Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Menjaga Nyala Gerakan Mahasiswa

Ilustrasi pemuda. (IDN Times/Aditya Pratama).
Intinya sih...
  • Mahasiswa kritis suarakan ketidakadilan, gunakan data dan fakta sebagai landasan dalam menyuarakan aspirasi
  • Gerakan mahasiswa terjadi di Nusa Tenggara Timur, enam mahasiswa ditetapkan sebagai tersangka kasus perusakan gerbang DPRD NTB
  • Aktivisme mahasiswa masih relevan dengan Sumpah Pemuda, berpegang teguh pada optimisme dalam meraih cita-cita dan harapan

Wahai kalian yang rindu kemenangan

Wahai kalian yang turun ke jalan

Demi mempersembahkan jiwa dan raga

Untuk negeri tercinta

Bandar Lampung, IDN Times – Penggalan lirik “Totalitas Perjuangan” di atas bak menjadi mars wajib mahasiswa kerap berkumandang saat aksi demonstrasi. Lautan mahasiswa rela tubuhnya diterpa terik matahari dan peluh mengucur di tubuh demi satu tujuan menyuarakan aspirasi atas kondisi ketidakadilan di negeri ini.

Bersikap kritis terutama terhadap penegakan hukum, keadilan bagi rakyat dan perjuangan menegakkan negara demokratis bak melekat kepada mahasiswa saat menyuarakan aspirasi. Bahkan kekinian, idealisme mahasiswa saat ini lebih terbuka dan kritis, menggunakan data dan fakta sebagai landasan dalam menyuarakan ketidakadilan.

Gaya ini terlihat dalam cara mereka membangun narasi berbasis rasionalitas dan pemahaman mendalam terhadap isu. Mereka tidak hanya mengkritik, tetapi juga menawarkan solusi atau alternatif kebijakan. Isu yang diangkat pun luas, mencakup berbagai dimensi sosial seperti korupsi, hak asasi manusia, ketidakadilan ekonomi, hingga krisis lingkungan.

Memeringati Hari Sumpah Pemuda 2024, melalui artikel kolaborasi pekan ini, IDN Times mengulas kondisi terkini pergerakan mahasiswa di berbagai daerah Indonesia, cara menyampaikan aspirasi, tantangan dan sebagainya.

1. Mahasiswa jadi tersangka, kepengurusan BEM dibekukan

Karangan bunga kritikan Prabowo-Gibran yang dibuat BEM FISIP Unair. (Dok. Istimewa)

Kondisi terkini terkait gerakan mahasiswa terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Enam mahasiswa dari Universitas Mataram dan Institut Studi Islam Sunan Doe Lombok Timur ditetapkan sebagai tersangka kasus perusakan gerbang DPRD NTB.

Perusakan gerbang DPRD NTB itu terjadi 23 Agustus 2024 saat aksi demonstrasi menuntut komitmen wakil rakyat untuk mengawal putusan Mahkamah Konstitusi terkait UU Pilkada. Surat penetapan tersangka tersebut diterbitkan Ditreskrimum Polda NTB pada 15 Oktober 2024.

Perwakilan dari Tim Pembela Aliansi Rakyat NTB Melawan, Yan Mangandar Putra, mengatakan, penetapan tersangka terhadap enam mahasiswa bentuk kriminalisasi. Selain itu, ia menilai, tindakan aparat dan DPRD NTB melaporkan mahasiswa atas perusakan kecil di engsel gerbang sebagai upaya membungkam aspirasi. "Mahasiswa menyampaikan pendapat, tapi justru dikriminalisasi. Ini menjadi preseden buruk bagi demokrasi di NTB," ujarnya saat dihubungi IDN Times, Sabtu (26/10/2024).

Yan juga menyayangkan pendekatan DPRD NTB yang tidak membuka ruang diskusi dengan mahasiswa saat aksi berlangsung, hingga terjadi bentrokan.  "Dewan harusnya sensitif, membuka ruang dialog, bukan malah melaporkan mahasiswa yang cuma merusak engsel gerbang," tambahnya.                 

Ia juga menilai, tindakan kriminalisasi ini turut memperburuk indeks demokrasi di NTB yang saat ini berada di urutan 30 dari 34 provinsi. Ia juga mengaitkan kondisi ini dengan meningkatnya kasus korupsi dan eksploitasi sumber daya alam di NTB. Menurutnya, alih-alih membungkam suara kritis mahasiswa, DPRD NTB seharusnya fokus pada penyelesaian berbagai permasalahan sosial dan ekonomi di daerah.  

Universitas Mataram telah menunjuk Direktur Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum (BKBH), Joko Jumadi, untuk mendampingi mahasiswa yang terlibat kasus hukum. Joko menegaskan, pihak kampus menjamin keberlangsungan pendidikan para mahasiswa tersebut selama proses hukum berlangsung. "Unram akan mendukung penuh dan memastikan pendidikan mereka tetap berjalan tanpa hambatan," ungkap Joko.

Joko juga mengingatkan pentingnya perspektif proporsional dalam kasus ini. Ia menilai kerugian akibat perusakan gerbang DPRD NTB jauh lebih kecil dibandingkan kerugian yang ditimbulkan oleh penguasaan aset pemerintah, seperti mobil dinas yang tidak dikembalikan selama bertahun-tahun oleh mantan anggota DPRD.

Sekjen Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Mataram, Yudiatna Dwi Sahreza, menyampaikan tuntutan Aliansi Rakyat NTB Melawan kepada DPRD NTB agar segera mencabut laporan terhadap keenam mahasiswa tersebut. "DPRD seharusnya mendukung kebebasan menyuarakan pendapat, bukan sebaliknya," ujarnya.

Mereka juga menuntut penghentian segala bentuk intimidasi dan kriminalisasi terhadap massa aksi serta masyarakat umum yang memperjuangkan hak mereka.

Pelantikan Presiden Prabowo Subianto juga mendapat perhatian dari Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga. Respons mereka terhadap pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih disampaikan lewat karangan bunga.

Karangan bunga tersebut tercantum foto Prabowo dan Gibran disertai dengan ucapan selamat. Karangan bunga itu berisi tulisan satire kritikan kepada Prabowo-Gibran. "Selamat, atas pelantikan jenderal bengis pelanggar HAM dan profesor IPK 2,3 sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia yang lahir dari rahim haram konstitusi. Dari Mulyono (bajingan penghancur demokrasi)," isi tulisan dalam karangan bunga tersebut.

Presiden BEM Fisip Unair, Tuffahati Ullayyah Bachtiar mengatakan, karangan bunga itu diletakkan di Taman Barat FISIP Unair, Selasa (22/10/2024) lalu. Tujuannya, sebagai ungkapan ekspresi kekecewaan atas rentetan peristiwa yang terjadi pada Pemilu 2024.     

Karangan bunga itu kemudian diunggah di media sosial. Tak berselang lama, ternyata postingan tersebut viral. Kemudian, Kamis (24/10/2024) pukul 22.25 WIB, BEM FISIP Unair menerima surat elektronik atau email dari Ketua Komisi Etik Fakultas.

Surat itu berisi permohonan klarifikasi kepemilikan karangan bunga. Keesokan harinya tepatnya Jumat (25/10/2024) pukul 09.03 WIB, BEM FISIP Unair pun mendatangi pihak dekanat. Di depan dekanat, mereka menjelaskan tentang kepemilikan karangan bunga dan tujuannya. "Karangan bunga tersebut murni hasil inisiasi dari Kementrian Politik dan Kajian Strategis BEM FISIP Unair," kata Tuffahati. 

Di hari yang sama tepatnya pukul 16.13 WIB, BEM FISIP Unair kembali mendapat surat dari dekanat. Surat dengan nomor 11048/TB/UN3.FISIP/KM.04/2024 berisi pembekuan organisasi. Alasan BEM FISIP Unair dibekukan merujuk surat itu penggunaan narasi dalam karangan bunga yang tidak sesuai dengan etika dan kultur akademik insan kampus. Selain itu, pemasangan karangan bunga di halaman FISIP Unair yang dilakukan tanpa izin dan koordinasi dengan pimpinan fakultas

Terkait pembekuan kepengurusan BEM FISIP merujuk surat tersebut, Tuffa menyatakan, pihaknya tidak akan menyerah meski organisasinya dibekukan. Kabinetnya akan terus melanjutkan perjuangan sampai periode kepemimpinannya berakhir. “Per berita acara ini dirilis, belum ada proses diskusi lebih lanjut dengan Dekan FISIP perihal surat pemberitahuan pembekuan BEM. Kami sepakat untuk tidak menyerah untuk memproses keadilan bagi seluruh fungsionaris dan tetap melanjutkan perjuangan sampai waktu demisioner yang telah ditentukan,” kata dia.

2. Apakah aksi di jalan masih relevan?

Aksi unjuk rasa mahasiswa bersama masyarakat petani dari Kabupaten Lampung Timur di depan Kanwil Kementerian ATR/BPN Lampung, Kamis (30/11/2023). (IDN Times/Tama Yudha Wiguna).

Ketua BEM FEBI UIN Antasari Banjarmasin Husein Fakhrezi menyatakan keprihatinannya terhadap masalah sosial yang belum terselesaikan. Menurutnya, sebagai pemuda, mereka perlu bersikap kritis dan aktif menyuarakan kebenaran.

Gerakan mahasiswa terbagi dalam berbagai elemen dengan latar belakang beragam, seperti organisasi kampus, komunitas independen, atau gerakan sosial. Perbedaan ideologi dan visi sering kali membuat gerakan ini terlihat terpecah. Meski demikian, ketika menghadapi isu besar yang merugikan masyarakat, berbagai elemen ini mampu bersatu.

Contohnya, gerakan #ReformasiDikorupsi dan aksi menolak Omnibus Law berhasil menyatukan mahasiswa dari latar belakang berbeda, menunjukkan mereka dapat solid saat ada tujuan jelas yang menyentuh kepentingan masyarakat luas.

Di sisi lain, Husein tak menampik, masih ada mahasiswa yang apatis terhadap isu politik dan sosial. Alasan mereka beragam, mulai dari fokus pada studi hingga ketakutan akan risiko hukum.

Merujuk kondisi itu, para aktivis biasanya mencoba mendekati rekan-rekan mereka yang apatis dengan cara yang persuasif. Selain itu, mengadakan kegiatan edukatif seperti seminar dan webinar dapat membangkitkan kesadaran. Memanfaatkan media sosial sebagai ruang diskusi juga efektif untuk menjangkau mereka yang enggan terlibat langsung.

Ia menambahkan, idealisme mahasiswa saat ini lebih terbuka dan kritis, menggunakan data dan fakta sebagai landasan dalam menyuarakan ketidakadilan. Gaya ini terlihat dalam cara mereka membangun narasi berbasis rasionalitas dan pemahaman mendalam terhadap isu. Mereka tidak hanya mengkritik, tetapi juga menawarkan solusi atau alternatif kebijakan.

Isu yang diangkat pun luas, mencakup berbagai dimensi sosial seperti korupsi, hak asasi manusia, ketidakadilan ekonomi, hingga krisis lingkungan. “Gaya mereka berorientasi pada pemahaman menyeluruh, berupaya memahami permasalahan dari berbagai sudut pandang agar solusi yang diusulkan lebih relevan,” tambahnya.

Dalam beberapa kasus, Renaldo Diaz Simbolon selaku founder Gerakan Untuk Rakyat (GUNTUR) di Medan Sumatra Utara menilai, selalu ada upaya pecah belah pada gerakan mahasiswa. Menurutnya, hal ini biasanya memang sengaja dibuat atau dikonsep oleh penguasa untuk membuat adanya benturan. Sehingga, tidak fokus dari gerakan dan menimbulkan konflik hingga menjadi tantangan bersama dalam bergerak.                        

Dia menambahkan, dalam menyuarakan ketidakadilan dengan turun ke jalan adalah salah satu opsi yang masih sangat relevan untuk dilakukan. "Kalaupun perkembangan zaman memberikan tawaran metode pergerakan yang lain, bukan berarti metode turun ke jalan ditinggalkan. Karena unjuk rasa turun ke jalan masih menjadi salah satu metode yang masif dan efisien, untuk melawan penguasa yang masih cenderung tutup mata dan tutup telinga dengan persoalan di negeri ini," tukasnya.

Metode lain seperti diskusi dan nobar serta panggung rakyat juga dapat mendukung terciptanya kesadaran bersama dan sikap kritis pada masyarakat yang juga turut berperan menggalang kekuatan rakyat melawat penindasan," ujarnya.

Hal yang sama juga dikatakan Rimba Zait Shalsyabill Nasution sebagai Staff Analisis Data dan Kampanye di Yayasan Srikandi Lestari. Dia menjelaskan, tren gerakan mahasiswa Gen Z saat ini hanya mengikuti isu yang berkembang atau FOMO jadi terkesan stagnan. Sehingga, sulit untuk bisa menggebrak atau mendobrak satu kebijakan yang sewenang-wenang tersebut.

Meskipun dirinya juga termasuk usia Gen Z, dan mengikuti tren gerakan ini dimulai sejak 2019, dia menilai tren gerakan mahasiswa kini juga berdampak pada zaman sekarang yang semakin canggih dan berkembang pesat dalam pemanfaatan teknologi. Disatu sisi dia juga sempat terpikir untuk dapat menyatukan ataupun menyelaraskan gerakan dari berbagai macam organisasi atau berbagai macam elemen masyarakat, berdasarkan misi dan visi yang sesuai dengan isu sehingga tidak ada kesalahpahaman.

Terkait Gen Z tampak cuek dalam dunia politik, dia menilai sebagian mahasiswa memahami dan sebagian tidak memahami politik. Namun, yang memahami politik ada rasa kecewa karena ketidakadilan. Sedangkan untuk gaya idealisme yang biasa digaungkan oleh Rimba dalam pergerakannya untuk menyuarakan ketidakadilan merujuk berbagai isu nasional adalah kesetaraan.

Ditanya relevansi menyuarakan ketidakadilan melalui turun ke jalan, Rimba mengatakan sangat perlu dan sangat penting. Sebab, baginya, jalanan itu adalah perjuangan yang sesungguhnya.

"Jalur perjuangan sesungguhnya adalah jalanan. Aku menganggapnya seperti itu, karena dijalanan itu adalah panggung terbesar untuk bisa berekspresi, panggung terbesar untuk bisa menyuarakan keresahan-keresahan yang terjadi. Benar-benar dimuka umum," katanya.

Setali tiga uang, Ida Ayu Kusuma Widiari, Pemimpin Umum Pers Mahasiswa (Persma) Akademika 2023/2024, menjelaskan aksi turun ke jalan saat ini masih relevan dilakukan. “Menurut saya aksi turun ke jalan masih relevan apabila tujuannya adalah untuk membangun kesadaran tapi hanya bagi sebagian kelompok,” jelasnya, pada Kamis (24/10/2024).

Menurut Lily, tidak banyak mahasiswa di wilayah Bali Utara yang aktif menyuarakan isu-isu krusial baik skala lokal maupun nasional. “Kita tidak bisa memaksakan, tapi saya kecewa dengan ketidakpekaan mahasiswa yang cuek terhadap hal terjadi di sekitar kita,” ucapnya. 

Meskipun menghadapi berbagai tantangan, Widiari menuturkan penting bagi mahasiswa dalam merawat spirit memperjuangkan tegaknya keadilan. “Karena saya meyakini, kemewahan yang dimiliki sebagai mahasiswa adalah idealismenya. Jadi dengan keilmuan yang kita pelajari, perjuangkan idealisme itu untuk menjadi suara bagi mereka yang terpinggirkan,” tegasnya.

3. Ini kondisi terkini gerakan mahasiswa di daerah

Ilustrasi massa aksi. (IDN Times/Yuko Utami)

Pimpinan Umum LPM Roeang Suara UIGM Palembang, Rangga Sutrisna menyampaikan, gerakan mahasiswa di setiap zaman memiliki sumbu yang sama yakni, menghadapi ketidakadilan. Tidak semua orang dapat memiliki kepedulian yang sama sehingga peran aktivis dianggap masih relevan saat ini untuk mengawal setiap isu sosial dan politik yang berkembang secara nasional maupun lokal. "Sebagai aktivis punya peran penting untuk memberikan ruang edukasi dan kesempatan bagi semua mahasiswa untuk terlibat," jelas dia.                      

Ia menilai, gerakan aktivis mahasiswa dan pemuda yang ada di Sumsel berasal dari beragam kampus serta organisasi. Kemajuan zaman membuka peluang anak muda untuk bergabung dalam beragam kelompok diskusi dalam membahas permasalahan bangsa. "Setiap zaman punya tantangan, tidak semua orang akan terlibat dalam gerakan-gerakan aktivisme. Namun keresahan ini harus ditularkan sehingga kesadaran kolektif ini dapat dipahami generasi muda," jelas dia.

Aktivis Mahasiswa dari Universitas Lampung (Unila), Naufal Alman Widodo mengatakan, gerakan mahasiswa di Lampung belum sepenuhnya berjalan secara organik atau disadari masing-masing individu. Tapi masih membutuhkan pemantik sehingga mendorong massa melakukan berkonsolidasi dan turun ke jalan.

Umumnya, alat pemantik tersebut semacam poster atau selebaran yang ditempel di tiap sudut fakultas kampus maupun ruang publik, hingga seruan berupa siaran ajakan aksi yang disebarluaskan melalui media sosial (Medsos) lembaga pers mahasiswa dan organisasi mahasiswa. Meski demikian, ia bersyukur aksi gerakan mahasiswa terjadi selama ini selalu berujung kompak dalam satu garis komando, sehingga demontrasi yang terjadi bukan mengakomodir kepentingan segelintir pihak tetapi menyuarakan keresahan terjadi di tengah masyarakat.

"Kita juga sudah mewanti-wanti dengan catatan, apabila ada hal-hal yang sifatnya melanggar tujuan aliansi, maka mau tidak mau akan diberlakukan sikap tegas tidak diikutsertakan kembali, karena gerakan berangkat dari kesadaran bersama," lanjut Koordinator Lapangan ALM dalam aksi mengawal putusan MK tersebut.

Saat menyatukan visi dan misi dalam aksi, Naufal menyebutkan, perwakilan mahasiswa gabungan dari berbagai kampus maupun organisasi masyarakat terlebih dahulu menyepakati konsolidasi dan teknis lapangan, sehingga diminta dan ditekankan tak mencederai kesepakatan yang sudah disetujui bersama sebelum aksi.

Ketua Cabang Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Serang, Dadang mengatakan, kesadaran akan keresahan yang mungkin hari ini mulai terkikis sedikit demi sedikit untuk merespons permasalahan-permasalahan kerakyatan. Hal ini terjadi diberbagai daerah termasuk di Banten. Oleh karena itu, kata dia, maka nalar dan intelektual harus dibangkitkan kembali melalui komunikasi dan diskusi. "Problematika hari ini lebih cenderung pasif akan situasi dan kondisi terkait persoalan-persoalan kerakyatan," katanya.

Gerakan kolektif mahasiswa dari berbagai elemen organisasi terjadi, dimulai dari penyelarasan sebuah isu yang digaungkan oleh setiap organisasi. Ketika isu yang dibawa bisa diterima dan relevan dengan keadaan, maka tingkat perpecahan koalisi akan sangat kecil. "Ini yang memang seharusnya bisa dilakukan oleh semua elemen organisasi agar suatu gerakan bisa terlihat masif tanpa ada yang menunggangi," katanya.

Aulia Thaariq Akbar, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Airlangga (BEM Unair) mengatakan, walaupun penyampaian aspirasi dapat dilakukan dengan berbagai bentuk, esensi dari pergerakan mahasiswa tidak akan berubah. Mahasiswa Jawa Timur tetap berpihak pada masyarakat dan mengawal kebijakan pemerintah. "Kami mahasiswa ini kan bisa dibilang suaranya masyarakat, otomatis kita berpihak pada masyarakat, kita selalu menyuarakan, saya pikir komitmen di situ," ujarnya. 

Saat ini, fokus aktivis Surabaya terutama BEM SI Jatim adalah mengawal kebijakan Presiden Prabowo Subianto yang baru saja dilantik pada 20 Oktober lalu. Terbaru soal isi dari pidato presiden.  "Perhatian temen-temen masih melihat bagaimana langkah dari presiden terpilih ini seperti apa," katanya. 

Ilustrasi grafis data aksi mahasiswa. (IDN Times/Aditya Pratama).

4. Medsos jalan ninja sampaikan aspirasi Gen Z dan Alpha

ilustrasi konten media sosial (unsplash.com/Aaron Weiss)

Menyuarakan kebenaran dan mengkritik pemerintah tak perlu harus turun ke jalan. Kini media sosial menjadi jalan ninja para aktivis menyampaikan aspirasi.  Hal tersebut disampaikan Aulia Thaariq Akbar selaku Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Airlangga (BEM Unair).

Pria yang akrab disapa Atta itu mengatakan, gerakan aktivis mahasiswa di Jawa Timur, terutama Surabaya berlahan mulai berubah. Penyampaian kritik kepada pemerintah bisa dilakukan dengan berbagai macam cara, salah satunya lewat media sosial. "Sekarang ini perubahan aksi banyak variasinya, salah satunya dari sosial media, jadi memanfaatkan apa yang sudah ada, gak harus turun ke jalan," ujarnya kepada IDN Times, Sabtu (26/10/2024).

Atta percaya, media sosial bisa menjadi wadah bagi aktivis dan mahasiswa untuk mempengaruhi opini publik. Apalagi, saat ini ada istilah "No Viral, No Justice,". "Ketika satu isu itu menjadi perhatian publik, pasti orang terkait itu akan fokus di sana. Itu sudah dibuktikan dengan isu-isu sebelumnya," kata dia. 

Aksi demonstrasi daring kian marak dilakukan anak muda atau Gen-Z via media sosial. Gerakan tersebut digagas sejak era Pandemik COVID-19 merebak. Salah satu pionirnya ialah Aliansi Pelajar Surabaya.                                   

Ketua Aliansi Pelajar Surabaya periode 2022 - 2023, Mirza Syahrizal Fathir menceritakan, awalnya gerakan demonstrasi daring muncul karena teman-temannya tidak bisa kumpul terkendala situasi COVID-19. Kemudian mencoba cara baru menyampaikan aspirasi atau pesan kepada pemangku kebijakan lewat daring. Waktu itu, aliansi mengkritik perihal PPDB.

"Awalnya teman-teman menyiapkan audiensi lewat Google Meet atau Zoom. Setelah dilaksanakan ternyata ada cara lebih efektif, waktu itu pakai TikTok. Akhirnya menyadari itu, melakukan gerakan (kritik) masif dan daring," katanya.

"Tak hanya TikTok juga lewat posting Instagram. Kami posting ramai-ramai. Akhirnya mengundang simpati publik. Kami sadar, ternyata gerakan ini dilihat masyarakat luas," tambah Fathir.             

Karena itu, Fathir menyebut kalau Aliansi Pelajar Surabaya sempat membuat gerakan poster tolak reklamasi di kawasan Kenjeran Surabaya. Poster itu pun diunggah secara masif via media sosial. "Kawan-kawan sempat buat poster diupload di snapgram tentang penolakan reklamasi di Kenjeran. Karena teman-teman merasa itu mencakup orang banyak, tidak hanya pelajar tapi juga nelayan dan lain-lain, maka kita menyadarkan lewat poster snapgram," terangnya.

Ketua Cabang Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Balikpapan, Maha Sakti Esa Jaya, menilai, kampanye di medsos telah menjadi tren yang tidak bisa dipandang remeh. "Dua aksi besar, yakni demo Omnibus Law dan Revisi KUHP, adalah momen ketika kampanye melalui medsos semakin ramai. Tren ini pun terus berlanjut hingga sekarang," ujarnya.               

“Semenjak pandemik, ada pergeseran di mana kampanye-kampanye lewat medsos terbukti memberi dampak signifikan. Hal ini mendorong kami lebih intensif menyuarakan pendapat melalui medsos,” ujar mahasiswa Universitas Balikpapan ini.

Para aktivis kampus kini menggunakan media sosial dengan berbagai bentuk kampanye, mulai dari desain grafis sederhana hingga video pendek. “Kampanye melalui medsos ini cukup efektif karena dapat langsung memengaruhi persepsi publik,” jelas Maha.       

Meskipun media sosial memberi kemudahan, Maha menegaskan, aksi turun ke jalan tetap memiliki daya dobrak yang berbeda. “Aksi langsung lebih terasa dampaknya, karena ada tatap muka dengan pembuat kebijakan,” jelasnya.

5. Manfaatkan medsos sebagai alat propaganda sorot isu sosial, hukum dan demokrasi

ilustrasi media sosial (unsplash.com/Jakob Owens)

Perkembangan media sosial membawa dampak signifikan terhadap gerakan mahasiswa. Tak lagi sekadar turun ke jalan, kini suara kritis mahasiswa sering digaungkan melalui media sosial.

Aktivis Mahasiswa dari Universitas Lampung (Unila), Naufal Alman Widodo tak menampik, mahasiswa di Lampung belum sepenuhnya terdorong mengikuti aksi turun ke jalan. Namun dirinya meyakini golongan mahasiswa tersebut cenderung menjadi aktivis pejuang sosial dengan membagikan kegiatan rekan-rekannya berjuang di jalan melalui akun medsos masing-masing.

"Karena kalau kita menginginkan semuanya turun aksi, pasti itu akan sangat sulit. Melihat hari ini mahasiswa dihadapkan dengan jadwal pembelajaran yang padat," ucapnya.

Di era digital saat ini, kehadiran medsos juga diakui memberikan peranannya tersendiri dalam wadah gerakan mahasiswa, karena dapat menyebarluaskan suatu informasi secara cepat dan masif. "Bisa kita lihat dalam aksi kawal putusan MK kemarin, hanya lewat unggahan latar biru bisa menggugah mahasiswa dan masyarakat memperjuangkan ketidakadilan," lanjut Naufal.   

Ketua BEM FEBI UIN Antasari Banjarmasin Husein Fakhrezi berpendapat, kemajuan teknologi saat ini justru memudahkan dalam menggali informasi. Gerakan mahasiswa Gen Z menunjukkan dinamika menarik, dengan karakter yang lebih melek teknologi dan sosial. Mereka cenderung berpikir kritis, tidak mudah percaya, dan memiliki semangat kolaboratif yang kuat.

“Tren gerakan mahasiswa kini tidak hanya terbatas pada aksi massa di jalan, tetapi juga aktif memanfaatkan platform digital seperti media sosial, petisi online, dan ruang diskusi virtual. Media sosial menjadi alat utama untuk kampanye isu-isu seperti lingkungan, hak-hak sipil, ketidakadilan ekonomi, dan pelanggaran hukum,” ujar Husein.    

Ia menambahkan, di era informasi ini, mahasiswa semakin kritis dalam menyoroti kebijakan publik dan masalah sosial. Mereka memanfaatkan teknologi untuk menyuarakan pendapat melalui konten digital, seperti video dan infografis, yang lebih mudah dipahami.

Namun, ketika situasi mendesak, seperti penolakan Omnibus Law atau revisi UU KPK, mahasiswa tetap memilih turun ke jalan sebagai bentuk protes. “Kami memanfaatkan teknologi untuk menyuarakan pendapat melalui konten digital, tetapi tidak melupakan aksi di jalan sebagai bentuk solidaritas pemuda mahasiswa,” ungkapnya.

Ketua Cabang Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Serang, Dadang mengatakan, aksi massa tetap menjadi satu bentuk perlawanan dalam menyampaikan persoalan-persoalan. Media sosial, hanya menjadi alat propaganda untuk lebih memasifkan isu-isu dan mempropagandakan segala bentuk persoalan. "Karena kita sadar untuk menyampaikan suatu kebenaran tak cukup hanya dengan satu kali tindakan," katanya.

Idealisme atau penyadaran publik yang kerap digaungkan tidak terlalu jauh berbeda dengan masa lalu, yakni terkait jalannya pemerintahan yang sesuai dengan norma dan etika. "Maka tak heran jika aksi kawal putusan MK begitu cepat direspons oleh mahasiswa saat ini (Gen Z)," katanya.   

Renaldo Diaz Simbolon sebagai founder Gerakan Untuk Rakyat (GUNTUR) menilai, tren gerakan mahasiswa saat ini tampak cukup beragam. Pemanfaatan media sosial jadi pembeda dari zaman terdahulu.

"Bagi saya metode bukanlah persoalan, namun hal yang paling penting adalah bagaimana kemajuan teknologi ini dapat kita manfaatkan dengan baik, bukan justru melemahkan gerakan mahasiswa. Jadi, tidak ada masalah jika mahasiswa tetap unjuk rasa turun kejalan ataupun melakukan kampanye sosial media. Selagi mahasiswa masih mau bergerak, apapun metodenya itu tetaplah hal yang baik," ucap Renaldo.                 

Rimba Zait Shalsyabill Nasution, Staff Analisis Data dan Kampanye di Yayasan Srikandi Lestari menilai, tren pergerakan mahasiswa mulai berubah dengan memanfaatkan media sosial digital. “Aku kerap kali memang melihat digital itu sangat digemari dan disenangi oleh kaum muda saat ini, khususnya gen Z karena didalam media sosial itu bisa lebih berekspresi, lebih banyak fitur dan desain gambar perlawanan,” ujarnya.

“Namun, lagi-lagi aku menganggap itu kurang untuk kita menggebrak apalagi membuat satu perubahan di media sosial. Bisa, ya bisa seperti membuat petisi. Tapi kalau itu pun sudah jutaan orang tandatangani petisi itu sehingga bisa mempengaruhi kebijakan itu bisa. Tapi kecil kemungkinan rasio perubahan," jelasnya.

Menurut Rimba, pergerakan Gen Z saat ini agak berubah dan agak takut untuk turun ke jalan. "Karena lagi-lagi kalau kita turun ke jalan sering kali dihadapkan sama aparat, nanti aparat itu represif duluan kita udah damai-damai ternyata dia duluan yang represif,” tukasnya.

“Itu sering terjadi sebetulnya dan ini yang membuat media sosial menjadi alternatifnya untuk mencurahkan emosionalnya terkait kondisi dan situasi. Itu yang membuat tren baru dikalangan gen Z dalam gerakan di media sosial ketika dijalanan sudah tidak lagi mendapatkan rasa Aman akhirnya gen Z lari ke media sosial yang menurutnya ada rasa Aman walaupun gak Aman karena ada undang-undang ITE juga," tambah Rimba.

6. Pers kampus ternyata masih punya taji

ilustrasi multitasking (unsplash.com/Maxim Ilyahov)

Selain gelar aksi di jalan dan medsos, ada media lainnya jadi pilihan mahasiswa menyampaikan aspirasi yakni melalui pers kampus. Pimpinan Umum LPM Roeang Suara UIGM Palembang, Rangga Sutrisna menerangkan, pers kampus masih memiliki taji dalam mengawal setiap kebijakan kampus dan negara. Terlebih di era digital, kritik-kritik itu dianggap makin tajam hingga bisa didengar oleh semua orang.

"Kritik dari pers kampus tetap relevan. Media sosial mempercepat penyebaran informasi, tetapi kritik tertulis memberikan analisis yang lebih mendalam dan terstruktur. Namun, tidak sedikit intervensi yang terjadi di kalangan pers mahasiswa," jelas dia.

Rangga menilai, pers mahasiswa berfungsi sebagai corong suara gerakan mahasiswa. Mereka melaporkan aksi, menyebarkan tuntutan dan memberikan analisis kritis tentang isu-isu yang berkembang.

"Pers mahasiswa juga menyelaraskan gerakan mahasiswa dengan membangun komunikasi dan menyatukan visi yang sama. Di Sumsel ada Forum Komunikasi Pers Mahasiswa Sumsel (FKPMS) yang senantiasa mengadakan pertemuan rutin, forum diskusi dan workshop dapat membantu menyatukan berbagai elemen," jelas dia.

Rangga menilai, saat ini dorongan kemajuan teknologi membuat pers mahasiswa dan gerakan mahasiswa lebih dinamis. Mereka bergantung dengan teknologi digital untuk mengkampanyekan hal-hal yang menjadi keresahan gerakan mahasiswa.

"Kita menggunakan media sosial untuk menyebarkan informasi, mendokumentasikan kegiatan, dan mengajak audiens berpartisipasi aktif, serta berkolaborasi lintas kampus yang menciptakan jaringan kuat antar pers mahasiswa dari berbagai universitas," jelas dia.

Hal serupa juga dilakukan pers mahasiswa Serang, Banten menyatakan sikap akan terus membela kepentingan rakyat dan menjaga iklim demokrasi di lingkungan kampus. Koordinator Umum Aliansi Pers Mahasiswa Serang (APMS), Ahmad Khudori menyatakan, peran mahasiswa, khususnya pers mahasiswa, harus tetap berada di garda depan perjuangan idealisme untuk kepentingan rakyat.“Pers mahasiswa masih di garis idealisme, rel perlawanan bersama masyarakat,” kata Ahmad, Minggu (27/10/2024).

Ni Putu Lily Darmayanti menyatakan, selama bergabung dalam pers mahasiswa di kampusnya, ada pro dan kontra dari lingkungan di universitas. Pemberitaan yang telah diterbitkan dapat menuai ancaman. “Dari berita yang telah kami publish dari segi keamanan dan perlindungan kami, apa yang terjadi setelah ini apakah dapat surat peringatan atau kemungkinan terburuk dikeluarkan dari kampus,” ujar Lily, pada Kamis (24/10/2024).

Tak hanya rentan ancaman, tantangan lainnya yang dihadapi pers mahasiswa, menurut Ida Ayu Kusuma Widiari, Pemimpin Umum Pers Mahasiswa (Persma) Akademika 2023/2024, adalah dilema dalam mengidentifikasi jati diri. “Dalam artian, ada kegagapan dalam diri persma saat ini untuk  mengidentifikasi nilai-nilai yang mesti diadopsi dari persma di masa lalu,” jelasnya.

Menurut mahasiswa Fakultas Hukum ini, gejolak situasi politik yang berbeda membuat pers mahasiswa harus beradaptasi.

7. Perjuangkan hak rakyat bukan hanya tanggungjawab mahasiswa

Gerakan mahasiswa Jawa Timur. (IDN Times/Khusnul Hasana)

Terkait gerakan mahasiswa, Direktur LBH Bandar Lampung, Sumaindra Jarwadi menyebutkan, gelombang pergerakan tersebut dimotori adanya masyarakat atau kelompok merasakan bangsa Indonesia belum sepenuhnya merdeka. Misal, dalam konteks kemiskinan, pendidikan, kesehatan dan lain-lain, sehingga kehadiran gerakan mahasiswa menjadi pelopor bagi masyarakat atau kelompok belum merasakan kemerdekaan tersebut.

"Perkembangan terakhir, kita lihat ada banyak gerakan-gerakan mahasiswa yang lahir berjuang menyuarakan kebijakan yang tidak pro rakyat, misal revisi UU KPK, Omnibus. Saya rasa pergerakan mahasiswa akan terus menjadi api perlawanan terhadap penindasan," ucapnya.

LBH amat mensyukuri atas sikap mahasiswa pada hari ini masih mau memperjuangkan hak-hak rakyat dengan cara-cara turun ke jalan. Namun perlu diingat, situasi terjadi bukan hanya tanggung jawab mahasiswa, melainkan semua pihak merasakan penindasan dan ketidakadilan untuk bergerak bersama. "Kita negara demokrasi yang secara prinsipnya negara punya tanggung jawab soal pemenuhan hak-hak warga negara," tambahnya.

Dalam konteks negara demokrasi, Sumaindra menambahkan, rakyat merupakan pemegang kedaulatan tertinggi dalam bernegara sehingga sudah seharusnya pemerintah hadir mengedepankan kepentingan rakyat. Namun bila prinsip tersebut tak dijalankan, maka rakyat memiliki hak menyuarakan aspirasi kepada pemerintah.

"Protes semacam aksi adalah hak yang melekat secara konstitusional kepada warga negara dalam mengingatkan kepada pemerintah, bahwa kebijakan harus berlandaskan rakyat," ucapnya.

Menurutnya, gerakan mahasiswa dalam demostrasi masih amat relevan di tengah perkembangan zaman saat ini. Terlebih tatkala pemerintah mulai menutup ruang partisipasi ruang, mengabaikan transparansi, hingga pelanggaran konstitusi. "Saya rasa memang tidak ada jalan lain, bagaimana rakyat dengan kesadaran bersama menuntut sebagai alarm kepada pemerintah, bahwa kebijakan tersebut tidak berdasarkan kepentingan rakyat dan lebih menguntungkan kelompok tertentu serta kroni-kroninya," sambung dia.

Akademisi Fakultas Hukum Unila, Budiyono mengajak kalangan muda mahasiswa menjadikan Hari Sumpah Pemuda sebagai momentum untuk terus menjadi mahasiswa yang bersikap kritis. Terutama terhadap penegakan hukum dan perjuangan menegakkan negara demokratis.

"Tetap perjuangkan kebebasan berekspektasi, berpendapat. Itu harus terus diperjuangkan dan konsisten dengan gerakan mahasiswa sebagai gerakan reformasi yang melawan ketidakadilan, ketidakberpihakan terhadap masyarakat," serunya.

Budiyono melanjutkan, pergerakan mahasiswa saat ini tidak sebatas turun ke jalan. Melainkan juga menggerakkan teknologi untuk memberikan kesadaran masyarakat terhadap hak-haknya sebagai warga negara. "Tetap jagalah kebebasan berpendapat, bebas berdemokrasi, bebas berekspresi selama tidak menyinggung hal-hal personal suku, agama, dan antargolongan," imbuh dia.

8. Mahasiswa merefleksikan diri momen Hari Sumpah Pemuda

Diorama Kongres Pemuda II di Museum Sumpah Pemuda (IDN Times/Febriyanti Revitasari)

Momentum Hari Sumpah Pemuda 2024, Gen Z perwakilan mahasiswa menyampaikan uneg-unengnya. Terkait, apakah gerakan aktivisme saat ini masih relevan dengan Sumpah Pemuda Aulia Thaariq Akbar Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Airlangga (BEM Unair) menyebut masih sangat relevan.

Bedanya, jika dulu Sumpah Pemuda untuk menyatukan anak muda di seluruh Tanah Air melawan penjajah, kini gerakan pemuda Indonesia lebih kepada bahu-membahu mengurangi ketimpangan sosial. "Misalnya kita bisa melihat ketimpangan yang ada di masyarakat atau ketidakadilan dari kebijakan, nah itu kita yang bahu," pungkas dia.

Aktivis Mahasiswa dari Universitas Lampung (Unila), Naufal Alman Widodo mengajak rekan-rekan khususnya mahasiswa merefleksikan diri atas semangat pemuda-pemudi terdahulu dalam memperjuangkan kemerdekaan Tanah Air. "Kita tahu dalam sejarah ada namanya Kongres Pemuda I dan II, penculikan Sukarno untuk mendesak segera membacakan proklamasi. Artinya, pemuda punya suatu hal yang tidak dimiliki golongan tua yaitu, pandangan dan cita-cita," ucapnya.

Menurutnya, sosok pemuda harus selalu berpegang teguh pada optimisme dalam meraih cita-cita dan harapan. "Sejarah telah menunjukkan, bahwa pemuda adalah bagian penting untuk mewujudkan NKRI," lanjut mahasiswa Fakultas Hukum tersebut.

Pimpinan Umum LPM Roeang Suara UIGM Palembang, Rangga Sutrisna menjelaskan, gerakan Sumpah Pemuda yang dilakukan hampir satu abad silam dianggap masih relevan untuk mengingatkan kepada tonggak gerakan pemuda di Indonesia. Ia menyakini, gerakan ini akan terus menjadi simbol persatuan dan kebangkitan nasional. "Di era digital ini, semangat Sumpah Pemuda bisa diwujudkan melalui solidaritas seluruh mahasiswa antar kampus. Kami bisa berkolaborasi untuk menyelesaikan masalah yang ada," jelas dia.

Renaldo Diaz Simbolon sebagai founder Gerakan Untuk Rakyat (GUNTUR)  berharap, lewat momentum hari sumpah pemuda khususnya untuk tahun ini harus dijadikan sebagai momentum refleksi sebagai pemuda dan pemudi Indonesia. "Untuk rekan-rekan pemuda dan pemudi setanah air, saya mau sampaikan bahwa tantangan kita adalah upaya pecah belah. Negeri ini milik kita bersama, jadi harus kita rawat dan perjuangkan bersama untuk kepentingan bersama. Rekan-rekan boleh memilih metode perjuangannya masing-masing asalkan kita tidak memilih apatis atau bahkan berbenturan satu dengan yang lainnya," jelasnya.

Tim Penulis:

Tama Yudha Wiguna, M Rangga Erfizal, Erik Alfian, Hamdani, Ni Komang Yuko Utami, Khaerul Anwar, Muhammad Nasir, Indah Permata Sari, Khusnul Hasana, Ardiansyah Fajar dan Muhammad Iqbal

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Martin Tobing
EditorMartin Tobing
Follow Us