Cara Manfaatkan Teknologi AI Agar Tak Rugikan Industri Kreatif

Bandar Lampung, IDN Times - Revolusi teknologi selalu membawa dampak pada pekerjaan manusia. Salah satu sedang menjadi perbincangan hangat dan dikhawatirkan sebagian orang dalam pekerjaan adalah kecerdasan buatan (Artificial Intelligence).
Menurut sebuah studi World Economic Forum (WEF) pada tahun 2018, sekitar 75 juta pekerjaan di seluruh dunia dapat terpengaruh oleh otomatisasi dan kecerdasan buatan pada tahun 2022.
Namun, menurut pendapat Dosen Universitas Teknokrat Indonesia, M Ghufroni, tidak semua industri sama-sama terpengaruh. Ada manfaat bisa digunakan agar AI tidak merugikan pekerjaan manusia. Berikut IDN Times rangkum selengkapnya.
1. Teknologi AI dapat membantu dalam produksi musik

Ghufroni menyampaikan, laporan dari Forbes 2020, industri kreatif adalah salah satu bidang paling awal terpengaruh penggunaan AI dalam praktiknya. Salah satu contohnya adalah industri musik.
“Dalam artikel di majalah Forbes, penulis Bobby Owsinski menjelaskan bahwa teknologi AI dapat digunakan untuk menghasilkan musik baru secara otomatis dengan mengumpulkan data dari genre musik yang berbeda-beda dan menghasilkan komposisi baru yang didasarkan pada algoritma,” kata Dosen Bidang Keahlian Bahasa dan Sastra Indonesia itu.
Menurutnya, meski teknologi AI dapat membantu dalam produksi musik, penggunaannya telah menimbulkan kekhawatiran tentang kemampuan penggantian peran musisi manusia. Hal yang sama juga terjadi di industri film, di mana teknologi AI dapat digunakan untuk menghasilkan skenario, trailer, dan bahkan adegan film.
“Namun, seperti dalam industri musik, hal ini menciptakan kekhawatiran tentang kemampuan AI untuk menggantikan peran kreativitas manusia,” ujarnya.
2. Teknologi ini dapat membantu para seniman memperluas kreativitas

Selain itu, Ghufroni juga mengatakan, industri sastra bisa terkena dampak dari revolusi teknologi AI. Ada perangkat lunak AI mampu menghasilkan karya sastra seperti puisi dan cerita pendek dalam hitungan detik, meskipun kualitas dan keaslian karya dihasilkan masih menjadi kontroversi.
“Misalnya, pada tahun 2018, perusahaan Jepang, SoftBank, meluncurkan aplikasi bernama “AI Puisi” yang dapat membuat puisi secara otomatis dengan menggabungkan kata-kata dan frasa yang dimasukkan pengguna,” terangnya.
Namun menurutnya, meskipun ada kekhawatiran tentang penggunaan AI dalam sastra industri, tidak sedikit pula berpendapa teknologi ini dapat membantu para seniman untuk memperluas kreativitas mereka dan memberi mereka alat baru untuk bereksperimen.
“Seperti yang dikutip oleh The Guardian pada tahun 2018, kritikus seni dan penulis, Jonathan Jones, menyatakan bahwa “Jika Anda benar-benar seniman, Anda dapat mengambil keuntungan dari setiap alat yang tersedia,” ujarnya.
3. Penggunaan AI dalam sastra industri dapat membawa manfaat signifikan

Kendati demikian, Ghufroni melanjutkan, beberapa praktisi di bidang sastra menggunakan teknologi etis AI untuk memperkaya karya mereka. Sebagai contoh, para penulis dapat menggunakan chatbot seperti GPT-3 (Generative Pre-trained Transformer 3) yang dikembangkan oleh OpenAI untuk membantu dalam menemukan sumber inspirasi.
Pihaknya menyampaikan, Chatbot seperti GPT-3 dapat memahami konteks dan memberikan ide-ide kreatif membantu para penulis mengeksplorasi konsep baru dan mengembangkan karya mereka.
“Menurut sebuah artikel di The Guardian pada tahun 2021, penggunaan teknologi AI dalam sastra industri dapat membawa manfaat yang signifikan, seperti membantu dalam menganalisis data yang berkaitan dengan tren dan preferensi pembaca, membantu menyusun kerangka cerita, mempercepat proses penyuntingan, dan membantu dalam penerjemahan karya sastra ke bahasa yang berbeda-beda,” paparnya.
4. Perlu pertimbangan etis menggunakan AI

Dari beberapa dampak tersebut, Ghufroni berpesan agar mempertimbangkan secara etis dari penggunaan teknologi AI dalam sastra industri. Menurutnya, para penulis, editor dan penerbit harus mempertimbangkan kualitas dan keaslian karya yang dihasilkan oleh teknologi ini serta dampaknya terhadap pasar kerja dan industri sastra secara keseluruhan.
Menurutnya, kekhawatiran utama para pelaku seni bukanlah matinya kreativitas individu, melainkan kemungkinan adanya pergeseran sistem kerja di mana pemanfaatan AI dianggap lebih efisien dan murah dibanding mengupah pekerja manusia.
Selain itu menurutnya, masalah hak cipta karya dihasilkan teknologi AI masih menjadi yang tertinggi. Karya dihasilkan oleh AI seringkali meminjam gaya atau gaya dari seniman manusia, sehingga sulit untuk menentukan siapa yang berhak atas hak cipta.
“Beberapa ahli hukum berpendapat bahwa hak cipta harus diberikan kepada pemilik perangkat lunak AI. Sementara yang lain berpendapat bahwa hak cipta harus diberikan kepada seniman yang dijadikan referensi oleh perangkat lunak AI,” jelasnya.
Ghufroni menyarankan diperlukan peran pemangku kebijakan dan eksekutif korporasi untuk mempertimbangkan secara etis dari penggunaan teknologi AI dalam industri kreatif. Terutama dalam hal hak cipta dan penghargaan terhadap profesi seniman.
Serta perlu dilakukan diskusi dan pembuatan regulasi yang jelas untuk mengatasi masalah ini agar tidak menimbulkan ketidakadilan bagi para seniman dan pekerja kreatif.
“Perlu diingat penggunaan teknologi AI dalam korporasi tidak dapat dilakukan semata-mata dengan orientasi efisiensi biaya semata. Sebaliknya, penggunaan teknologi AI harus mempertimbangkan aspek kreativitas manusia yang tidak dapat dibatasi oleh mesin.
5. Gunakan pendekatan gabungan teknologi kecerdasan buatan dengan kreativitas manusia

Menurutnya, dalam rangka mempertahankan kualitas kreativitas manusia, banyak perusahaan kreatif mulai mengembangkan pendekatan yang disebut “Augmented Creativity”. Yaitu pendekatan menggabungkan teknologi kecerdasan buatan (AI) dengan kreativitas manusia dalam menghasilkan karya seni atau produk kreatif.
Pendekatan ini bertujuan untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas karya seni manusia dengan memanfaatkan teknologi AI. Salah satu contoh penerapan Augmented Creativity adalah dalam pengembangan game.
Dalam industri game, teknologi AI dapat digunakan untuk menghasilkan konten game secara otomatis, seperti karakter atau level game. Namun, kreativitas manusia tetap menjadi faktor kunci,” jelasnya.
“Pada akhirnya, kecemasan manusia akan revolusi teknologi AI adalah sejarah perulangan. Mungkin seperti kekhawatiran nenek moyang kita saat pertama kali mampu menciptakan api. Kecerdasan buatan adalah obor yang menyala di tangan kita. Bagaimana cara kita memanfaatkan api ini adalah tantangan berikutnya,” tandasnya.