Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Cerita Freelance Gen Z Lampung, Fleksibel tapi Banyak Tantangan

Ilustrasi Pekerja Freelance (Pexel/Andrea Piacquadio)
Ilustrasi Pekerja Freelance (Pexel/Andrea Piacquadio)
Intinya sih...
  • Gen Z di Lampung memilih freelance sebagai cara berekspresi dan mencari penghasilan
  • Fleksibilitas waktu dan kebebasan menentukan proyek menjadi alasan utama Gen Z memilih freelance sebagai karier jangka panjang
  • Pekerja freelance masih menghadapi ketidakpastian, seperti pendapatan yang naik-turun dan minimnya perlindungan hukum
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Bandar Lampung, IDN Times - Fenomena freelance kini makin marak di kalangan anak muda, termasuk Gen Z di Lampung. Mereka memilih jalur ini bukan hanya untuk mencari penghasilan, tapi juga sebagai cara berekspresi, menyalurkan hobi, hingga membangun portofolio karier.

Survei Indonesia Millennial and Gen Z Report 2026 bahkan mencatat, 84 persen Gen Z dan Milenial lebih tertarik menekuni freelance dibanding kerja kantoran. Namun, dibalik keseruan itu, ada sisi lain yang perlu diwaspadai: minimnya regulasi dan perlindungan hukum membuat pekerja freelance rentan dieksploitasi.

Mulai dari upah yang tak menentu, kontrak yang abu-abu, hingga ketiadaan jaminan sosial. Nah, pertanyaannya, apakah freelance benar-benar wajah masa depan dunia kerja, atau justru jebakan kebebasan semu?

Kali ini IDN Times menggali tentang bagaimana Gen Z di Lampung merangkai karier lewat freelance, sekaligus tantangan mereka hadapi.

1. Sulit dapat pekerjaan tetap akhirnya pilih freelance

Zulfauzi, seorang pekerja freelance asal Lampung (Dok. IDN Times/Istimewa)
Zulfauzi, seorang pekerja freelance asal Lampung (Dok. IDN Times/Istimewa)

Zulfauzi tak pernah benar-benar memilih untuk menjadi seorang freelancer. Pekerja digital di platform Fiverr ini mengaku, awalnya keputusan itu lebih karena tuntutan hidup.

Setelah lulus kuliah, ia sempat berulang kali melamar kerja. Bahkan sampai mengirimkan hampir 100 lamaran pekerjaan, menghadiri sekitar 10 kali wawancara, namun tak satu pun membuahkan hasil.

“Kayaknya memang saya gak kompeten di posisi yang saya lamar, jadi ya gak diterima. Akhirnya lihat peluang di freelance, yaudah jalani aja sampai sekarang,” ucap Zul sapaan akrabnya saat diwawancara IDN Times, Sabtu (20/9/2025).

Baginya, pekerjaan freelance ibarat batu loncatan ketika hidup sedang di persimpangan. Ia mengaku dulu sulit sekali mendapatkan pekerjaan tetap, sehingga akhirnya mencoba mencari penghasilan di dunia digital.

Berbekal laptop, internet, dan keinginan untuk bertahan, ia mulai menekuni dunia kerja lepas. Meski begitu, Zul tak menutup mata bahwa jalan ini penuh tantangan.

“Kalau jadi karyawan tetap, kan jelas ada gaji bulanan bahkan tunjangan kesehatan. Kalau freelance beda, kalau gak ada job ya gak ada duit masuk. Tekanan finansial itu berat. Ditambah lagi kalau dapat klien yang ribet, kerjaan gak kelar-kelar, itu juga tekanan tersendiri,” jelasnya.

Namun di sisi lain, ia juga merasakan kebebasan yang sulit didapat jika bekerja kantoran. Ia bisa bekerja di mana saja, mengatur waktu sendiri, dan menentukan proyek apa yang mau diambil.

2. Freelance bisa dijadikan karier jangka panjang

Ilustrasi Pekerja Freelance (Pexel/olia danilevich)
Ilustrasi Pekerja Freelance (Pexel/olia danilevich)

Zul menekuni pekerjaan freelance sejak masih kuliah. Saat itu, ia dan seorang teman kos sama-sama sedang kesulitan ekonomi. Mereka lalu mencari cara mendapatkan uang lewat internet.

“Aku dulu belajar dari Google dan YouTube. Tapi waktu kuliah kan masih sibuk, jadi baru serius setelah lulus. Ternyata cari duit di internet itu gak segampang artikel-artikel yang bilang bisa cepat kaya. Kita tetap harus realistis, dan salah satu yang masuk akal ya kerja buat orang lain lewat platform freelance,” katanya.

Pengalaman unik ia rasakan saat pertama kali mendapat klien luar negeri. Ia bingung harus memasang harga, sering kali dibayar rendah padahal pekerjaan yang diminta banyak, bahkan berulang kali revisi sampai akhirnya proyek dibatalkan sepihak.

“Kalau udah di-cancel klien, kita gak bisa ngapa-ngapain. Mau marah juga gak bisa, takutnya nanti malah dapat rating jelek. Sistemnya memang lebih berpihak ke klien,” ujarnya.

Dari situ, Zul belajar menetapkan harga yang sesuai dengan kinerjanya, sekaligus memilih klien yang lebih profesional.

Lima tahun menekuni dunia freelance membuat Zul yakin bahwa pekerjaan ini bisa dijadikan karier jangka panjang. Kuncinya, kata dia, adalah terus meng-upgrade skill, aktif mencari klien baru, dan menjaga kualitas kerja.

3. Pekerja freelance masih menghadapi ketidakpastian

Ilustrasi Pekerja Freelance (Pexel/Andrea Piacquadio)
Ilustrasi Pekerja Freelance (Pexel/Andrea Piacquadio)

Meski begitu, Zul juga menyadari pekerja freelance masih menghadapi ketidakpastian. Terutama soal pendapatan yang naik-turun dan tidak adanya perlindungan hukum.

“Kadang rezeki banjir, banyak proyek masuk. Tapi kalau lagi sepi, gak ada yang bayar. Apalagi saingannya global. Selain itu, kita juga gak punya jaminan sosial atau perlindungan yang jelas dari negara, padahal freelance ini juga berkontribusi bawa devisa ke Indonesia. Saya harap ke depan pemerintah bisa bikin regulasi seperti di Malaysia, ada aturan kontrak dan jaminan sosial untuk freelancer,” tutur Zul.

Kini, meski awalnya terpaksa, Zul memandang dunia freelance bukan lagi sekadar jalan keluar, melainkan pilihan karier yang bisa diandalkan. Asal terus belajar dan beradaptasi, pekerjaan ini bisa memberi kebebasan sekaligus keberlanjutan.

4. Fleksibilitas jadi alasan utama Rahmi pilih freelance

Ilustrasi Pekerja Freelance (Pexel/Andrea Piacquadio)
Ilustrasi Pekerja Freelance (Pexel/Andrea Piacquadio)

Bagi Rahmi Dwi Alyani, memilih jalur freelance bukan sekadar ikut tren, melainkan keputusan yang sangat personal. Gen Z satu ini merasa fleksibilitas waktu ditawarkan pekerjaan freelance membantunya tetap bisa mengurus rumah sekaligus menemani orang tua.

“Selain itu, aku bisa hemat biaya transportasi, baju, dan makeup,” ujarnya.

Rahmi menjalani freelance dengan mengelola kelas digital miliknya pribadi. Dari sisi waktu, ia merasa jauh lebih bebas.

Ia bisa mengatur jadwal sesuai kebutuhan peserta dan ritme kerjanya sendiri. Meski begitu, tekanan tetap ada, bukan dari klien atau beban kerja, melainkan dari ekspektasi pribadi.

“Aku punya target atau KPI sendiri, tapi kadang belum tercapai. Jadi penghasilannya masih unstable. Tekanannya lebih ke diri sendiri, sih,” katanya.

5. Awal perjalanan, bingung tapi nekat

Ilustrasi Pekerja Freelance (Pexel/Andrea Piacquadio)
Ilustrasi Pekerja Freelance (Pexel/Andrea Piacquadio)

Seperti banyak freelancer lain, perjalanan Rahmi dimulai dengan rasa bingung. Ia tak tahu harus mulai dari mana, apakah skill yang dimiliki cukup untuk bersaing, berapa harga yang pantas dipasang, atau bagaimana membangun personal branding agar dipercaya.

“Akhirnya aku belajar dari media sosial, dapat banyak ilmu, terus nekat aja share skill dan produk kelas digital yang aku punya. Waktu dapat klien pertama rasanya senang banget, setidaknya ada yang notice keberadaanku,” tuturnya sambil tertawa.

Meski begitu, tantangan awal tak bisa dibilang ringan. Ada calon peserta yang menawar harga, minta mencicil, bahkan berharap bisa ikut gratis.

Padahal, testimoni diterima justru mengatakan kelas digitalnya sangat bermanfaat dan worth it. Bahkan beberapa peserta rela memberi tip karena merasa ilmunya “daging banget” dengan harga yang sangat terjangkau.

Rahmi menceritakan ia juga menghadapi persaingan ketat dengan sesama pekerja lepas lain, bahkan skala global. Belum lagi keterbatasan biaya untuk upgrade perangkat kerja, berlangganan software, ikut kursus, hingga menabung dana darurat karena tidak ada perlindungan sama sekali.

“Sekarang makin banyak yang pakai AI. Jadi aku harus cari keunikan skill supaya tetap punya pasar sendiri,” jelasnya.

Rahmi menyoroti minimnya regulasi yang melindungi freelancer di Indonesia. Dari kontrak kerja, sengketa pembayaran, hingga akses jaminan sosial dan kesehatan, semua masih abu-abu. Akibatnya, banyak freelancer seperti dirinya merasa tidak punya keamanan kerja jangka panjang.

“Pemerintah seharusnya juga lebih jelas soal akses program resmi. Aku aja bingung, kalau mau daftarin kelas digital biar berkembang, ke mana? Apakah ke LKP Kemendikbudristek, LPK Kemnaker/Skillhub, Prakerja, atau program digital Kominfo? Minim banget sosialisasi, jadi kelas ini berjalan sendiri tanpa ekosistem pendukung,” keluh Rahmi.

6. Harapan dan masa depan freelance

Ilustrasi Pekerja Freelance (Pexel/Resume Genius)
Ilustrasi Pekerja Freelance (Pexel/Resume Genius)

Meski freelance masih ia jadikan side hustle, Rahmi percaya karier ini punya prospek besar di masa depan. Dalam bayangannya, 5–10 tahun mendatang pekerjaan freelance akan semakin besar, global, sekaligus diakui secara formal.

“Lebih besar, karena perusahaan bakal makin banyak pakai tenaga freelance. Lebih global, karena platform digital bikin kita bisa bersaing di pasar internasional. Lebih terlindungi, karena mungkin nanti ada regulasi standar kontrak dan jaminan sosial. Dan lebih hybrid, karena orang bisa gabungin freelance, kontrak pendek, plus bisnis sampingan,” ujarnya.

Namun, ia juga realistis. Tidak semua orang cocok menjadikan freelance sebagai jalur utama. “Kalau gak adaptif sama zaman, gak inovatif, gak punya skill relevan, apalagi gak bisa bahasa internasional, ya sulit. Ditambah lagi freelancer gak punya pensiun, jadi harus pandai atur keuangan,” tegasnya.

Bagi Rahmi, freelance saat ini tetap menjadi pekerjaan sampingan yang memberi banyak manfaat. Selain mengasah skill dan membangun koneksi, ia juga melihat jalur ini sebagai cadangan apabila suatu saat tidak bisa bekerja di sektor formal.

“Freelance itu memang penuh tantangan. Tapi kalau kita adaptif, inovatif, dan terus belajar, peluangnya besar banget. Masa depannya cerah, asalkan siap menghadapi tekanan dan ketidakpastian,” tandasnya.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Martin Tobing
EditorMartin Tobing
Follow Us

Latest News Lampung

See More

Mesin Oven Pabrik Sagu di Tubaba Meledak, 6 Pekerja Alami Luka Bakar

20 Sep 2025, 12:03 WIBNews