Desak Reformasi DPR, Akademisi Soroti Kualitas Intelektual Legislator

- Mayoritas anggota DPR RI lulusan S1, hanya 20,5% lulusan S2 dan S3
- Fenomena "hadir, duduk, pulang" di DPR dinilai sebagai defisit intelektual
- Mahasiswa menuntut kenaikan standar kualitas legislatif dan syarat minimal pendidikan S2 bagi anggota DPR
Bandar Lampung, IDN Times – Akademisi asal Lampung memandang kualitas intelektual anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) masih menjadi pekerjaan rumah besar di tengah kompleksitas persoalan bangsa terjadi belakang ini.
Berdasarkan data dihimpun, komposisi pendidikan anggota DPR RI periode 2024-2029 menunjukkan mayoritas masih lulusan strata satu (S1). Sementara lulusan strata dua (S2) hanya 20,5 persen atau 119 orang, lulusan S3 tidak dominan, dan bahkan masih ada 63 orang (10,9 persen) hanya lulusan SMA sederajat.
“Setiap jenjang pendidikan merupakan tonggak pembuktian kemampuan intelektual. Pertanyaannya, bagaimana jika mayoritas anggota DPR hanya berpendidikan S1 atau bahkan kurang relevan dengan bidang sosial, hukum, dan politik? Apakah mereka cukup mampu merespons kompleksitas persoalan kebangsaan?," ujarnya kepada IDN Times, Senin (15/9/2025).
1. Suguhkan fenomenal legislator "hadir, duduk, pulang"

Rifandy menilai, data jenjang pendidikan para legislator tersebut sudah sepatutnya kritisi. sebab, di era penuh tantangan global, digitalisasi, dan krisis multidimensi, pendidikan formal rendah akan berdampak pada kapasitas berpikir legislator.
Pasalnya, catatan tersebut menunjukkan lulusan S2 dan S3 masih belum menjadi dominan di parlemen, sementara lulusan SMA tetap memiliki porsi signifikan. "Hal itu menimbulkan pertanyaan, cukupkah bekal pendidikan tersebut untuk menghadapi problem multidimensi bangsa?," kata dia.
Sejalan dengan fenomena terjadi, para penghuni Senayan sejauh ini baru sebatas "hadir, duduk, pulang”. Itu dinilai kerap disaksikan dalam sidang-sidang DPR memperlihatkan defisit intelektual.
"Banyak anggota hadir secara fisik, tetapi tidak sepenuhnya memahami substansi perdebatan. Alih-alih mengambil keputusan kritis, sebagian justru menjadi pengikut pasif. Padahal, rakyat menghendaki wakil yang tidak hanya pandai berbicara, tapi mampu berpikir mendalam, filosofis, dan sistematis," lanjutnya.
2. Tuntutan mahasiswa alarm reformasi DPR

Aksi mahasiswa di depan DPR RI dan sejumlah provinsi lainnya beberapa waktu lalu melalui gerakan “17+8 Tuntutan Rakyat” disebut patut menjadi momentum penting. Meski tidak eksplisit menyebut syarat minimal pendidikan S2 bagi anggota DPR, Rifandy menilai, substansi tuntutan itu jelas mendesak kenaikan standar kualitas legislatif.
Menurutnya, sejumlah tuntutan diajukan mahasiswa berkaitan dengan transparansi, penghentian praktik penyalahgunaan wewenang, evaluasi tunjangan yang berlebihan, serta penegakan hak asasi manusia.
"Semua itu sesungguhnya berakar pada satu problem besar, yaitu rendahnya kualitas berpikir sebagian legislator. DPR dinilai terlalu sering terjebak pada kepentingan politik jangka pendek, sehingga melupakan tanggung jawab moral dan intelektualnya kepada rakyat," katanya.
Bila ditarik benang merah, ia melanjutkan, persoalan dikritik mahasiswa bukan hanya soal etika, melainkan juga kapasitas epistemik DPR. Ia mengatakan, legislasi membutuhkan pemahaman mendalam terhadap teori hukum, kebijakan publik, hingga dinamika sosial yang kompleks.
"Tanpa dasar pendidikan yang memadai, anggota DPR cenderung melihat masalah secara dangkal, dan produk undang-undang yang dihasilkan pun rentan bermasalah," lanjut dosen Fakultas Hukum UBL tersebut.
3. Soroti syarat pencalonan anggota DPR

Gerakan mahasiswa ini dinilai sekaligus menegaskan, generasi muda tidak lagi puas dengan demokrasi prosedural dan menuntut demokrasi substantif, dengan mendesak para wakil rakyat benar-benar menjalankan fungsi representasi dengan kualitas intelektual terukur.
Oleh karenanya, Rifandy mendorong publik mengajukan pertanyaan serius ihwal regulasi mengenai syarat pencalonan anggota DPR. Pasalnya, syarat pendidikan formal bagi calon legislator hanya sebatas lulusan sekolah menengah atas (SMA) atau sederajat.
"Standar ini mungkin memadai pada masa lalu, ketika kompleksitas kebijakan publik belum seberat sekarang. Namun, di era globalisasi, digitalisasi, dan krisis multidimensi, syarat itu terasa terlalu rendah," ucap dia.
4. Pendidikan formal disertai Integritas hingga keberpihakan rakyat

Rifandy menambahkan, penetapan standar minimal S1 atau bahkan S2 bagi calon anggota DPR diharapkan bisa menjadi modal awal intelektual bagi para wakil rakyat, untuk menganalisis kebijakan, mengkritisi rancangan undang-undang, dan merumuskan solusi strategis.
Selain itu, pendidikan formal bukan satu-satunya ukuran. Integritas, kejujuran, dan keberpihakan pada rakyat tetap menjadi prasyarat utama. Namun, pendidikan tinggi akan menjadi pagar awal, memastikan anggota DPR memiliki modal intelektual memadai sebelum menjalankan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan.
"DPR perlu berbenah, bukan hanya memperbaiki citra, melainkan juga meninjau ulang fondasi kelembagaan, termasuk syarat pendidikan bagi para anggotanya. Mahasiswa sudah memberi peringatan keras, DPR harus berubah atau akan semakin ditinggalkan rakyatnya," desak Rifandy.