Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

6 Kesalahan Pola Asuh Bisa Merusak Nilai Toleransi Anak

ilustrasi seorang ibu dan anak (pexels.com/Ketut Subiyanto)
ilustrasi seorang ibu dan anak (pexels.com/Ketut Subiyanto)
Intinya sih...
  • Sering melontarkan stereotip di depan anak
  • Tidak memberi contoh menghargai pendapat orang lain
  • Tidak mengajak anak mengenal lingkungan yang beragam
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Mengajarkan toleransi pada anak bukan cuma soal memberi tahu semua orang berbeda dan harus dihormati. Tapi, yang lebih penting adalah bagaimana orang tua memberi contoh lewat perilaku sehari-hari.

Tanpa disadari, beberapa kebiasaan kecil dalam pola asuh justru bisa melemahkan nilai-nilai toleransi yang seharusnya ditanamkan sejak dini. Kadang, orang tua gak sadar kalau ucapan atau tindakan mereka bisa membentuk cara anak memandang perbedaan.

Entah itu soal suku, agama, preferensi, atau bahkan selera teman sebaya, anak cenderung meniru apa yang mereka lihat dan dengar. Supaya gak salah langkah, penting banget mengenali beberapa kesalahan umum ini yang bisa menghambat tumbuhnya sikap toleran dalam diri anak. Yuk, simak kesalahan-kesalahannya berikut ini!

1. Sering melontarkan stereotip di depan anak

ilustrasi seorang ayah mengobrol dengan anak (pexels.com/August de Richelieu)
ilustrasi seorang ayah mengobrol dengan anak (pexels.com/August de Richelieu)

Ucapan seperti "Orang kaya gitu emang nyebelin" atau "Makanya jangan main sama anak nakal" terdengar sepele, tapi bisa tertanam kuat dalam pikiran anak. Ketika anak mendengar stereotip negatif, mereka cenderung ikut menyerap pola pikir yang mengkotak-kotakkan orang lain berdasarkan label tertentu. Padahal, toleransi butuh pemahaman setiap individu itu unik dan gak bisa digeneralisasi.

Tanpa disadari, anak akan tumbuh dengan pola pikir sempit yang membuat mereka sulit menerima perbedaan. Kalau mereka sudah terbiasa mendengar stereotip, kemungkinan besar mereka juga akan menggunakan stereotip yang sama dalam menilai teman atau lingkungan sekitarnya. Ini bisa jadi akar dari sikap diskriminatif yang berkembang di kemudian hari.

2. Tidak memberi contoh menghargai pendapat orang lain

ilustrasi seorang ibu mengobrol dengan anak (pexels.com/Ketut Subiyanto)
ilustrasi seorang ibu mengobrol dengan anak (pexels.com/Ketut Subiyanto)

Anak belajar dari apa yang mereka lihat. Jika orang tua cenderung mendominasi percakapan, memotong pendapat pasangan, atau menganggap remeh pendapat orang lain, anak akan menganggap perbedaan suara itu sesuatu yang buruk. Ini bisa membuat anak jadi sulit berdiskusi secara terbuka atau tidak mau mendengarkan sudut pandang yang berbeda.

Toleransi dimulai dari hal kecil seperti menghargai argumen yang berbeda. Jadi, ketika anak melihat orang tua bisa berdiskusi dengan sehat, mendengarkan dengan sabar, dan tetap sopan meski tidak sepakat, mereka pun akan belajar bahwa perbedaan bukan untuk dijauhi, tapi untuk dipahami.

3. Tidak mengajak anak mengenal lingkungan yang beragam

ilustrasi keluarga (pexels.com/Emma Bauso)
ilustrasi keluarga (pexels.com/Emma Bauso)

Anak yang tumbuh dalam lingkungan homogen baik dari segi budaya, agama, atau latar belakang sosial, cenderung kurang terpapar pada perbedaan. Kalau orang tua tidak memberi pengalaman atau wawasan tentang keberagaman, anak akan merasa dunia seharusnya hanya terdiri dari orang-orang yang "seperti mereka" saja.

Sesekali mengajak anak ke tempat ibadah lain, mengikuti festival budaya, atau menonton film dari berbagai negara bisa jadi cara yang menyenangkan untuk mengenalkan perbedaan. Dengan begitu, anak belajar keberagaman adalah hal yang alami dan indah, bukan sesuatu yang perlu ditakuti atau dijauhi.

4. Membenarkan tindakan intoleran karena alasan "lagi emosi"

ilustrasi seorang ayah menegur anak (pexels.com/August de Richelieu)
ilustrasi seorang ayah menegur anak (pexels.com/August de Richelieu)

Ada kalanya orang tua atau orang dewasa lain bersikap kasar atau tidak adil pada orang lain, lalu membenarkannya dengan alasan sedang emosi. Misalnya, menyindir tetangga karena beda pandangan atau memarahi anak karena main dengan teman dari latar belakang berbeda. Ketika tindakan seperti ini tidak dikoreksi, anak akan menganggap bahwa intoleransi bisa dimaklumi jika emosi sedang tidak stabil.

Padahal, justru saat emosi muncul, nilai toleransi diuji. Anak perlu belajar bahwa memiliki emosi negatif tidak membenarkan tindakan diskriminatif. Jika orang tua bisa mengakui kesalahan dan meminta maaf, anak akan melihat bahwa menghormati orang lain adalah nilai yang tetap berlaku kapan pun.

5. Terlalu sering menentukan teman untuk anak

ilustrasi seorang ayah menggendong anak yang menangis (pexels.com/Phil Nguyen)
ilustrasi seorang ayah menggendong anak yang menangis (pexels.com/Phil Nguyen)

Beberapa orang tua suka mengarahkan atau bahkan melarang anak berteman dengan anak lain yang dianggap "tidak cocok" atau "berbeda." Mungkin maksudnya untuk melindungi dari pergaulan yang tidak diinginkan, tapi ini bisa jadi bentuk kontrol berlebihan yang membuat anak tidak belajar memilih dan menghargai perbedaan karakter pada teman-temannya.

Membatasi lingkaran sosial anak, mereka jadi kurang berkesempatan memahami cara berinteraksi dengan beragam tipe orang. Anak justru perlu diberi ruang untuk mengenal berbagai macam karakter, supaya mereka bisa belajar bagaimana caranya berkomunikasi, beradaptasi, dan menghargai keunikan setiap individu.

6. Tidak menyadari bias pemilihan mainan atau buku

ilustrasi seorang ayah dan anak membaca buku (pexels.com/Andy Kuzma)
ilustrasi seorang ayah dan anak membaca buku (pexels.com/Andy Kuzma)

Kadang tanpa disadari, beberapa orang tua hanya memilih mainan, buku, atau tontonan yang menampilkan representasi tertentu saja, misalnya tokoh utama yang selalu dari kelompok mayoritas. Ketika anak tidak melihat keberagaman dalam media yang mereka konsumsi, mereka bisa menganggap hanya satu jenis identitas yang dianggap normal atau baik.

Oleh karena itu, orang tua bisa mulai dengan memilih buku yang menampilkan tokoh dari berbagai latar belakang budaya, ras, atau kondisi fisik. Anak-anak cenderung lebih mudah menerima perbedaan jika mereka sudah familiar sejak dini lewat media. Representasi yang beragam akan membantu anak merasa bahwa semua orang berhak mendapatkan ruang, cerita, dan penghargaan yang sama.

Menumbuhkan sikap toleransi pada anak memang butuh usaha dan kesadaran dari orang tua, bukan sekadar teori. Jadi, yuk, mulai refleksi dan perbaiki pola asuh, supaya anak tumbuh jadi pribadi yang menghargai perbedaan dan mampu hidup berdampingan dengan siapa pun.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Martin Tobing
EditorMartin Tobing
Follow Us