Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

BEM Unila Desak Aparat Penegak Hukum Usut Dugaan Kejahatan PT SGC

ilustrasi perkebunan tebu (pixabay.com/Momolebo2020)
ilustrasi perkebunan tebu (pixabay.com/Momolebo2020)
Intinya sih...
  • Selisih lahan HGU PT SGC mencapai 37 ribu hektare, menunjukkan indikasi manipulasi administratif dan pelanggaran tata ruang.
  • Praktik HGU korporasi mengorbankan masyarakat lokal dengan keberpihakan terhadap kepentingan modal dan ketimpangan kekuasaan administratif.
  • Evaluasi terhadap PT SGC tidak cukup berhenti di ranah teknis, perlu dimasukan aspek restitusi sosial dan audit keadilan agraria.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Bandar Lampung, IDN Times - Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Lampung (BEM Unila) mendesak aparat penegak hukum memproses dan mengusut tuntas dugaan praktik kejahatan PT Sugar Group Companies (SGC).

Ketua BEM Unila, M Ammar Fauzan mengatakan, hasil panitia khusus (Pansus) DPRD Tulang Bawang dan hasil penelitian akademisi Unila diterbitkan Inteligensia Media pada pada 2017 silam, bisa dijadikan pintu masuk terhadap pengusutan dugaan kejahatan tersebut.

"Kami kira narasi-narasi masih saja banyak tokoh masyarakat dan beberapa praktisi menyandarkan logika, bahwa proses audit SGC dapat mengakibatkan PHK dalam jumlah besar sangat keliru. Tentu, audit ini diharapkan dapat menunjukkan negara dan pemerintah tidak kalah dengan korporasi. Kami ingin hukum ditegakan," ujarnya, Sabtu (9/8/2025).

1. Selisih lahan HGU PT SGC disebut hingga 37 ribu hektare

ilustrasi perkebunan tebu. (istockphoto.com/Camaro)
ilustrasi perkebunan tebu. (istockphoto.com/Camaro)

Ammar menegaskan, para investor datang dan berinvestasi di Lampung wajib mematuhi peraturan dan menghormati hak-hak masyarakat di sekitar kawasan hak guna usaha (HGU). Pasalnya, dalam negeri hukum, HGU merupakan instrumen izin konsesi bergulir yang pada dasarnya bertujuan mewujudkan keadilan dan pemerataan pertanahan.

Namun pada kasus HGU besar SGC di Kabupaten Tulang Bawang tepatnya sejak belum ada audit independen, perusahaan ini telah memanfaatkan legitimasi HGU untuk memperluas area jauh melampaui batas administratif dikeluarkan DPRD setempat pada 2017.

"Pansus menemukan, berdasarkan Surat Keputusan BPN Tulang Bawang tertanggal 8 Maret 2007, HGU resmi mencakup luas 86.455,99 hektare tapi praktik operasional perusahaan mengelola hingga sekitar 124.092,80 hektare, maka selisih mencapai lebih dari 37 ribu hektare. Ini bukti dan dasar kuat indikasi manipulasi administratif dan pelanggaran tata ruang melalui inklusi kawasan konservasi," benernya.

Laporan Pansus DPRD Tulang Bawang menjadi rekam jejak formal itu juga mengkritisi setiap kasus praktik kepemilikan anak perusahaan SGC meliputi PT Indo Lampung Cahaya Makmur (ILCM), PT Indo Lampung Perkasa (ILP), dan PT Sweet Indolampung (SIL) yang memiliki peta HGU berbeda antar instansi BPN, pemerintah daerah, dan SGC hingga berujung konflik tumpang tindih data dan memunculkan dugaan tindak pidana tata ruang akibat pendaftaran HGU di atas kawasan lindung seharusnya tidak masuk dalam konsesi.

"Hasil penelitian tiga akademisi Unila menegaskan ada dugaan tindak pidana dalam praktik korporasi yang dijalankan oleh SGC. Ini perlu ditindak lanjuti, jangan sampai negara kalah dengan korporasi," lanjutnya.

2. Keberpihakan korporasi dibanding masyarakat lokal

pexels-ekaterina-bolovtsova-6077797.jpg
ilustrasi hukum (pexels.com/KATRIN BOLOVTSOVA)

Ammar menyampaikan, diskursus lebih mendalam tentang masyarakat dan kooptasi HGU juga disediakan oleh penelitian akademik Unila menyoroti praktik HGU sebagai instrumen ekspansi hukum atas tanah rakyat. Penelitian ini secara etnografis menggambarkan dominasi hukum formal diciptakan melalui pengakuan atas HGU.

Sementara tanah masyarakat lokal di Desa Gedung Meneng dan Dente Teladas diasingkan tanpa akses atas program plasma tebu atau kompensasi atas penebangan tanaman. Itu melalui serangkaian struktur konflik bersifat multidimensional.

"Kami melihat ada keberpihakan terhadap kepentingan modal, ketimpangan kekuasaan administratif, dan hilangnya hak-hak pemulihan rakyat melalui hak ulayat semua ini dihadirkan sebagai bentuk kooptasi hukum yang mengistimewakan korporasi atas masyarakat lokal," ucapnya.

3. Bukan sekadar agenda evaluasi luas HGU

ilustrasi meteran (pexels.com/cottonbro)
ilustrasi meteran (pexels.com/cottonbro)

Secara konseptual, hasil Pansus DPRD Tulang Bawang 2017 dan studi akademik Unila bisa berfungsi saling melengkapi. Pasalnya, laporan DPRD adalah artefak legal membuka pintu administratif dan perizinan, sedangkan riset akademik adalah analisis empiris yang menyuarakan dimensi sosial-hukum rakyat yang teralienasi.

Menurut dia, keduanya menegaskan evaluasi terhadap PT SGC tidak bisa cukup berhenti di ranah teknis. Semisal evaluasi luas HGU semata tapi perlu dimasukan aspek restitusi sosial dan audit keadilan, termasuk penyelesaian atas kerugian advokasi ulayat, keterlibatan petani dalam mekanisme plasma, serta verifikasi pajak pertanahan.

"BEM Unila menegaskan narasi ini tidak sekedar laporan, ini adalah tesis empiris tentang kerakusan administratif dalam ketamakan izin HGU tanpa akuntabilitas. Jika negara membiarkan perbedaan 37.636,81 Ha tetap seperti itu tanpa audit ataupun akuntabilitas sejati keadilan agraria," ucapnya.

4. Laboratorium validitas politik agrarian di Lampung

Gedung Rektorat Unila. (IDN Times/Tama Yudha Wiguna)
Gedung Rektorat Unila. (IDN Times/Tama Yudha Wiguna)

Sebagai lembaga kritis akademik, Ammar menambahkan, BEM Unila menyerukan agar agenda pengusutan dugaan kejahatan terseret menjadi laboratorium validitas politik agrarian di Provinsi Lampung.

"Semua ini harus berpihak pada hukum sosial rakyat adat dan petani plasma, bukan sekadar korporasi gula raksasa," tegasnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Martin Tobing
EditorMartin Tobing
Follow Us