Kopda Bazarsah Divonis Mati, Akademisi: Dibenarkan dan Sudah Tepat

- Legalitas pidana hukuman mati disertai UU darurat
- Peltu Lubis dipandang punya peran lebih rendah atau sikap kooperatif
- Keduanya jelas merusak integritas institusi militer
Bandar Lampung, IDN Times - Pengadilan Militer I-04 Palembang memvonis terdakwa kasus penembakan tiga polisi di Kabupaten Way Kanan, Kopda Bazarsah dengan hukuman mati. Putusan majelis hakim dinilai dan dipandang sudah tepat sesuai fakta persidangan.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Bandar Lampung (UBL), Benny Karya Limantara mengatakan, fakta yuridis terungkap di persidangan disebut Kopda Bazarsah didakwa Primair Pasal 340 KUHP (pembunuhan berencana), subsidiair Pasal 338 KUHP (pembunuhan biasa), juncto UU Darurat No. 12 Tahun 1951 (senjata api), juncto Pasal 303 KUHP (perjudian).
Sehingga dalam putusan perkara, majelis hakim menilai tindakan terdakwa Kopda Bazarsah terbukti Pasal 338 KUHP, namun dijatuhi pidana mati dan pemecatan dari TNI. "Ya, secara kesimpulan pidana mati pada kasus ini bisa dibenarkan secara hukum hanya jika dasar UU Darurat ditegaskan dalam amar putusan. Jadi ini sudah tepat," ujarnya dikonfirmasi, Selasa (12/8/2025).
1. Azas legalitas pidana hukuman mati disertai UU darurat

Dalam putusan tersebut, Benny menyampaikan, hukuman mati sebagaimana dijerat kepada Kopda Bazarsah umumnya dijatuhkan pada Pasal 340 atau 365 ayat (4) KUHP, sehingga penerapan pidana mati pada Pasal 338 memunculkan isu ultra petita dan proporsionalitas hukuman.
Meski demikian, menjatuhkan pidana mati atas dasar Pasal 338 memerlukan dasar hukum khusus, misalnya kumulasi dengan UU Darurat No. 12 Tahun 1951 terkait senjata api yang memang membuka ruang pidana mati.
"Secara asas legalitas, penjatuhan pidana mati sah bila dirujuk pada UU Darurat, tetapi harus jelas dalam pertimbangan putusan," katanya.
2. Peltu Lubis dipandang punya peran lebih rendah atau sikap kooperatif

Menyinggung putusan terdakwa lainnya dalam perkara ini, Benny mengungkap, vonis dikenakan terhadap terdakwa, Peltu Lubis dalam kasus perjudian sabung ayam hanya diputus 3 tahun 6 bulan dari tuntutan 6 tahun penjara. Itu dinilai hakim kemungkinan mempertimbangkan mitigating factors seperti peran lebih rendah atau sikap kooperatif terdakwa.
Meski demikian, walaupun kasus Peltu Lubis hanya memiliki peran terkait perjudian, maka pemecatan tetap dijatuhkan karena pelanggaran berat terhadap disiplin dan kode etik militer.
“Penurunan hukuman dari 6 tahun (tuntutan) menjadi 3,5 tahun (vonis) dapat diartikan sebagai penerapan asas individualisasi pidana, sebab, hakim mempertimbangkan peran lebih rendah, sikap kooperatif, atau faktor sosial dan ekonomi.,” katanya.
3. Keduanya jelas merusak integritas institusi militer

Lebih dalam dilihat dari perspektif kriminologi dan etika militer, Benny menambahkan, perbuatan kedua terdakwa dalam kasus penembakan dan perjudian sabung ayam ini bukan hanya melanggar hukum pidana umum, tapi juga merusak integritas institusi militer.
Menurutnya, tindakan Kopda Bazarsah mengandung lethal violence dengan penggunaan senjata api terhadap aparat negara yakni polisi, yang dalam perspektif militer dianggap pengkhianatan terhadap sumpah prajurit. Sedangkan tindakan Peltu Lubis terkait perjudian masuk kategori vice crime yang melemahkan disiplin dan kredibilitas TNI.
"Peradilan militer memiliki ruang diskresi lebih luas dalam menjatuhkan sanksi etik berupa pemecatan selain pidana pokok, tapiharus dipastikan hukuman mencerminkan tingkat kesalahan dan peran masing-masing terdakwa, serta mempertimbangkan efek jera dan keadilan substantif," ucap dia.