Kisah Anca, Pustakawan Muda Lampung Pendiri Gubuk Literasi

- Anca mendirikan Gubuk Literasi selama pandemi, menciptakan ruang aman untuk anak-anak belajar dan berkembang dengan beragam kegiatan edukatif.
- Pengalaman Anca sebagai mahasiswa dan kisah sukses Moyes menjadi inspirasi bagi dirinya dalam membangun Gubuk Literasi.
- Gubuk Literasi bukan milik pribadi Anca, melainkan ruang bersama dengan dukungan dari banyak pihak, menunjukkan arti kebersamaan dalam perubahan sosial.
Bandar Lampung, IDN Times - Di tengah semangat literasi yang terus tumbuh di masyarakat, ada sosok inspiratif asal Lampung yang ikut memberi warna. Adalah Dwi Ariyansyah, akrab disapa Anca, seorang pustakawan muda yang sejak tahun 2021 memulai langkah sederhana namun berdampak besar, mendirikan Gubuk Literasi.
Anca menceritakan, Gubuk Literasi lahir pada 15 Agustus 2021, tepat di masa pandemi ketika anak-anak lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Anca melihat kegelisahan, banyak anak di lingkungannya kesulitan belajar, minim akses bacaan, dan larut dalam penggunaan gawai.
1. Ciptakan ruang aman untuk anak-anak

Dari keresahan itu, ia menyulap tempat sederhana menjadi ruang baca yang terbuka untuk semua. Buku-buku bisa diakses siapa saja, anak-anak punya tempat aman untuk berkumpul, belajar, dan tumbuh dengan rasa percaya diri. Tak disangka, inisiatif kecil ini mendapat sambutan hangat dari masyarakat sekitar.
“Gubuk Literasi ini bukan sekadar tempat membaca, tapi ruang agar anak-anak bisa merasa aman, percaya diri, dan punya kesempatan berkembang,” kata Anca, Jumat (12/9/2025).
Seiring berjalannya waktu, Gubuk Literasi berkembang pesat. Kegiatan yang awalnya hanya fokus membaca kini bertambah beragam: diskusi, permainan edukatif, eksperimen sains sederhana, hingga aktivitas kreatif seperti menanam pohon atau bermain warna. Semua dirancang agar belajar terasa menyenangkan, bukan beban.
2. Kisah paling membekas bagi Anca selama dirikan Gubuk Literasi

Perjalanan Anca tidak lepas dari latar belakangnya sebagai mahasiswa FISIP Universitas Lampung (Unila), Program Studi D-3 Perpustakaan angkatan 2019. Selama kuliah, ia aktif berorganisasi di BEM U, FSPI FISIP, DPM, hingga menjabat sebagai Ketua Umum HMD Perpustakaan.
Pengalaman organisasi itu melatihnya mengelola kegiatan, membangun jejaring, sekaligus menumbuhkan kepedulian sosial. Semua kemudian menjadi bekal penting saat ia memutuskan mendirikan Gubuk Literasi.
Salah satu cerita membekas di hati Anca adalah kisah seorang anak bernama Muhammad Nurul Fahri atau akrab dipanggil Moyes. Awalnya, Moyes tidak bisa membaca maupun menulis.
Namun lewat pendampingan di Gubuk Literasi, perlahan ia berkembang. Kini, Moyes bukan hanya bisa bersekolah, tetapi juga menorehkan prestasi, termasuk mewakili sekolahnya dalam lomba mewarnai.
“Melihat Moyes bisa sekolah dan berprestasi, padahal dulu ia belum bisa baca tulis, itu jadi momen paling membahagiakan buat saya,” cerita Anca.
3. Bukan milik pribadi, tapi ruang bersama

Sejak awal, Anca menekankan, Gubuk Literasi adalah ruang bersama. Meski ia yang mendirikan, banyak orang baik ikut terlibat. Dukungan datang dari berbagai pihak, termasuk Muthia Balqis yang kini berperan sebagai CEO Gubuk Literasi, serta relawan yang konsisten mendampingi anak-anak. Saat ini, kepengurusan Gubuk dipimpin oleh Aryo Sulaiman dari UIN, bersama tim yang terus menjaga semangat gerakan literasi agar tetap hidup.
“Gubuk ini bukan punya saya sendiri. Awalnya memang saya mendirikan, tapi setelah itu banyak yang ikut membantu. Ada Mbak Muthia Balqis, juga teman-teman volunteer lainnya,” jelas Anca.
Kini, Anca merantau ke Jakarta dan meniti karier sebagai pustakawan di Perpustakaan Nasional Indonesia. Meski jauh dari Lampung, ia tetap memberi dukungan dan percaya bahwa Gubuk Literasi akan terus tumbuh bersama para relawan.
Bagi Anca, keberadaan Gubuk Literasi adalah pelajaran penting tentang arti kebersamaan. Ia percaya perubahan tidak selalu harus lahir dari langkah besar, tetapi bisa dimulai dari hal kecil yang konsisten dilakukan.
“Ada dua pilihan untuk mahasiswa: jadi yang berperan atau baperan. Semua boleh, tapi kalau jadi mahasiswa baperan, harus bawa perubahan. Karena tanggung jawab mahasiswa bukan hanya pada diri sendiri dan Tuhan, tapi juga pada masyarakat. Kalau bukan kita siapa lagi? Kalau bukan sekarang kapan lagi?” tegasnya.
Baginya, literasi bukan hanya soal membaca buku, tapi tentang membuka peluang lebih luas bagi anak-anak untuk tumbuh, belajar, dan berani bermimpi.