'Si Pencari Perhatian' di Media Sosial, Ternyata tak Melulu Negatif

Bandar Lampung, IDN Times - Orang ingin menjadi terkenal ternyata tak selamanya berarti negatif lho! Banyak faktor memengaruhi dan tergantung dari tujuan individu tersebut.
Hal itu disampaikan oleh Safiruddin Al-Baqi, Dosen Psikologi IAIN Ponorogo dalam webinarnya tentang “Si Pencari Perhatian” di Media Sosial oleh Universitas Darussalam Gontor, Sabtu (26/2/2022).
“Secara umum menjadi terkenal itu tujuannya ingin diperhatikan. Tapi apakah ini jadi tujuan individu tersebut? atau karena efek samping? Atau karena hanya ingin didengar?” Ujarnya.
1. Sebanyak 40 persen anak ingin jadi terkenal

Safiruddin menjabarkan, seiring berkembangnya media, baik jenis maupun bentuknya, ternyata berdampak kepada pola pikir seseorang.
“Menurut penelitian yang dilakukan di Amerika pada anak usia 10-12 tahun saat ini, 40 persen dari mereka memiliki cita-cita menjadi orang terkenal,” katanya.
Terkenal yang dimaksud adalah dalam artian luas. Jadi bukan hanya penyanyi atau artis saja tapi juga termasuk menjadi youtuber dan influencer.
“Anak zaman dulu, ya angkatan saya lah. Keinginan menjadi youtuber itu tidak ada, tidak terpikir ke sana. Berbeda dengan anak zaman sekarang yang bahkan dijadikan cita-cita. Meskipun pasti mereka memiliki alasan yang berbeda-beda,” jelasnya.
2. Kepribadian

Ia menjelaskan, ada 5 faktor seseorang ingin terkenal yaitu kepribadian, kebutuhan, motivasi, lingkungan, dan pengalaman.
“Empat kepribadian menurut Hippocrates tahu? Ada koleris, plegmatis, melankolis dan sanguinis. Ada di dalam masyarakat itu orang-orang yang ingin punya power yang besar. Apakah ini salah? Tentu tidak. Di dalam masyarakat juga butuh orang yang seperti ini, dan biasanya dijadikan pemimpin,” katanya.
Dalam kaitannya ingin menjadi terkenal, Safiruddin mengaitkan orang-orang sanguinis sebagai orang yang cenderung ingin dilihat. “Sanguinis ini nyaman dan senang ketika diperhatikan, dan itu tidak masalah ketika memang ingin tampilnya ini kearah yang benar,” ujarnya.
3. Kebutuhan dan motivasi

Dalam kaitannya dengan kebutuhan, lulusan pascasarjana psikologi UGM ini mengatakan, kebutuhan juga berkaitan dengan adanya motivasi atau dorongan.
“Seperti kata Maslow ya yang menganggap bahwa manusia memiliki kebutuhan atau motivasi yang ingin dipenuhi. Terdorong oleh sesuatu untuk melakukan sesuatu hal,” katanya.
Menjadi terkenal merupakan salah satu kebutuhan sosial. Ia menjelaskan, ketika manusia sudah mendapatkan kebutuhan primer seperti makanan, rumah, dan pakaian maka ada kebutuhan sosial.
“Misalnya terkenal merupakan sebuah prestasi untuknya, maka itu akan mempengaruhinya berperilaku agar memenuhi kebutuhan prestasinya tersebut,” imbuhnya.
4. Lingkungan

Lingkungan terdekat bagi individu adalah kelurga. Maka keluarga bertugas untuk hadir dalam pemenuhan kebutuhan anaknya.
“Tak hanya materi, tapi juga mental seperti didengarkan, dihargai, sehingga merasa punya seseorang untuk berkeluh kesah. Nah kalau di rumah tidak ia dapatkan, maka anak ini akan mencari pembenaran di luar sana,” ujarnya.
Ia menduga orang yang mencari perhatian khususnya di media sosial, itu bisa dipengaruhi karena ada kebutuhan yang tidak terpenuhi di lingkungan terdekatnya.
“Lalu ada contoh lagi, misalnya anak bersih-besih nanti dikasih uang saku. Penguatan seperti ini juga bisa berdampak pada perilaku seseorang. Kalau di dalam medsos ada like, komen, subscribe,” katanya.
Namun tak hanya positif, menurutnya penguatan ini juga ada yang bersifat negatif jika masyarakat mendukung perilaku-perilaku buruk yang ada di media sosial.
“Maka dalam bersosial media, kita sebagai netizen juga harus berhati-hati, jangan asal like dan komen,” imbuhnya.
5. Pengalaman

Menurut literasi yang pernah dibacanya, pekerjaan atau apa yang didapatkan oleh seseorang saat ini merupakan apa yang orang tersebut lakukan bertahun-tahun sebelumnya.
“Contoh ada orang yang insecure atau minderan, ternyata dulu ia pernah mendapatkan pengalaman yang kurang baik dari orang lain atau bahkan orang tuanya. Biasanya yang seperti ini penyembuhannya butuh waktu,” katanya.
Hal ini akan berbeda dengan anak yang tidak pernah mendapatkan pengalaman serupa atau bahkan memiliki pengalaman “diapresiasi” oleh orang lain sehingga anak tersebut lebih nyaman untuk tampil di depan orang banyak.