9 Mitos Stunting Perlu Orang Tua Ketahui, Tak Melulu karena Miskin!

Kasus stunting tidak hanya ada pada masyarakat prasejahtera

Bandar Lampung, IDN Times - Stunting banyak dikaitkan dengan gizi buruk dan anomali pada tinggi badan anak. Banyak kecurigaan-kecurigaan muncul dari sebagian masyarakat awam terkait stunting khususnya pada orang tua memiliki balita.

Misalnya pertanyaan, apakah benar semua anak pendek itu stunting? Dan apakah anak terpenuhi semua asupan makanannya tidak berisiko stunting?

Berikut IDN Times rangkum mitos-mitos tentang stunting dari dokter spesialis gizi (humaniora) dr. Tan Shot Yen dan Direktur Bina Keluarga Balita dan Anak BKKBN, dr. Irma Ardiana, MAPS.

1. Anak terlahir stunting

9 Mitos Stunting Perlu Orang Tua Ketahui, Tak Melulu karena Miskin!ilustrasi membedong bayi (pixabay.com/genalouise)

Dalam webinar mengenai Stunting dari @anakkuid, dr. Tan Shot Yen menyampaikan, membangun rumah tangga sebaiknya harus dipersiapkan secara matang. Baik dari perkawinan, kehamilan dan seterusnya. Ia mengatakan, bahkan pada saat hamil, orang tua pun harus merencanakan kelahiran dan inisiasi menyusuinya.

Hal itu dikarenakan sangat penting menjaga ASI eksklusif selama 6 bulan hingga 2 tahun agar anak tidak terkena stunting. Namun jika dikatakan anak stunting itu diturunkan dari orang tuanya, dr. Tan cenderung tidak setuju akan hal itu karena menurutnya, stunting tergantung pada proses setelah melahirkan.

“Saya justru banyak menemukan anak lahir gak stunting. Lahirnya cukup bulan, berat 2,7 kilo, panjangnya 49-50, eh pas berat badannya seret mulai masuk makanan yang gak karuan. Misalnya susu formula mulai masuk, ASI berhenti, anaknya diare karena susu formula, lalu MPASI ibunya lewat panduan medsos bukan panduan nasional, itu horornya luar biasa,” katanya.

2. Menyusui adalah insting manusia

9 Mitos Stunting Perlu Orang Tua Ketahui, Tak Melulu karena Miskin!klikdokter.com

Lebih lanjut soal ASI, dr. Tan mengimbau para ibu-ibu muda yang baru merasakan pengalaman pertama hamil, harus belajar atau mencari tahu bagaimana kiat menyusui dengan sukses. Sembilan bulan sangat cukup untuk belajar akan hal itu. Ia mengatakan menyusui itu bukanlah insting dan jangan mengartikan ASI akan keluar dengan sendirinya saat setelah melahirkan.

“Ternyata banyak ibu-ibu yang kaget begitu bayinya lahir, kok ASI nya gak keluar. Kalau sudah begitu biasanya mertua mulai ribut beli susu formula beli ini itu, akhirnya bayinya malah sering diare karena susu formula,” katanya.

Ia melanjutkan, jika bayi menyusunya tidak optimal, misalnya terganggu oleh lingkungan, juga bisa membuat berat bayi sulit bertambah. Begitupun jika ibunya sudah mulai bekerja maka intensitas menyusui secara langsung akan kurang.

“Misalnya pun ASI perah, tapi diberi pakai dot, anaknya bisa saja gak mau dot. Atau kalau mau pakai dot, anak nanti akan bingung mengenali puting ibunya. Sehingga anaknya gak mau minum lagi dari ibunya secara langsung,” ujarnya.

Baca Juga: KB Pascapersalinan Cara Jitu Cegah Stunting

3. Anak prematur rentan stunting

9 Mitos Stunting Perlu Orang Tua Ketahui, Tak Melulu karena Miskin!ilustrasi bayi prematur (pixabay.com/SeppH)

Kemudian, anggapan anak prematur rentan akan stunting juga dibantah oleh dr. Tan. Kembali seperti di awal, kelahiran anak tidak menjamin anak tumbuh stunting atau sehat. Melainkan pada proses selanjutnya.

“Ini belum tentu karena tergantung ibunya bisa mengejar atau tidak. Atau jangankan anak prematur, anak kembar yang terlahir dengan berat 2,1 kg saja kalau ibunya bisa mengejar maka anak itu gak bakal stunting,” ujarnya.

Anak prematur dan aterm memiliki grafik pertumbuhan yang berbeda. Seperti misalnya bayi prematur akan diberikan MPASI sesuai dengan usia koreksi, berbeda dengan MPASI anak dengan kelahiran usia normal.

“Maka sebenarnya kader posyandu juga penting untuk memberikan penyuluhan kepada ibu anak prematur dan BBLR (bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari 2.500 gram). Karena grafiknya beda, penanganannya beda, kasih tau apa yang harus dilakukan ibunya,” paparnya.

4. Anak pendek pasti stunting

9 Mitos Stunting Perlu Orang Tua Ketahui, Tak Melulu karena Miskin!Ilustrasi Stunting (Dok. IDN Times)

Dilanjutkan oleh dr. Irma, Ia menjelaskan diagnosis anak stunting juga tidak bisa hanya dilihat dari fisiknya (pertumbuhan) saja, tapi juga dari perkembangan anak. Namun jika memang ingin mendiagnosis secara fisik dan sederhana, tentu rata-rata anak stunting itu memiliki tinggi atau panjang tubuh yang kurang dari anak seusianya.

“Kita memang belum memiliki parameter secara global untuk aspek perkembangan, tapi kita sudah punya instrumen untuk melihat kira-kira anak saya ini ada egak sih keterlambatan perkembangan. Semua ciri-ciri itu sudah ada di buku KMS (Kartu Menuju Sehat Posyandu). Di situ ada kalau anak umur segini sudah bisa begini, kalau belum bisa maka lakukan stimulasi agar bisa merangsang anak berkembang sesuai dengan usianya,” jelasnya.

Sehingga ia menyimpulkan, anak stunting itu sudah jelas pendek, namun tidak semua anak pendek itu mengalami stunting karena harus dilihat ciri-ciri lainnya. Sehingga penting melakukan pemantauan perkambangan anak tiap bulan.

5. Berat badan sesuai dengan tinggi badan artinya anak sehat

9 Mitos Stunting Perlu Orang Tua Ketahui, Tak Melulu karena Miskin!ilustrasi menimbang berat badan (freepik.com/rawpixel.com)

Ketika orang tua sudah mendeteksi ada masalah dengan gizi dan tumbuh kembang anak, maka orang tua tidak boleh menyangkal. Hal itu dikarenakan anak terlihat aktif (sehat) itu bukan berarti anaknya tumbuh dengan optimal.

“Jangan hanya dilihat dari berat badan menurut tinggi badan. Kalau dilihat seperti itu kadang-kadang orang menilainya gizinya baik-baik saja. Padahal kalau dilihat dari tinggi badan menurut usia, berat badan menurut usia itu berada di garis merah,” jelas dr. Tan.

Apalagi ketika anak stunting (pendek) tapi gemuk. Begitu anaknya stunting, penanganannya salah dan malah diberikan susu formula dan lainnya sehingga anak jadi punya risiko penyakit tidak menular dikemudian hari. 

“Anak seperti ini berisiko diabetes, hipertensi, hiperkolesterol, bahkan sampai dengan kanker nanti ketika dewasa. Maka perlu stimulus dari orang tuanya seperti pada panduan buku KMS sesuaikan tinggi dan berat menurut usianya,” lanjutnya.

Baca Juga: Pabrik AQUA Tanggamus Inisiasi Program Isi Piringku, Cegah Stunting

6. Anak kenyang tidak stunting

9 Mitos Stunting Perlu Orang Tua Ketahui, Tak Melulu karena Miskin!Ilustrasi anak makan. (google)

Mitos berikutnya adalah Hidden Hunger. dr. Irma mengatakan ada anak yang dari segi komsumsi makanannya terlihat sangat cukup. Tapi kecukupannya itu setelah ditelaah lagi, ternyata kekuranagn zat gizinya dan lebih banyak karbohidrat.

“Miris memang ketika kita melihat di lapangan, seorang ibu bekerja di sawah lalu anaknya diberikan singkong. Memang tidak lapar sih anaknya, karena kebutuhan makannya tersedia. Tetapi kebutuham proteinnya yang sangat kita khawatirkan,” ujarnya.

Hal itu akan berpengaruh pada perkembangan otak anak. Perkembangan otak itu sudah mulai fokus pada 2 tahun pertama. Ketika pada periode tersebut proteinnya tidak banyak, maka ini akan mengganggu pertumbuhan ortak dan akhirnya fungsi kognitif anak akan jauh berkurang.

“Bahkan studi yang dilakukan pada orang usia 30-40 tahun yang pernah divonis stunting saat anak-anak, ternyata tingkat IQ-nya setara dengan anak kelas 3-4 SD. Jadi bisa bayangkan bagaimana mereka sangat tertatih-tatih,” katanya.

7. Stunting hanya pada anak sedang bertumbuh

9 Mitos Stunting Perlu Orang Tua Ketahui, Tak Melulu karena Miskin!tofukicks.com

Jangan memperkirakan stunting hanya ada pada anak sedang tumbuh kembang saja. dr. Tan mengatakan stunting juga bisa terjadi pada orang dewasa namun memang sulit dilihat secara fisik.

“Contohnya begini, kalau misalnya ada orang yang tingginya 155 cm, kelihatannya sih normal saja karena banyak orang dewasa dengan tinggi segitu, tapi kalau dilihat dari keturunan ayah ibunya juga tinggi maka dia ini stunting. Kemudian kalau diajak ngomong itu musti berulang kali, apa yang kita jelaskan itu susah masuknya ke otaknya,” ujarnya.

Sehingga, efek dari stunting akan sangat dirasakan di kemudian hari. Kualitas sumber daya manusia akan menurun dan akhirnya harus mencari orang dari luar yang lebih cerdas.

8. Stunting terjadi pada keluarga kurang mampu

9 Mitos Stunting Perlu Orang Tua Ketahui, Tak Melulu karena Miskin!Ilustrasi warga miskin kota menarik gerobak bersama dua anaknya (ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman)

Menurut data BKKBN, dr. Irma menyampaikan kasus stunting memang didominasi dari masyarakat prasejahtera. Tapi juga tak sedikit ada dari tingkat kesejahteraan menengah ke atas juga terkena kasus stunting.

“Artinya apa, ada yang salah dengan pola pengasuhan dan ASI eksklusif. Ada anak stunting dari keluarga yang ekonominya sudah settle, tapi dari pendidikan asuhan pada anak kurang. Anak makan sih makan, tapi enggak bergizi. Kemudian ASI eksklusif juga, di urban ASI eksklusif itu sampai saat ini harus terus diperjuangkan,” katanya.

Menimpali hal ini, dr. Tan juga ikut menceritakan kisah pasiennya. Seorang anak dari keluarga berada terkena stunting karena pola pengasuhan kurang.

“Saya pernah punya pasien yang mobilnya banyak, tinggal di apartemen mewah, dan anaknya stunting. Tahu gak karena apa? Karena ibunya business woman dan dia enggak punya waktu buat nyusuin. kebetulan anaknya ini intoleransi laktosa, ketika diberikan susu formula anaknya selalu diare, pokoknya kacau sekali sehingga anaknya itu stunting,” ungkapnya.

9. Ubah bentuk sayur dan buah agar anak mau makan

9 Mitos Stunting Perlu Orang Tua Ketahui, Tak Melulu karena Miskin!ilustrasi jus sayur hijau (unsplash.com/alex loup)

Sayur tidak melulu berwarna hijau dan berdaun. dr. Tan mengatakan orang tua bisa memulai dengan sayur labu siam, wortel, atau timun yang biasa disukai anak. Anak juga sebenarnya adalah peniru yang andal. Sehingga orang tuanya juga harus makan sayur untuk mengajari anaknya.

Lain balita, lain remaja. Anak remaja biasanya tidak mau makan sayur karena memiliki trauma makan sayur misalnya tersedak, makan sayur yang pahit, atau tidak dibiasakan makan sayur sejak kecil.

“Di media sosial juga ada sayur buah di jus, itu sebenernya kurang bagus buat anak-anak. Karena kita tidak memberikan buah dan sayur itu dalam bentuk utuh sehingga anak tidak terbiasa dengan bentuk dan tekstur asli dari sayur dan buahnya,” jelasnya.

Lalu untuk mengajak anak remaja makan sayur dan buah, juga bisa dengan cara diberikan alasan agar bisa mengonsumsi sayur. Misalnya sayur dan buah bisa menghaluskan kulit dan menjauhkan diri dari jerawat.

Baca Juga: Cegah Stunting Sejak Dini, Pemda Lamsel Tanam Beras Nutrisi Tinggi

Topik:

  • Rohmah Mustaurida
  • Martin Tobing

Berita Terkini Lainnya