Anak Muda Jadi Petani, Benarkah Pertanian Menjanjikan Cuan?

- Anak muda pilih bertani daripada kantoran
- Hasil bertani padi dan jagung menjanjikan, meskipun ada risiko cuaca ekstrem
- Pemanfaatan teknologi dalam pertanian, urban farming, dan pendampingan program pertanian untuk generasi muda
Bandar Lampung, IDN Times - Jumlah petani muda di Indonesia makin menyusut. Regenerasi petani jadi alarm serius di tengah sektor pertanian yang menjadi tulang punggung ketahanan pangan. Kini, profesi petani masih sering dipandang sebelah mata, terutama oleh generasi muda.
Namun, seorang pemuda asal Lampung memilih langkah berbeda. Ia memutuskan terjun langsung ke dunia pertanian dan melihatnya sebagai peluang, bukan keterpaksaan. Baginya, bertani bisa menjadi profesi yang menjanjikan, asal dikelola secara kreatif dan adaptif terhadap perkembangan zaman.
IDN Times juga mewawancarai akademisi dari Fakultas Pertanian Universitas Lampung (Unila) yang menjelaskan bertani kini jauh lebih mudah dan efisien berkat pemanfaatan teknologi. Yuk simak ulasan lengkapnya di bawah ini.
1. Lebih nyaman di lahan daripada kantoran

Di tengah tren anak muda yang memilih kerja kantoran atau usaha digital, Enggal Kurnia justru mantap menekuni dunia pertanian. Alumni jurusan Budidaya Tanaman Pangan Politeknik Negeri Lampung (Polinela) ini memilih turun langsung ke sawah, bukan karena terpaksa, melainkan karena cinta.
“Saya dari kecil memang dari keluarga petani. Waktu kuliah ambil pertanian juga, jadi ilmunya dapet, praktiknya sudah terbiasa dari kecil,” cerita Enggal kepada IDN Times, Sabtu (7/6/2025).
Bertani bagi Enggal bukan sekadar profesi, tapi juga hobi yang sudah ditekuninya sejak SMP. Ia merasa lebih bebas dan produktif saat berada di lahan pertanian dibanding di dalam ruangan.
“Saya sempat ngajar dulu, tapi ternyata gak bisa kepegang semua. Akhirnya saya tinggalin ngajar dan fokus di pertanian. Kalau kerja kantoran malah jenuh. Di pertanian enaknya kita bisa atur jam kerja sendiri,” jelasnya.
2. Bertani padi dan jagung, hasilnya menjanjikan

Saat ini Enggal fokus menanam padi dan jagung. Ia sempat menanam tanaman hortikultura seperti sayuran kacang panjang, terong atau cabai. Tapi tahun ini lahannya dialihkan sepenuhnya ke tanaman pangan. Menurutnya, hasilnya masih sesuai dan menjanjikan.
"Apalagi sekarang ada program Bulog dengan harga minimal Rp6.500. Walau ada yang beli di bawah itu, tetap masih ada untungnya,” katanya.
Kendati demikian Enggal, tak bisa berbuat apa-apa terkait tantangan cuaca ekstrem yang menjadi risiko besar. Terutama saat musim hujan dan lahan dekat sungai terkena banjir.
Namun saat musim kering masih bisa diatasi dengan sumur bor yang sudah tersedia di sawah. Menurutnya, kerugian akibat bencana seperti banjir di lahan padi bisa mencapai Rp10 juta–Rp12 juta per musim tanam. Meski begitu, Enggal tetap punya strategi yakni diversifikasi hasil panen.
“Kalau hasil padi kurang bagus, masih bisa ketolong dari sayuran. Dulu sempat tanam horti juga. Jadi itu bisa bantu buat pemasukan harian,” jelasnya.
3. Bertani online hingga pakai traktor dan komben
Untuk penjualan, Enggal juga sudah mencoba jalur online. Tapi mayoritas masih dijual ke tengkulak karena belum ada dukungan pemasaran yang kuat.
“Kadang kalau ada order online kita kirim. Tapi sebagian besar tetap ke tengkulak karena cepat. Kita masih belum ada yang bantu pasarin,” ujarnya.
Ia juga sudah memanfaatkan teknologi seperti traktor dan mesin tanam padi (komben), yang menurutnya lebih efisien dibanding tenaga manusia. Apalagi saat ini mencari tenaga manusia untuk menanam sudah sangat sulit sehingga lebih mudah menggunakan teknologi. Walau begitu, teknologi belum bisa menggantikan peran manusia sepenuhnya. Menurutnya, masih ada spot sempit yang harus dikerjakan manual.
Enggal juga menyampaikan, pertanian bisa jadi pekerjaan yang menjanjikan kalau digeluti dengan strategi dan inovasi. Menurutnya, jangan hanya tanam padi, tapi kombinasikan dengan tanaman lain yang punya siklus panen lebih pendek.
“Kalau bisa punya dua lahan. Satu buat padi, satu lagi buat horti kayak timun atau kacang panjang. Jadi bisa buat pemasukan harian. Yang padi buat ditabung,” sarannya.
Meski harga jual jadi tantangan utama, ia bersyukur tahun ini harga cukup stabil, terutama untuk jagung dan padi. Namun, ia tetap menekankan pentingnya adaptasi terhadap cuaca dan pasar.
“Yang penting tekun dan mau berinovasi. Bertani itu bisa jadi jalan hidup yang seru, asal ditekuni dengan cara yang benar,” tandasnya.
4. Gen Z belum lihat potensi cuan dari pertanian modern

Dosen Teknologi Hasil Pertanian Universitas Lampung (Unila), Dewi Sartika mengatakan, di era digital yang serba cepat, pertanian sering memang masih dipandang sebelah mata. Apalagi oleh Gen Z yang cenderung memilih pekerjaan dengan hasil instan dan suasana kerja yang nyaman. Namun menurut Dewi, justru di sanalah tantangan sekaligus peluang besar yang belum banyak disadari.
“Sebenarnya mungkin mereka (Gen Z) tidak melihat potensinya. Pandangan mereka kan tentang bagaimana pendapatan bisa cepat dan banyak. Jadi lebih tertarik bikin produk makanan, lalu ada yang beli dan langsung dapat uang,” jelas Ketua Pusat Inkubator Bisnis, Hilirisasi Riset, Ketahanan Pangan, dan Jaminan Halal Unila ini.
Dewi menjelaskan, kini pertanian sudah sangat dimudahkan dengan teknologi. Mulai dari cara tanam, pemeliharaan, hingga panen dan distribusi. Tapi yang jadi masalah, informasi tentang kemajuan itu belum tersampaikan dengan baik ke generasi muda.
“Mereka belum tahu kalau sayuran dengan sentuhan menarik bisa dijual dengan harga lebih tinggi. Contohnya, di swalayan, sayur dikemas dan dikasih merek, harganya bisa sampai Rp8 ribu. Padahal di pasar tradisional cuma Rp2 ribu. Nilai tambah itu yang belum dilihat,” katanya.
Banyak pengusaha, kata Dewi, sebenarnya bukan petani. Mereka menghimpun hasil panen dari petani, lalu memberi sentuhan pasca panen seperti pengemasan dan branding, dan hasilnya sangat menguntungkan.
5. Lahan sempit bukan alasan, urban farming bisa jadi solusi

Kondisi makin sempitnya lahan pertanian dan makin bertambahnya populasi, Dewi menekankan pentingnya pemanfaatan ruang terbatas secara kreatif. Misalnya dengan konsep urban farming seperti hidroponik, rooftop garden, atau memanfaatkan pekarangan rumah.
“Pertanian itu bisa dikembangkan secara vertikal. Tidak perlu lahan luas. Yang penting tahu cara mengelola dengan efisien,” ujarnya.
Ia menilai ke depan tantangan pangan akan makin besar, apalagi cuaca tak menentu berisiko menyebabkan krisis makanan. Harga pangan bisa melonjak jika tidak ada perubahan dalam pengelolaan pertanian.
Menurut Dewi, salah satu masalah besar dalam mengajak anak muda terjun ke pertanian, adalah tidak adanya pendampingan menyeluruh dalam program pertanian.
“Kadang ada program tanam cabe atau bawang, tapi setelah panen, gak ada yang ngurus. Cabe kan gak tahan lama, akhirnya busuk dan dibuang. Petani kecewa,” ujarnya.
Dewi menyarankan agar program pertanian untuk generasi muda tak hanya fokus pada tanam-menanam, tapi juga didampingi sampai ke tahap hilirisasi yakni pengolahan hasil panen jadi produk yang tahan lama dan bernilai jual tinggi.
"Contohnya, cabe olahan, sambal matang, bon cabe, dan sebagainya," saran Dewi.
Terakhir, Dewi menekankan bertani sebenarnya bisa jadi pekerjaan yang menyenangkan, asal dikelola dengan pendekatan yang tepat dan tidak terpaku pada cara-cara lama.
“Petani sekarang kebanyakan sudah tua. Generasi muda maunya kerja berdasi. Padahal kalau tahu caranya, hasil pertanian bisa jadi produk menarik dan dijual mahal. Bertani itu bisa jadi menyenangkan dan menguntungkan,” tandasnya.