Koperasi Merah Putih di Lampung: Baru Seremoni Tanpa Arah Pemberdayaan

- Program Koperasi Merah Putih di Lampung dinilai seremonial tanpa pemberdayaan yang jelas
- Koperasi lebih mengejar kuantitas ketimbang kualitas, menghadapi masalah SDM, literasi keuangan, dan infrastruktur
- Perlu menggeser fokus dari pusat ke daerah, dari pengadaan menjadi pemberdayaan ekonomi lokal berkelanjutan
Bandar Lampung, IDN Times - Kehadiran Progam Koperasi Merah Putih di Provinsi Lampung dinilai masih sebatas ajang seremonial tanpa arah pemberdayaan yang jelas, meski telah diresmikan dan diluncurkan sejak Juni 2025 kemarin.
Pengamat kebijakan publik, Vincensius Soma Ferrer mengatakan, Lampung memang sempat digaungkan sebagai salah satu provinsi tercepat membentuk Koperasi Merah Putih saat peluncuran nasional beberapa waktu lalu. Namun, kecepatan administratif itu tidak berbanding lurus, dengan kesiapan substansi dan manfaat di lapangan.
“Pertanyaan mendasarnya bukan sekadar seberapa cepat koperasi itu terbentuk, tapi seberapa besar manfaatnya benar-benar dirasakan masyarakat,” ujar Soma sapaan akrabnya, Jumat (17/10/2025).
1. Lebih mengejar kuantitas ketimbang kualitas

Soma menyampaikan, kehadiran program ini sejak awal amat jelas mempertontonkan gejala umum terjadi dalam urusan birokrasi, yakni lebih mengejar kuantitas lembaga ketimbang kualitas pemberdayaan.
“Lampung memang terlihat cepat secara administratif, tapi secara substansial masih jauh dari harapan. Ini yang membuat programnya tampak besar, tapi kosong di lapangan,” kata Akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Lampung tersebut.
Walhasil, gejala awal atas kondisi tersebut kini mulai terlihat dalam realita beberapa bulan terakhir, sebab, banyak Koperasi Merah Putih di tingkat kelurahan maupun desa belum menunjukkan aktivitas usaha. "Grand design koperasi seharusnya menjadi pintu memperkuat ekonomi lokal di tingkat desa ataupun kelurahan, bukan sebatas memenuhi target pengadaan koperasi saja," lanjutnya.
2. Hadapi masalah klasik seperti SDM, literasi keuangan, dan infrastruktur

Koperasi Merah Putih di Lampung kini disebut sedang menghadapi permasalahan klasik yang sama seperti koperasi desa (Kopdes) kebanyakan sebelumnya. Pertama, keterbatasan sumber daya manusia (SDM) dalam manajemen usaha.
Kedua, rendahnya literasi keuangan pengurus koperasi. Ketiga, minim infrastruktur dan dukungan logistik justru menjadi fondasi utama keberhasilan koperasi.
“Sejak awal pendekatannya administratif, targetnya berapa banyak koperasi terbentuk, bukan bagaimana koperasi itu bertahan dan tumbuh. Akibatnya, dukungan teknis dan infrastruktur menyusul belakangan,” ucap Soma.
Maka dari itu, ia memandang tanpa pendampingan yang jelas dari pemerintah, maka Koperasi Merah Putih berisiko kehilangan arah dan hanya menjadi simbol kebijakan ekonomi kosong. "Jangan sampai ini hanya menjadi simbolis, bukan sarana pemberdayaan. Itu yang terjadi saat ini,” sambung dia.
3. Perlu menggeser fokus dari pusat ke daerah

Soma menambahkan, Koperasi Merah Putih agar tidak berakhir sebatas “proyek formalitas”, maka pemerintah daerah perlu menggeser orientasi program. Dari sekadar pelaksana kebijakan pusat, Provinsi Lampung harus menjadi inisiator ekonomi lokal berbasis potensi desa dan kelurahan.
“Setiap wilayah punya kekuatan ekonomi berbeda. Ada yang unggul di pertanian, perkebunan, perikanan tangkap, atau budidaya. Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota harus memetakan potensi ini dengan pendekatan riset dan kolaborasi,” jelasnya.
Maka dari itu, ia mendorong agar Pemprov Lampung menggandeng akademisi dan tokoh masyarakat untuk melakukan klasifikasi potensi ekonomi setiap wilayah. Harapannya, koperasi tidak seragam dalam format yang sama, tapi adaptif terhadap kekuatan lokal.
“Kalau berbasis riset dan data lapangan, koperasi akan menjadi instrumen hidup, bukan sekadar jargon. Evaluasinya juga bisa berkelanjutan, tidak berhenti di peresmian,” serunya.
4. Dari pengadaan menjadi pemberdayaan

Soma turut menegaskan, arah pengembangan Koperasi Merah Putih di Provinsi Lampung sudah sejatinya bukan lagi pengadaan secara kelembagaan, tapi lebih kepada pemberdayaan kemasyarakatan.
Pasalnya, jika dijalankan dengan konsisten dan berbasis komunitas warga di masing-masing wilayah, maka Lampung justru berpeluang menjadi daerah percontohan nasional dalam pengembangan ekonomi lokal berkelanjutan.
“Rekam jejak cepatnya pembentukan koperasi ini bisa menjadi pijakan bagus. Tinggal bagaimana pemerintah daerah mengubahnya menjadi sistem pemberdayaan ekonomi komunitas yang nyata,” imbuh dosen Ilmu Administrasi Negara tersebut.