Nasib Pilu Petani Lada Lampung, Hanya Menanam tapi Tidak Nikmati Hasil

Bandar Lampung, IDN Times - Provinsi Lampung digaungkan sebagai daerah tanoh lado (tanah lada) sejak zaman kolonial. Bahkan ada lagu berjudul Lampung Tanoh Lado karya Fatsyahbudin populer sejak tahun 1970-an.
Namun, kondisi masa itu sudah berbanding terbalik dengan situasi saat ini. Petani lada mulai langka, diikuti harga lada kian merosot. Imbasnya, banyak petani di Lampung beralih menanam sawit, singkong atau karet.
Hal itu dialami Diantori, salah satu anak petani lada memutuskan beralih budidaya singkong. Ia beralih menanam singkong lantaran perawatan tanaman lada tak sebanding hasil didapat.
Berikut IDN Times rangkum cerita selengkapnya.
1. Nasib petani lada hanya menanam tak nikmati hasil

Diantori mengaku risih mendengar bahwa Lampung adalah tanoh lado. Namun hanya hanya diucapkan lewat mulut pihak berkepentingan saja.
Realitanya, ia menceritakan, sejak zaman VOC hasil lada disetorkan dari petani untuk VOC. Bahkan, hampir 85 persen hasil lada diserahkan pada kesultanan Banten.
"Jadi kita hanya sebatas penamam, tidak merasakan hasilnya," kata Diantori kepada IDN Times.
Pengalaman itu ia dapatkan sendiri dari kedua orangtuanya yang setia menaman lada sejak muda hingga melahirkan enam orang anak.
Bahkan menurut Diantori, ia pernah menyarankan orangtuanya untuk beralih tanaman saja. Namun orangtuanya menolak mentah-mentah.
"Ngapain, kamu gak ngarasain, kata orangtua saya. Artinya mereka punya kepedihan tersendiri dan masih berharap. Setelah orangtua saya meninggal, 2019 lalu saya ganti jadi tanaman singkong," ceritanya.
2. Tanggung jawab bersama

Menurut Diantori, jika lada memang memberi keberhasilan pada petani Lampung tentu kondisinya tidak akan seperti saat ini. Sudah sangat jarang ada petani lada dan banyak lahan tergantikan tanaman karet, sawit dan singkong.
"Mirisnya lagi, ketika ada wacana jalur rempah dunia, Lampung tidak tercatat sebagai jalur rempah," ujarnya.
Menurutnya tak hanya pemerintah saja yang bertanggung jawab pada persolan tanaman lada sebagai ikon Lampung, melainkan masyarakat juga. "Tapi pemerintah punya kuasa dan kebijakan," tutur pria kelahiran Tulang Bawang itu.
3. Butuh waktu lama merawat lada

Sebagai pekerja seni, keresahan soal lada lantas dituangkan Diantori melalui sebuah karya tentang kesetiaan petani Lampung merawat tanaman lada.
Menurutnya, kesetiaan itu lantaran pada masa itu petani terlanjur merawat lada selama beberapa tahun. Sehingga tidak mungkin dirombak begitu saja.
"Merawat lada itu dari kecil sampai umur 6 tahun baru bisa dinikmati. Perawatannya rumit, membersihkan ranting atas, rumput yang tiga bulan sudah tumbuh lagi. Belum lagi ketika sudah mau panen ada hama," paparnya.
Sebidang lada menurutnya, menghabiskan biaya perawatan Rp8 juta setahun. Artinya jika harga lada Rp30 ribu, petani harus menghasilkan sekian ton untuk mengembalikan modal. Sementara saat ini lada di Lampung sudah tidak terlalu buah karena sudah tua dan kurang perawatan.
Menurutnya, belum ada sentuhan dari pemerintah atau pusat pemerhati lada terkait metode penanaman lada di Lampung. Sehingga untuk menunggu hasil lada selama satu tahun, petani kadang harus kecewa karena buahnya tak maksimal.
"Beda dengan Bangka Belitung banyak didatangkan pakar pertanian. Di sana juga dibuat jalur khusus untuk lada. Kalau dulu dari kayu sekarang dibuatkan tiang dari cor-coran," ujarnya.
4. Harga lada terus merosot

Lebih lanjut Diantori menceritakan, masa kejayaan petani lada hanya pada tahun 1998 lalu, di mana harga lada mencapai Rp200 ribu per kg. Setelah itu harga lada terus merosot bahkan hari ini lada hitam berkisar di antara Rp30 ribu.
"Gak seimbang sama nunggu satu tahun. Jadi kalau mau membangkitkan lagi tanoh Lampung ya kembangkan lagi perawatannya. Petani butuh pendampingan dan modal lagi lah karena sudah banyak yang hancur," kata Diantori.
Namun Diantori mengatakan tak ingin berharap lagi pada lada sebab sudah tak ada harapan. Jika melihat kembali daerah penghasil lada seperti di Ketapang, Ogan Lima, Sungkai dan Sukadana sudah beralih tanaman lain.