Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Mengurai Permasalahan dan Solusi Seputar Pendidikan di Indonesia

default-image.png
Default Image IDN

Pendidikan adalah jalan utama menuju kemajuan bangsa. Namun setelah lebih dari tujuh dekade merdeka, Indonesia masih bergelut dengan masalah-masalah mendasar dalam dunia pendidikan. Kita belum berhasil keluar dari paradoks: alokasi anggaran pendidikan terus meningkat, tetapi kualitas dan pemerataan hasilnya stagnan.

Laporan Programme for International Student Assessment (PISA) 2022 yang dirilis oleh OECD menempatkan Indonesia di peringkat ke-72 dari 81 negara untuk literasi membaca, ke-75 untuk matematika, dan ke-70 untuk sains. Ini menunjukkan bahwa tantangan kita bukan hanya kuantitas, tetapi juga kualitas.

Ketimpangan akses dan kualitas pendidikan

Sekolah induk SD Negeri 408 Ongkoe di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan (Sulsel). Dok. IDN Times/Dinas Pendidikan Wajo
Sekolah induk SD Negeri 408 Ongkoe di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan (Sulsel). Dok. IDN Times/Dinas Pendidikan Wajo

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari 17.000 pulau dan lebih dari 270 juta jiwa. Tantangan geografis ini menyebabkan ketimpangan yang ekstrem dalam akses dan kualitas pendidikan.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa angka partisipasi sekolah anak usia 16-18 tahun di DKI Jakarta mencapai 84,36 persen. Sementara di Papua Barat hanya 66,78%. Akses terhadap guru berkualitas, fasilitas belajar, dan teknologi pendidikan juga sangat timpang.

Kualitas guru dan sistem pembinaan

Guru di Tabanan bersiap ikuti pelatihan digital talent (Dok.Humas Tabanan)
Guru di Tabanan bersiap ikuti pelatihan digital talent (Dok.Humas Tabanan)

Guru adalah ujung tombak pendidikan. Sayangnya, kualitas guru di Indonesia masih memprihatinkan. Berdasarkan data Kemendikbudristek tahun 2023, lebih dari 50 persen guru belum memenuhi standar minimal dalam asesmen kompetensi pedagogik dan profesional.

Program sertifikasi guru pun belum memberikan dampak signifikan terhadap peningkatan mutu mengajar karena tidak dibarengi dengan pelatihan yang memadai dan sistem evaluasi yang berkelanjutan.

Kurikulum tidak konsisten dan tidak adaptif

Sejarah perumusan Kurikulum Pendidikan sejak Indonesia merdeka hingga tahun 2025 ini. Desain (IDN Times/Aditya Pratama)
Sejarah perumusan Kurikulum Pendidikan sejak Indonesia merdeka hingga tahun 2025 ini. Desain (IDN Times/Aditya Pratama)

Kurikulum pendidikan nasional kerap berubah tanpa evaluasi jangka panjang. Sejak reformasi, Indonesia telah mengganti kurikulum lebih dari lima kali, mulai dari KBK, KTSP, Kurikulum 2013, hingga Kurikulum Merdeka.

Pergantian ini seringkali terjadi karena tekanan politik atau keinginan populis, bukan karena hasil riset pendidikan atau bukti empiris. Akibatnya, guru dan siswa menjadi korban kebijakan yang tidak konsisten.

Minimnya peran orang tua dan komunitas

ilustrasi seorang ibu work from home (pexels.com/Jep Gambardella)
ilustrasi seorang ibu work from home (pexels.com/Jep Gambardella)

Dalam sistem pendidikan yang efektif, keluarga dan komunitas memiliki peran penting. Namun, banyak orang tua di Indonesia menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak kepada sekolah.

Data dari UNICEF menunjukkan hanya 34 persen orang tua di Indonesia yang secara aktif terlibat dalam kegiatan belajar anak di rumah. Rendahnya literasi orang tua tentang pentingnya peran mereka dalam pendidikan membuat sinergi antara rumah dan sekolah lemah.

Alokasi anggaran dan efisiensi penggunaan dana pendidikan

ilustrasi mengatur keuangan (pexels.com/Photo By: Kaboompics.com)
ilustrasi mengatur keuangan (pexels.com/Photo By: Kaboompics.com)

Sejak disahkannya UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pemerintah telah mengalokasikan minimal 20 persen dari APBN untuk pendidikan. Pada tahun 2024, anggaran pendidikan mencapai Rp660 triliun.

Namun, sebagian besar dana ini digunakan untuk belanja rutin dan gaji, sementara porsi untuk pengembangan kualitas belajar-mengajar dan inovasi pendidikan masih kecil. Efektivitas penggunaan anggaran belum optimal.

Sistem evaluasi salah arah

ilustrasi evaluasi diri (freepik.com/ freepik)
ilustrasi evaluasi diri (freepik.com/ freepik)

Sistem evaluasi pendidikan di Indonesia masih terlalu fokus pada hasil ujian. Ujian Nasional (UN) memang telah dihapus, tetapi penggantinya belum sepenuhnya mengubah paradigma evaluasi.

Model asesmen saat ini masih belum mampu mengukur kecakapan abad ke-21 seperti berpikir kritis, kreativitas, komunikasi, dan kolaborasi. Evaluasi yang berorientasi pada angka membuat guru dan siswa terjebak dalam praktik belajar yang dangkal. Bisa jadi evaluasi massa tersebut disebabkan terlalu besar dan beragamnya kelas yang harus diampu oleh seorang guru.

Intervensi politik dalam kebijakan pendidikan

ilustrasi politik (unsplash.com/@marcooriolesi)
ilustrasi politik (unsplash.com/@marcooriolesi)

Pendidikan semestinya menjadi program panjang bangsa, bukan ladang eksperimen setiap kali terjadi pergantian kekuasaan. Sayangnya, kebijakan pendidikan sering kali berubah mengikuti arah politik.

Hal ini menyebabkan ketidakstabilan sistem, lemahnya implementasi di lapangan, dan hilangnya arah jangka panjang. Sebagai contoh, perubahan mendadak terhadap sistem zonasi, seleksi masuk perguruan tinggi, dan kurikulum seringkali tidak disertai kesiapan teknis di lapangan.

Jalan menuju reformasi pendidikan yang berkelanjutan

Ilustrasi Orang memikirkan solusi | Pexels/Startup Stock Photos
Ilustrasi Orang memikirkan solusi | Pexels/Startup Stock Photos

Pertama, Indonesia membutuhkan peta jalan pendidikan nasional jangka panjang yang bebas dari intervensi politik sesaat. Kebijakan harus berbasis data, riset, dan konsensus nasional lintas kementerian dan pemangku kepentingan. Kedua, perlu penguatan sistem pelatihan dan rekrutmen guru berbasis merit. Sertifikasi harus diikuti dengan program mentoring, pelatihan berkelanjutan, dan evaluasi kinerja nyata di kelas.

Ketiga, kurikulum harus stabil, adaptif terhadap tantangan global, namun tetap berakar pada nilai lokal dan karakter bangsa. Keempat, pemerintah perlu menciptakan mekanisme insentif bagi daerah tertinggal dan guru yang bersedia mengabdi di wilayah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal).

Kelima, penting untuk melibatkan keluarga dan komunitas dalam proses pendidikan. Program penguatan parenting, literasi keluarga, dan kerjasama sekolah dengan tokoh masyarakat harus diperluas. Keenam, alokasi anggaran harus dikawal dengan transparansi dan akuntabilitas. Setiap rupiah harus berdampak pada peningkatan mutu proses dan hasil belajar.

 

Pendidikan adalah investasi jangka panjang. Jika Indonesia ingin lepas dari jebakan negara berpendapatan menengah (middle income trap), maka reformasi pendidikan tidak bisa ditunda lagi. Kita membutuhkan kepemimpinan visioner, kebijakan berbasis bukti, dan kolaborasi lintas sektor. Pendidikan harus menjadi fondasi kokoh untuk masa depan Indonesia yang berdaulat, berdaya saing, dan berkeadaban.

*Prof. Erry Yulian Triblas Adesta, PhD – seorang pemerhati sosial kebangsaan dan pendidikan adalah seorang Guru Besar Tetap Teknik Mesin dan saat ini Wakil Rektor bidang Akademik, Riset dan Inovasi Universitas Bandar Lampung, serta Adjunct Professor Fakultas Teknik, International Islamic University Malaysia (IIUM).

 

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Martin Tobing
EditorMartin Tobing
Follow Us