Harganas Gak Selalu Tentang Perempuan, Ini Curhat Lelaki Sering Terlupakan

- Laki-laki mengalami tekanan sosial untuk tidak bercerita dan memendam emosi
- Pola asuh sejak kecil membuat laki-laki sulit mengenali dan mengungkapkan perasaannya
- Dukungan keluarga, terutama dari istri dan orang tua, sangat berpengaruh dalam membantu laki-laki untuk lebih terbuka
Bandar Lampung, IDN Times - Setiap 29 Juni, Indonesia memperingati Hari Keluarga Nasional (Harganas), momen penting untuk menegaskan kembali peran keluarga sebagai pondasi utama pembentukan karakter dan kesehatan mental.
Namun di tengah seruan untuk memperkuat komunikasi dalam keluarga, realita di media sosial justru mengungkap sisi lain. Laki-laki masih dibayangi tekanan sosial untuk selalu tampak kuat, pendiam dan tahan banting.
Tagar seperti #LakilakiTidakBercerita #CowokGakBolehNangis hingga #DiamAja mencerminkan fenomena toksik maskulinitas yang membuat banyak pria memilih memendam emosi, bahkan di dalam rumahnya sendiri.
Benarkah laki-laki masih enggan bercerita saat menghadapi tekanan sebagai kepala keluarga? Kali ini, IDN Times merangkum kisah nyata dari seorang pria yang telah berkeluarga di Lampung, serta pandangan psikolog yang membedah realita ini dari sisi kesehatan mental.
1. Dulu sering dianggap drama, sekarang lebih terbuka ke istri

AS, seorang pengajar di Bandar Lampung mengakui dirinya termasuk tipe laki-laki yang selektif dalam bercerita. Bukan tanpa alasan, pengalaman masa lalu membuatnya berhati-hati saat membuka diri.
"Saya tuh cerita kalau nemu orang yang tepat. Soalnya dulu seringnya malah di-judge, dibilang drama atau 'masalah lo doang bukan yang paling berat'. Padahal kadang orang cuma pengin didengerin, bukan cari solusi," kata AS kepada IDN Times, Sabtu (21/6/2025).
Meski sempat mengalami fase-fase berat, termasuk kehilangan istri pertama hingga berpikir untuk mengakhiri hidup, pria 32 tahun itu mengaku dukungan keluarga sangat memengaruhi proses pemulihannya. Kini, ia lebih terbuka, terutama kepada istrinya saat ini.
"Istriku orangnya rasional dan suportif banget. Sekarang apa-apa aku cerita ke dia. Dikasih solusi iya, diapresiasi juga iya. Misal aku bantu beberes rumah, dia seneng banget. Itu bikin aku ngerasa dihargai," ucapnya.
AS juga sempat ingin berkonsultasi ke psikolog saat kondisi mentalnya memburuk, namun ragu dengan layanan yang tersedia di kabupaten tempat tinggalnya. Ia memilih memahami dirinya sendiri lewat membaca jurnal dan refleksi.
"Waktu itu pengin ke psikolog tapi gak yakin dengan pelayanannya. Akhirnya lebih banyak self-diagnose walaupun itu sebenernya gak ideal. Tapi sekarang lebih terbuka karena keluarga dan istri selalu support. Aku belajar dari pengalaman sebelumnya," ujarnya.
2. Anak pertama yang terbiasa memendam

Cerita lainnya datang dari Alfani Pratama, seorang Ads Specialist yang terbiasa memendam perasaan. Sebagai anak pertama sekaligus cucu pertama dari pihak ayah, ia merasa mendapat tekanan tersendiri dalam keluarga.
"Paling bikin sakit hati tuh kalau punya masalah tapi dibilang ‘kamu tuh gak bisa apa-apa’, rasanya kayak diragukan sama orang terdekat. Itu bikin makin down," ucap Alfani kepada IDN Times.
Meski begitu, ia punya satu tempat paling aman untuk bercerita, yaitu ibu. Bukan cuma tempat mencurahkan isi hati, menurutnya ibu membawa "hal magic".
"Setiap cerita ke ibu, gak tahu kenapa kayak selalu ada jalan keluar. Mungkin karena didoain ya. Jadi gak cuma lega karena bisa curhat, tapi juga ngerasa dilindungi," katanya.
Namun, diluar ibu, Alfani cenderung enggan terbuka. Ia takut ceritanya justru jadi beban orang lain, disalahpahami, bahkan disebarkan.
"Makanya milih-milih banget kalau mau cerita. Kadang juga nyesel setelah cerita, takut dibilang lebay. Jadi akhirnya pelariannya main game atau muter-muter naik motor biar pikiran tenang," ujarnya.
Dia juga mengungkap harapan sederhana saat menghadapi masalah, yakni dukungan yang empatik, bukan kompetisi luka.
"Jangan malah adu nasib. Biarkan orang melepas stres dengan caranya sendiri. Kalau saya ya cukup main game secukupnya aja," katanya sambil tertawa.
Sebagai pribadi yang mandiri, Alfani mengaku sering mengambil keputusan sendiri, kecuali jika menyangkut risiko besar, baru dia diskusi dengan istri atau orang tua. Ia juga mengakui bahwa pola komunikasi dengan orangtua tidak selalu ideal, terutama soal pekerjaan.
“Saya udah kerja WFH dari 2020 sampai sekarang, tapi orang tua masih sering nyuruh daftar ASN atau PPPK. Diomelin karena dianggap kerjaan saya gak pasti. Padahal kerja WFH tuh bukan berarti nganggur, jam kerja sama aja,” ceritanya.
Meski sering diminta ikut seleksi pekerjaan ‘pasti’, Alfani tetap mencoba menuruti sebisanya. Menurutnya itu sebagai bentuk kepedulian orang tua pada anaknya.
"Cuma ya dijalani semampunya, karena waktu dan energi saya juga terbatas," katanya.
Dukungan orang tua menurutnya penting, terutama dalam bentuk masukan dan pengalaman. Ia percaya orang tuanya lebih banyak makan asam garam.
"Jadi biasanya saya minta mereka jelaskan risiko dan peluang, supaya saya bisa ukur langkah saya juga," kata Alfanny.
3. Laki-laki sering memendam emosi karena pola asuh sejak kecil

Psikolog RSJ Lampung, Retno Riani, mengungkapkan, secara psikologis, perempuan memang cenderung lebih unggul dalam hal verbal dan ekspresi emosi.
“Perempuan itu secara alami lebih banyak bicara. Dalam sehari harus mengeluarkan ribuan kata. Sementara laki-laki lebih jarang cerita, jadi banyak hal yang mereka sembunyikan dan gak diungkapkan dengan jujur,” jelasnya.
Retno menekankan bahwa manusia memiliki tiga unsur penting yakni, kognitif (logika), afeksi (perasaan), dan psikomotor (tindakan). Orang yang sehat secara mental adalah yang bisa mengelola perasaan lewat kognitif. “Bukan berarti kita gak boleh sedih atau marah. Kita tetap harus menangis saat sedih, dan tertawa saat bahagia,” ujarnya.
Menurutnya, kecenderungan laki-laki menahan emosi ini sudah terbentuk sejak kecil karena pola asuh turun-temurun.
“Anak laki-laki selalu dituntut kuat, gak boleh cengeng, harus bisa jadi pemimpin. Padahal, ada juga laki-laki yang secara alami lebih sensitif. Tapi karena pola asuh itu, mereka jadi tidak mengenali perasaannya sendiri,” terangnya.
Retno juga menyoroti pentingnya edukasi dalam pernikahan agar pasangan bisa saling kolaborasi, bukan saling menuntut.
“Idealnya, laki-laki dan perempuan saling mengerti kekurangan dan kelebihan masing-masing. Kalau bisa saling support, keluarga yang harmonis bisa tercipta,” katanya.
Meski pasien konseling lebih banyak perempuan, Retno mengaku tetap menangani laki-laki yang mengalami tekanan dalam rumah tangga.
“Biasanya mereka cemas karena banyak tuntutan dari istri atau keluarga. Tapi mereka gak sadar apa yang sebenarnya dirasakan. Ini bikin komunikasi jadi buntu,” tandasnya