Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Pakar Energi Lampung Tantang SPBU Swasta Bangun Jaringan SPBU di Daerah

WhatsApp Image 2025-10-23 at 7.47.57 PM.jpeg
diskusi “Satu Tahun Pemerintahan Prabowo–Gibran: Dari Sudut Pandang Energi” di Zozo Garden Bandar Lampung, Kamis (23/10/2025). (IDN Times/Martin L Tobing).
Intinya sih...
  • SPBU swasta perlu bangun jaringan di daerah agar adil bagi masyarakat di luar Jawa
  • Kompetitor dari SPBU swasta dinilai efisien untuk masyarakat, namun pemerintah perlu memperkuat komunikasi publik soal isu energi
  • Kebijakan subsidi LPG 3 kilogram masih menimbulkan tantangan, dan perbedaan harga di lapangan sering dipicu panjangnya rantai distribusi
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Bandar Lampung, IDN Times — Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) per 2024 terdapat 2.314 SPBU swasta dari total 15.917 SPBU di  Indonesia. Merujuk data tersebut, mayoritas SPBU swasta beroperasi di daerah ibu kota saja dan belum mampu menjangkau wilayah terpencil.

Hal tersebut disampaikan pakar energi Institut Teknologi Sumatera (ITERA) Rishal Asri kepada awak media saat diskusi “Satu Tahun Pemerintahan Prabowo–Gibran: Dari Sudut Pandang Energi” di Zozo Garden Bandar Lampung, Kamis (23/10/2025).

“SPBU swasta ini kan cuma di daerah Ibu Kota. Jadi kalau mau buka di kota besar, ya bangun juga di daerah lain biar adil. Jangan cuma buka di Jakarta. Harus apple to apple. Kalau mau buka SPBU swasta, silakan, tapi bangun juga di luar Jawa. Jangan cuma rebut pangsa pasar di kota besar,” ucapnya.

Menurut Rishal, isu BBM sulit didapat masyarakat dan ramai di media sosial berasal dari keterbatasan pasokan di SPBU swasta, bukan di jaringan nasional Pertamina. “Masalahnya, isu di Jakarta sering dianggap isu nasional, padahal di daerah nggak relevan,” katanya.

1. Ada kompetitor dari SPBU swasta dinilai efisien untuk masyarakat

ilustrasi SPBU (unsplash.com/Jean-christophe Gougeon)
ilustrasi SPBU (unsplash.com/Jean-christophe Gougeon)

Pada forum yang sama, ekonom Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Lampung Tiara Nirmala menilai, kondisi pasar BBM di Indonesia memang masih didominasi Pertamina. “Kalau struktur pasar hanya monopoli, cuma satu penjual, dia jadi price maker," ujarnya.

"Tapi kalau ada kompetitor, justru efisien untuk masyarakat, karena akan ada persaingan harga. Namun, dalam konteks energi, monopoli Pertamina ini memiliki peran strategis menjaga pemerataan pasokan hingga pelosok negeri,” imbuhnya.

Tiara menegaskan, kelangkaan yang terjadi di beberapa SPBU swasta tidak mencerminkan kondisi energi nasional karena porsi pasokan mereka hanya sebagian kecil dari total pasar BBM di Indonesia. Di sisi lain, Pertamina menguasai ribuan titik distribusi di seluruh provinsi dan menjadi penjamin utama stabilitas bahan bakar nasional.

Lebih lanjut, Tiara menilai kebijakan pembatasan impor BBM yang diterapkan pemerintah memiliki dasar ekonomi yang kuat. Menurutnya, jika impor bahan bakar dilakukan secara berlebihan, hal itu dapat menekan stabilitas nilai tukar rupiah dan mengganggu neraca perdagangan nasional.

“Kalau impor meningkat, neraca perdagangan bisa terganggu. Karena transaksi dengan luar negeri dilakukan dengan dolar, bukan rupiah. Jadi, makin banyak impor, makin banyak kebutuhan dolar. Akibatnya, nilai dolar naik, rupiah terdepresiasi. Itu bisa membuat neraca perdagangan defisit,” ujar Tiara.

2. Pemerintah perlu memperkuat komunikasi publik soal isu energi

ilustrasi diskusi di tempat kerja (freepik.com/tirachardz)
ilustrasi diskusi di tempat kerja (freepik.com/tirachardz)

Perspektif lainnya disampaikan pakar komunikasi publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Lampung, Feri Firdaus. Ia menilai, pemerintah perlu memperkuat komunikasi publik agar masyarakat tidak terjebak pada persepsi yang salah soal isu energi.

Menurutnya, pemerintah harus menjadi sumber utama yang menarasikan isu yang hendak disampaikan. “Jangan sampai masyarakat itu tahu informasi yang beredar di media-media, tapi sumbernya itu tidak kredibel," tukasnya.

"Maka pemerintah harus bisa menjadi satu-satunya, dalam arti sumber pertama. Ketika ada yang mau menyampaikan sesuatu, bagaimana caranya pemerintah bisa menguasai, meramaikan, atau mendominasi informasi yang berkaitan,” imbuh Feri.

3. Kebijakan subsidi LPG 3 kilogram masih menimbulkan tantangan

Gas elpiji 3kg subsidi diharapkan tepat sasaran.
Gas elpiji 3kg subsidi diharapkan tepat sasaran.

Diskusi ini menyoroti gas LPG 3 kilogram sudah menjadi bagian dari kebutuhan dasar masyarakat, terutama di pedesaan. Jika harganya disesuaikan langsung dengan mekanisme pasar, risiko tekanan terhadap daya beli akan meningkat, dan berpotensi mendorong inflasi di tingkat rumah tangga.

Hal itu berbeda dengan subsidi BBM yang diterapkan pemerintah yang dari tahun ke tahun dilakukan penyesuaian. “Nah, sekarang subsidi BBM sudah berubah, mengikuti mekanisme pasar. Kalau harga minyak dunia naik, kita juga menyesuaikan seperti dari 7.500 naik ke Rp10.000. Jadi subsidi tetap ada, tapi menyesuaikan kondisi global," paparnya.

"Kita sedang berupaya agar masyarakat miskin tidak bertambah, malah berkurang. Kalau harga LPG disesuaikan langsung ke harga pasar, bisa-bisa masyarakat menengah ke bawah terdampak dan daya belinya turun,” kata Tiara.

Ia menjelaskan, meski kebijakan subsidi LPG 3 kilogram masih menimbulkan tantangan, khususnya dalam hal ketepatan sasaran, pemerintah kini menyiapkan sistem data sosial ekonomi tunggal agar penyalurannya lebih tepat. Dengan data yang akurat, subsidi bisa benar-benar dinikmati oleh masyarakat yang berhak.

4. Perbedaan harga di lapangan sering dipicu panjangnya rantai distribusi

Ilustrasi gas elpiji 3 kilogram. (IDN Times/Larasati Rey)
Ilustrasi gas elpiji 3 kilogram. (IDN Times/Larasati Rey)

Kebijakan pemerintah mempertahankan harga LPG 3 kilogram di level tetap merupakan langkah yang tepat untuk kondisi ekonomi saat ini menurut Rishal. Menurutnya, skema harga tetap atau fixed price memberikan pemerataan bagi seluruh masyarakat di Indonesia, meski memiliki konsekuensi fiskal bagi negara.

“Kalau harganya fixed, memang ada pemerataan untuk seluruh Indonesia. Tapi masalahnya adalah efek ke atasnya nanti kalau harganya mengikuti pasar, yang rugi itu masyarakat di bawah. Jadi ini soal jangka pendek dan jangka panjang. Kalau pilihannya sekarang, secara jangka pendek harga fixed lebih aman,” ujar Rishal.

Ia menambahkan, meski kebijakan tersebut dinilai efektif menjaga kestabilan harga di tingkat konsumen, pemerintah tetap perlu mempersiapkan sistem distribusi yang lebih efisien agar masyarakat bisa menikmati harga sesuai dengan Harga Eceran Tertinggi (HET).

Rishal menyoroti perbedaan harga di lapangan sering disebabkan oleh panjangnya rantai distribusi dan belum optimalnya sistem data penerima subsidi. Selain itu, ia juga menilai bahwa penerapan sistem digital seperti QR Code dapat menjadi solusi jangka panjang agar penyaluran LPG 3 kilogram lebih transparan dan tepat sasaran.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Martin Tobing
EditorMartin Tobing
Follow Us

Latest News Lampung

See More

Pakar Energi Lampung Tantang SPBU Swasta Bangun Jaringan SPBU di Daerah

23 Okt 2025, 19:51 WIBNews