Fenomena Tumbler Viral, antara Gengsi Sosial dan Krisis Lingkungan

- Motivasi kepemilikan tumbler bergeser ke simbolisme status
- Kasus tumbler muncul ketika berbagai daerah sedang dilanda bencana alam
- Bukan untuk membenarkan konsumsi air minum dalam kemasan
- Tumbler dapat menjadi pengingat harian isu perubahan iklim
Lampung Selatan, IDN Times - Di tengah meningkatnya kesadaran global terhadap krisis iklim dan isu lingkungan, tumbler atau botol minum yang dapat digunakan berulang kali selama ini dipandang sebagai ikon gerakan ramah lingkungan. Membawa wadah sendiri untuk mengurangi sampah plastik sekali pakai dianggap sebagai langkah sederhana namun bermakna.
Namun menurut Rinda Gusvita, Dosen Program Studi Teknik Industri Institut Teknologi Sumatera (Itera) fenomena tumbler saat ini tidak lagi sesederhana itu. Rinda menjelaskan, dalam budaya konsumsi modern yang kian digerakkan oleh merek dan gaya hidup, tumbler telah melampaui fungsi utamanya sebagai wadah minum.
“Tumbler kini menempati ruang yang sama dengan barang mewah lainnya, seperti sepatu, jam tangan, atau tas. Nilai simbolis dan status sosial justru menjadi fokus utama strategi pemasaran,” ujarnya.
1. Motivasi kepemilikan tumbler bergeser ke simbolisme status

Rinda mengatakan, merek-merek besar berhasil memosisikan tumbler sebagai identitas dan penanda status pemiliknya. Desain atraktif, edisi terbatas, dan harga premium membuat tumbler berubah menjadi objek kapitalisme simbolis. Akibatnya, generasi sekarang makin rentan terhadap FOMO atau Fear of Missing Out. Mereka membeli tumbler yang tengah viral di TikTok atau Instagram bukan untuk kebutuhan, tetapi karena takut dicap ketinggalan zaman atau unaware.
“Pada akhirnya tumbler dipakai untuk nge-flex. Membawa tumbler mahal ke coffeeshop atau gym lebih soal validasi sosial daripada advokasi lingkungan,” jelas Rinda.
Rinda menilai kondisi ini menimbulkan ironi yang dalam. Hasrat konsumsi untuk memiliki tumbler terbaru atau termahal justru bertentangan dengan prinsip inti lingkungan yakni mengurangi konsumsi. Ketika motivasi kepemilikan tumbler bergeser ke simbolisme status, terjadi kesenjangan antara nilai yang ditampilkan dan perilaku sehari-hari.
Jika tumbler hanya menjadi aksesori fashion tanpa perubahan perilaku yang mendasar, Rinda menyebutnya sebagai bentuk greenwashing personal—sekadar lip service yang menutupi pola konsumsi yang tetap boros.
2. Kasus tumbler muncul ketika berbagai daerah sedang dilanda bencana alam

Menurur Rinda, fenomena ini semakin terlihat dari reaksi warganet terhadap kasus viral tumbler bermerek yang tertinggal di transportasi umum. Objek tersebut dianggap sebagai barang bermerek yang mudah diganti, bukan barang fungsional yang dihargai atau dijaga.
Padahal, kata Rinda, penggunaan tumbler seharusnya menjadi pintu gerbang bagi masyarakat untuk memahami nilai advokasi lingkungan yang lebih tinggi. Semua tumbler, baik berbahan plastik, kaca, maupun stainless steel, membutuhkan proses ekstraksi sumber daya alam seperti penambangan bijih logam, minyak, atau pasir.
“Situasinya makin ironis karena kasus tumbler ini muncul ketika berbagai daerah sedang dilanda bencana, mulai dari banjir besar di Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Malang, hingga Jawa Barat. Itu semua terkait dengan alih fungsi lahan, deforestasi, dan kerusakan lingkungan,” ujarnya.
3. Bukan untuk membenarkan konsumsi air minum dalam kemasan

Rinda menyebut , onsumsi yang tidak terkontrol—bahkan untuk produk yang disebut ramah lingkungan—tetap memicu kerusakan di hulu. Di sinilah konsep net-zero carbon menjadi penting. Sebuah tumbler, baik murah maupun mahal, harus mencapai masa pakai minimal agar energi, air, dan bahan baku yang digunakan untuk membuatnya setara dengan pengurangan penggunaan botol plastik sekali pakai.
Rinda menjelaskan, mengacu pada studi Life Cycle Assessment (LCA), tumbler harus digunakan ratusan hingga ribuan kali, tergantung bahan dan metode produksinya. Plastik seperti tritan atau PP membutuhkan penggunaan 10–50 kali, kaca dan aluminium sekitar 50–150 kali, sedangkan stainless steel harus dipakai 150–1.000 kali karena memiliki jejak karbon awal yang paling tinggi.
“Tumbler stainless steel yang mahal, jika hanya digunakan 10 kali lalu hilang atau jadi koleksi, justru lebih merusak lingkungan daripada memakai 10 botol plastik sekali pakai,” terang Rinda.
Ia menegaskan, analisis ini tidak sama sekali membenarkan konsumsi Air Minum Dalam Kemasan (AMDK). Menurutnya, industri AMDK memiliki persoalan yang jauh lebih kompleks—mulai dari kegagalan Extended Producer Responsibility (EPR), eksploitasi sumber air, hingga jejak karbon transportasi dan distribusi yang besar.
"Data masa pakai minimal tumbler hanya berfokus pada perbandingan material, bukan keseluruhan rantai nilai AMDK," katanya.
4. Tumbler dapat menjadi pengingat harian isu perubahan iklim

Karena itu, Rinda menekankan, kritik ini diarahkan pada perilaku konsumtif yang berlebihan terhadap tumbler, bukan pembelaan bagi AMDK. Ia menilai penggunaan tumbler tetap fundamental lebih baik selama dilakukan dengan konsisten dan penuh kesadaran. Tumbler dapat menjadi pengingat harian akan isu perubahan iklim dan eksploitasi lingkungan, tetapi simbolisme ini harus selaras dengan perilaku nyata, merawat barang, mengurangi konsumsi, dan menghayati keterbatasan sumber daya.
Rinda menutup dengan refleksi keras mengenai kesenjangan moral yang terlihat dari fenomena tumbler viral. Saat masyarakat sibuk memperdebatkan simbol status yang mudah hilang, alam sedang mengirimkan sinyal bahaya yang nyata melalui banjir dan bencana ekologis di berbagai daerah.
“Tumbler seharusnya tidak hanya dijadikan aksesori, tetapi pengingat untuk hidup lebih bertanggung jawab, lebih sedikit mengonsumsi, merasa cukup, dan lebih menghargai sumber daya yang terbatas,” ujarnya.
















