Meroket hingga Rp260 Ribu! Produsen Ikan Asin Keluhkan Harga Garam

Bandar Lampung, IDN Times - Pengolah atau produsen ikan asin Pulau Pasaran keluhkan kenaikan harga garam hingga mencapai tiga kali lipat dari harga normal.
Hal ini disampaikan salah satu produsen ikan asin di Pulau Pasaran, Toto kepada IDN Times. Ia mengatakan, harga garam normalnya hanya berkisar antara Rp70 ribu-Rp80 ribu kini mencapai Rp250 ribu per sak.
“Memang 48 pengolah ikan (asin) di Pulau Pasaran ini bergantung dengan bahan pokoknya yaitu garam. Sekarang ini harga garam sedang tinggi-tingginya. Tterakhir itu 250 ribu per sak. Satu sak isinya 50 kilo. Berarti 1 kilonya 5000. Padahal normalnya harga garam cuma 1500 perkilo,” katanya, Selasa (10/5/2023).
1. Sudah tak musim hujan, harga garam tak kunjung turun

Toto mengatakan, kenaikan harga garam ini terjadi sejak September 2022 lalu. Pihaknya pun sudah mencari informasi penyebab harga garam terus melambung dan alasan penghasil garam pada musim penghujan membuat produksi garam menjadi sulit.
“Garam naik karena musim penghujan katanya. Nah sekarang kan udah musim kemarau, tapi kok harga gak turun-turun? Ini yang membuat kita para pengolah ikan jadi merasa apa ada permainan atau seperti apa,” ujarnya.
Toto menjelaskan, dampak kenaikan harga garam ini sangat luar biasa pada pengolah ikan. Ia mengatakan produsen ikan asin tidak bisa menaikkan harga ikan asin secara signifikan sehingga berdampak pada pendapatan.
“Kalau tadinya satu kilo 1.500 sekarang 5.000, kan ada selisih 3500. Itu seharusnya bisa digunakan untuk biaya yang lain. Harga garam naik, posisi gas juga ikut tinggi, jadi HPP penjualan jadi tinggi. Ini yang membuat khawatir. harga jual kita standar harga lama sedangkan biaya produksi naik,” jelanya.
2. Garam diperoleh dari luar daerah

Hal senada juga disampaikan pengolah ikan asin di Pulau Pasaran lainnya, Sarnoto. Ia mengatakan, pada musim kemarau biasanya harga garam hanya Rp40 ribu-Rp50 ribu per sak. Paling tinggi untuk musim-musim lain hanya Rp80 ribu.
“Naik terus itu sejak bulan sembilan, naiknya bertahap dari 80 ke 90 (ribu), terus 100, 110, melesat langsung 160 langsung 200, ini terakhir 260. Katanya (produsen garam) karena musim hujan,” imbuhnya.
Satnoto mengatakan, biasa mengambil garam dari Cirebon atau Indramayu. Itu dikarenakan produsen garam di Lampung tidak memproduksi banyak sehingga tidak mencukupi kebutuhan para pengolah ikan di Pulau Pasaran. “Di sini ada di Legundi, cuma gak banyak paling (produksi) 200 kilo sehari,” timpalnya.
3. Biaya produksi menjadi dua kali lipat

Sarnoto menjelaskan, untuk setiap kali produksi biasanya menggunakan 1-2 ton ikan. Ia biasa mengambil ikan langsung dari nelayan di atas laut karena sistemnya siapa cepat dia dapat.
Ia menyebutkan, memproduksi 2 ton ikan, maka ia akan membutuhkan 500 kg atau 10 sak garam. Artinya Sarnoto harus mengeluarkan Rp2,6 juta hanya untuk garam saja.
“Paling banyak itu bisa ngolah 2 ton. Itu biasanya pakai 5 kwintal garam. Jadi istilahnya yang biasanya kita produksi itu abis 2 juta, ini jadi 4 juta. Bisa 2 kali lipatnya,” jelasnya.
4. Produsen ikan asin tak setiap hari mengolah ikan

Sarnoto menjelaskan, tak setiap hari pengolah ikan membuat ikan asin. Hal itu tergantung pada musimnya. Jika pada musim bulan terang seperti ini, maka nelayan akan beristirahat dari kegiatan melaut sehingga mereka pun belum bisa memproduksi ikan asin.
“Bulan terang itu biasanya seminggu. Nelayan kan nangkep ikan pakai lampu, kalau bulan terang kan ikan ya ga bakal ngumpul makanya nelayan gak melaut,” jelasnya.
Proses pembuatan ikan asin di Pulau Pasaran pun terbilang cukup unik. Proses pengolahan ikan mentah dari mulai membersihkan ikan, merebus, hingga proses pengasinan dilakukan di atas kapal. Sehingga tak menimbulkan sampah dan bau tak sedap di lingkungan rumah masyarakat.
“Semua proses mengolahnya di atas kapal. Pas udah mateng, tinggal jemur aja di sini (daratan). Jadi enak bersih gak bau di sini,” imbuhnya.