau misalnya tidak dicabut, tapi mestinya Permendikbud Nomor 2 Tahun 2024 itu perlu direvisi. Khawatir ke depannya (jika tidak revisi) akan terjadi peningkatan pembayaran UKT lebih besar lagi,” katanya, Jumat (31/5/2024).

1. Penjelasan singkat tentang acuan UKT dalam permendikbud

Pengamat Pendidikan Lampung, M. Thoha B Sampurna Jaya. (IDN Times/Rohmah Mustaurida)

Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Univesitas Lampung ini menjelaskan, biaya UKT itu ditentukan oleh standar biaya operasional perguruan tinggi. Dalam permendikbud tersebut besaran UKT dilihat dari 3 aspek.

“Pertama dari tingkat atau posisi perguruan tinggi itu apakah dia PTN-BH, PTN Unggul, sangat baik atau baik. Kemudian ditentukan juga oleh kebutuhan program studi yang bersangkutan, dan terakhir dari kemahalan wilayah,” jelasnya.

Bahkan jika dibaca secara seksama, Thoha mengatakan, didalam peraturan tersebut perguruan tinggi seolah seperti diberi cek kosong, sehingga masing-masing perguruan tinggi dapat menentukan sendiri harga pendidikannya.

“Atas dasar itu yang membuat beberapa perguruan tinggi khususnya PTN-BH maupun perguruan tinggi dengan akreditasi unggul itu menentukan UKT-nya melonjak sekali,” imbuhnya.

2. Menaikkan persentase kuota di jenjang dengan UKT rendah

Mahasiswa UB protes mahalnya UKT mereka. (Twitter/@0nlyselow)

UKT dibagi menjadi 5-8 jenjang. Jenjang 1-2 diperuntukan bagi mahasiswa dari keluarga tidak mampu dengan besaran UKT sekitar Rp500-1 juta. Sementara jenjang 5 atau 8 bagi mahasiswa yang penghasilan orang tuanya besar.

Sayangnya, kuota jenjang 1-2 hanya tersedia 20 persen saja. Thoha pun menyayangkan hal tersebut dan berharap angka persentase itu bisa mencapai 50 persen sehingga bisa lebih banyak mahasiswa khususnya dari keluarga tak mampu masuk dalam golongan ini.

“Sebenarnya inti dasarnya bagus, (UKT) disesuaikan dengan penghasilan orang tua. Tapi masalahnya penghasilan masyarakat Indonesia itu relatif masih belum bisa memenuhi. Contoh PNS, gaji sekitar Rp6-7 juta diluar tunjangan, bayangkan kalau mau membayar UKT anaknya sampai puluhan juta. Itu kalau punya anak satu, kalau lebih?” paparnya.

Sehingga, variabel lain dirasa juga penting untuk menentukan UKT mahasiswa. Meskipun demikian, ia menyebutkan sistem subsidi silang dengan cara menentukan UKT berdasarkan penghasilan orang tua memang bersifat baik asalkan tidak mentah-mentah ditentukan dari penghasilan orang tua saja.

“Ditambah pemerintah juga seharusnya menyiapkan beasiswa yang lebih banyak lagi. Karena memang itu bisa sangat membantu masyarakat khususnya masyarakat kurang mampu,” tambahnya.

3. Semestinya biaya pendidikan ditanggung pemerintah

ilustrasi lahirnya generasi yang berintegritas tinggi (pexels.com/Pixabay)

Thoha juga mengkritisi terkait tanggung jawab negara soal pendidikan masyarakat. Pemerintah seolah membebani biaya pendidikan perguruan tinggi yang mahal ini sepenuhnya pada masyarakat. Padahal semestinya sebagian besar itu harus ditanggung pemerintah.

“Bayangkan mestinya wajib belajar 9 tahun itu sudah berakhir di 2016 lalu, tapi kenyataannya sampai hari ini masih berjalan. Jika memang mau mengejar Indonesia Emas 2045, harusnya pemerintah mengusahakan agar anak-anak Indonesia yang ingin meningkatkan pendidikannya di perguruan tinggi diberi ruang dan jalan yang tidak memberatkan,” ujarnya.

Ia pun berharap pada kabinet baru nanti, presiden terpilih bisa menepati janji kampanyenya, tidak membuat pendidikan tinggi sebagai kebutuhan tersier, dan bisa membuat pendidikan sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah.

“Mungkin akan sulit ya, tapi paling tidak harapan kita kabinet yang akan datang punya konsen dan memberikan kontribusi yang besar pada pendidikan khususnya pendidikan tinggi. Sangat liberal kalau melihat pendidikan tinggi diserahkan pada mekanisme pasar, masing-masing perguruan tinggi menentukan sendiri “harga” pendidikan, itu gak benar,” katanya.

4. UKT dua PTN di Lampung tak naik, terendah Rp500 ribu

Institut Teknologi Sumatera. (IDN Times/Rohmah Mustaurida)

Terkait kenaikan UKT di Lampung sendiri, dua perguruan tinggi negeri di Lampung yakni Universitas Lampung dan Institut Teknologi Sumatera (ITERA) memutuskan tidak akan menaikan UKT pada tahun ajaran 2024/2025.

Rektor ITERA, I Nyoman Pugeg Aryantha mengatakan menyampaikan ITERA sudah menentukan UKT kampus yakni UKT terendah di angka Rp500 ribu dan UKT tertinggi di angka Rp9,5 juta. Sehingga besarannya akan sama dengan tahun lalu.

Oleh karenanya, Pugeg meminta mahasiswa untuk memberikan data sebenar-benarnya pada form penerapan UKT kampus. Sehingga penentuan UKT dapat sesuai.

"Sementara untuk mahasiswa KIP (Kartu Indonesia Pintar) tidak dibebankan atau tidak ada biaya UKT. Bahkan mereka akan mendapatkan tunjangan juga. Untuk kuota KIP di ITERA adalah sekitar 20-30 persen dari total seluruh mahasiswa," katanya.

5. Mahasiswa diminta memberikan sata objektif dan jujur pada kampus

Universitas Lampung. (IDN Times/Rohmah Mustaurida)

Sementara, di Unila, Wakil Rektor I Bidang Akademik Suripto Dwi Yuwono mengatakan sejak 2013 di Unila memang tidak ada kenaikan UKT. Pertimbangannya ada banyak, salah satunya adalah karena kondisi perekonomian masyarakat saat itu.

Selain itu, Unila juga masih cukup “mampu” tanpa menaikan UKT karena ada pendapatan dari BOPTN (bantuan operasional perguruan tinggi negeri) dan Non UKT. Sehingga Rektor Unila meminta untuk tidak menaikan UKT tahun ajaran 2024/2025.

Supripto mengatakan, Unila juga akan mengadopsi sistem subsidi silang yakni UKT tinggi akan mensubsidi UKT rendah. Sehingga calon mahasiswa wajib memberikan informasi objektif dan jujur terkait informasi pribadinya pada kampus.

Untuk besaran UKT di Unila, Supripto mengatakan terendah berada di angka Rp500 ribu sedangkan UKT tertinggi berbeda-beda tiap program studi masing-masing.

“Kalau ada mahasiswa jalur SNBP yang sampai saat ini belum bayar UKT pun akan kita tanyakan pada anaknya. Kita datangi ke rumahnya agar kita tahu alasan dia belum membayar UKT-nya,” jelasnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Rohmah Mustaurida
Martin Tobing
Rohmah Mustaurida
EditorRohmah Mustaurida
Follow Us