Kisah Sakiman, Petani Sayur Lampung Kemas dan Branding Produk Sendiri

- Petani sayur di Lampung Selatan, Sakiman, membranding produk hasil panennya untuk pertama kalinya setelah 10 tahun bertani.
- Sakiman mengemas sayurnya agar nilainya meningkat, namun pasar produk kemasan ini masih terbatas pada event-event komunitas.
- Proses pencucian dan pengemasan produk kemasan milik Sakiman melalui proses pasca panen yang berbeda dengan sayur untuk dibawa ke pasar tradisional.
Lampung Selatan, IDN Times - Sakiman merupakan salah satu petani sayur di Kecamatan Jati Agung, Lampung Selatan. Ia sudah menjadi petani sayur sejak 2014 dan menanam banyak macam sayuran seperti sawi, bayam, timun dan sebagainya.
Namun selama 10 tahun bertani sayur, Sakiman mengaku ini pertama kali dirinya membranding sendiri produk hasil taninya. Ia pun baru menyadari ternyata pengemasan produk seperti sayur sekalipun bisa meningkatkan nilai jualnya.
“Dapat inspirasi dari kawan-kawan komunitas Cerebral Palsi Lampung. Saya kan masuk komunitas itu. Awalnya saya gak tahu ada grup UMKMnya, terus saya masuk dan disaranin untuk ngemas sayurnya, pake plastik biar setara dengan yang dijual di swalayan. Desain stiker mereknya juga dibuatin sama Bu Ketua,” katanya pada IDN Times, Rabu (29/5/2024).
1. Ingin menyuplai produk sayurnya ke swalayan di Lampung

Meski begitu, Sakiman mengatakan pasar produk sayur kemasan ini belum luas. Ia baru bisa mengemas produk sayurnya untuk event-event seperti pameran yang dibawa oleh komunitas saja.
“Soalnya baru banget saya buat kayak gini. Kalau rencana masuk ke swalayan itu ada, tapi belum. Misalnya ada konsumen yang minta suplay seperti ini saya bisa usahakan, karena kan kualitasnya memang beda dengan sayur yang biasa dijual ke pasar,” jelasnya.
Ia menjelaskan, biasanya Sakiman tidak menjual secara langsung sayur miliknya ke pasar tradisional. Melainkan ada agen-agen yang mengambil produk sayurnya dengan jumlah besar dan mereka jual lagi ke pasar.
2. Melalui proses pasca panen berbeda, produk kemasan jadi lebih tahan lama

Sakiman menjelaskan, produk kemasan miliknya ini melalui proses pasca panen yang berbeda dengan sayur untuk dibawa ke pasar. Sehingga lebih bersih dan awet atau tidak cepat busuk.
“Saya selama ini gak jualan sendiri, biasanya jualnya masih melalui agen, terus nanti mereka jual sendiri. Jadi pas panen gak dikemas kayak gini, cuma digulung aja dicuci sekali dan dijual ke pasar,” katanya.
Sementara untuk produk kemasan, ia mengatakan proses pencucian dilakukan tiga kali. Pertama sesaat setelah panen, kemudian dicuci lagi sebanyak dua kali di rumah. Setelah itu dikeringkan dan baru dikemas menggunakan plastik.
“Saya udah coba itu yang dibungkus, sehari semalam tanpa dikulkas dia masih bagus. Beda dengan yang biasa saya jual buat agen ke pasar,” tambahnya.
3. Perputaran musim tanam sayur lebih cepat dibanding padi

Sakiman menyebutkan, saat ini ia mengelola sekitar 10 rante tanah (sekitar 0,5 hektare), dengan 6 rante tanah untuk komoditas padi sawah, sementara 4 rante lainnya ia olah sebagai lahan sayuran.
“Saya jadi petani sebenarnya sudah dari kecil, tapi petani sayuran baru 10 tahun ini. Dulu cuma padi, sekarang nambah sayuran. Karena sayuran itu kan cepat perputarannya dan modalnya gak sebesar padi. Paling cepat saja saya udah bisa panen sayur itu cuma 10 hari dari tanam,” tuturnya.
Untuk produksi, biasanya ia sekali panen bisa 3.000 ikat sawi untuk luas tanah 1 rante. Dengan modal per rante sekitar Rp1 juta sampai siap panen.
“Harapannya saya bisa nemuin pasar buat produk sayur yang kemasan ini. Karena ternyata bagus juga ya kayak gini, kalau dikemas kan lebih bersih dan tahan lama juga sayurnya,” tutupnya.