Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Cerita Remaja Bandar Lampung Ikut Demo dan Tanggapan Para Ahli

Masa aksi yang membawa bendera di Lampung. (IDN Times/Muhaimin)
Masa aksi yang membawa bendera di Lampung. (IDN Times/Muhaimin)
Intinya sih...
  • Remaja ikut demo karena kesadaran sendiri, meskipun melanggar larangan Dinas Pendidikan dan keluarga.
  • Kegagalan institusi publik dalam menyediakan kanal partisipasi bagi anak-anak mencerminkan kebutuhan akan ruang partisipasi formal yang aman.
  • Perlindungan anak-anak dari eksploitasi politik dan kericuhan sangat penting, serta perlu adanya pendampingan psikososial pasca-aksi.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Bandar Lampung, IDN Times - Sejak akhir Agustus hingga awal September 2025, Lampung turut menjadi salah satu daerah yang menggelar demonstrasi. Berbeda dengan sejumlah kota lain di Indonesia yang berakhir ricuh, aksi di Lampung berlangsung relatif damai meski diikuti massa dalam jumlah besar.

Namun, perhatian publik justru tertuju pada hadirnya anak-anak di bawah umur dalam barisan massa aksi. Pertanyaan besar pun muncul: mengapa mereka yang seharusnya fokus belajar justru memilih turun ke jalan?

IDN Times mencoba menggali fenomena ini lewat cerita langsung dari remaja yang ikut aksi, serta penjelasan dari akademisi dan psikolog.

1. Ikut aksi karena kesadaran sendiri

Masa aksi yang sedang berkumpul di museum Lampung. (IDN Times/Muhaimin)
Masa aksi yang sedang berkumpul di museum Lampung. (IDN Times/Muhaimin)

AR (bukan nama sebenarnya), seorang pelajar di Bandar Lampung yang ikut aksi, mengaku keputusannya murni datang dari dirinya sendiri. Pertama kali ia turun ke jalan saat ada demo soal banjir di depan Kantor Wali Kota Bandar Lampung.

“Waktu itu saya lagi PKL di Disdukcapil, terus lihat ada orang demo tapi kok dikit banget. Saya cari tahu lah di medsos, ternyata tuntutannya bener. Itu soal kinerja pemerintah yang bikin Bandar Lampung banjir di mana-mana. Dari situ saya akhirnya ikut demo tapi saya pakai tutup wajah biar identitas saya gak ketahuan,” ceritanya kepada IDN Times, Sabtu (6/9/2025).

Sejak demo itu, remaja berusia 18 tahun itu mengaku sering ikut aksi-aksi lain meski Dinas Pendidikan melarang pelajar terlibat. Bahkan ia sempat mendapat penolakan dari keluarganya.

“Pernah motor saya disita biar gak berangkat, tapi akhirnya saya nebeng teman. Sekarang abang saya sudah ngizinin, asal bisa nutup identitas biar gak kena sanksi dari sekolah,” tambahnya.

2. Anak ikut demo, cerminan kegagalan institusi publik

IMG-20250901-WA0031.jpg
Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal turun langsung menemui massa aksi yang menggelar demonstrasi di Gedung DPRD Provinsi Lampung, Kota Bandar Lampung, Senin (1/9/2025). (IDN Times/Muhaimin Abdullah).

Akademisi FISIP Universitas Lampung, Vincensius Soma Ferrer menilai, fenomena anak-anak ikut aksi demonstrasi tidak bisa hanya dipandang dari sisi psikologi anak atau remaja semata. Hal ini menurutnya mencerminkan adanya kegagalan institusi publik dalam menyediakan kanal partisipasi khusus bagi usia mereka.

“Dalam perspektif negara demokrasi, ini menunjukan adanya kesenjangan kanal partisipasi formal. Tidak ada mekanisme yang terstruktur untuk mereka bisa mengeluarkan aspirasi. Akhirnya, mereka mengisi kanal-kanal jalanan dengan bergabung bersama massa aksi lain,” jelas Soma.

Soma mengatakan, ada pertanyaan besar yang perlu dijawab apakah kehadiran anak-anak di jalanan benar-benar bisa disebut partisipasi politik, atau mereka hanya menjadi sasaran mobilisasi massa?

“Dalam konsep keilmuan sosial, keterlibatan masyarakat termasuk anakbisa disebut sah bila berbasis kesadaran. Tapi memang tidak menutup kemungkinan karena rendahnya edukasi politik, mereka hadir dengan ketidaktahuan. Bahkan bisa jadi ada yang sekadar menjadi bagian dari mobilisasi massa yang sifatnya eksploitatif,” katanya.

3. Perlu perlindungan dari eksploitasi dan kericuhan

Masa aksi yang bergerak ke DPRD Lampung. (IDN Times/Muhaimin)
Masa aksi yang bergerak ke DPRD Lampung. (IDN Times/Muhaimin)

Bagi Soma, hal paling penting adalah memastikan anak-anak ini tidak dijadikan “amunisi politik murahan” maupun terjebak dalam ancaman kericuhan. Sebab itu, negara memiliki tanggung jawab untuk menghadirkan forum partisipatif yang aman bagi mereka.

“Psikologi remaja mereka harusnya bisa tersalurkan secara edukatif, bukan justru di jalanan yang rawan bentrokan,” tegasnya.

Soma juga menekankan pentingnya kebijakan yang melindungi anak-anak yang ikut aksi karena kesadaran sendiri. Ia menyebut, aparat bisa menghadirkan SOP yang ramah anak, termasuk langkah pemulihan pasca-aksi.

“Misalnya dengan memberikan pendampingan psikososial setelah mereka ikut turun ke jalan. Itu jauh lebih bermanfaat ketimbang hanya sekadar memberi larangan,” ujarnya.

Secara garis besar, Soma menilai dalam negara demokrasi, menyediakan sarana partisipasi bagi anak-anak jauh lebih penting dibandingkan langkah mitigasi berupa larangan.

“Memberikan ruang partisipasi yang aman adalah bagian dari child-sensitive governance, atau tata kelola pemerintahan yang ramah anak. Itu lebih relevan daripada melarang anak-anak bersuara dan beraspirasi,” tutupnya.

4. Usia remaja sudah mampu menginterpretasikan realitas

ilustrasi remaja bicara (pexels.com/cottonbro)
ilustrasi remaja bicara (pexels.com/cottonbro)

Psikolog Klinis Lampung, Cindani Trika Kusuma, menjelaskan, keberadaan anak di bawah umur dalam aksi massa perlu ditelusuri lebih dulu. Bisa jadi mereka kebetulan lewat, misalnya baru pulang sekolah dan melihat keramaian sehingga ikut bergabung.

“Apakah lokasi demonstrasi itu berada di area sensitif, misalnya dekat sekolah, tempat bermain, atau lingkungan rumahnya? Karena secara tidak langsung, anak-anak bisa akhirnya terlibat,” jelas Cindani.

Namun, menurut Cindani, jika usianya sudah di atas 15 tahun, seperti anak SMA, secara kognitif mereka mulai mampu menginterpretasikan kenyataan dan realita di sekitarnya. Hal itu termasuk informasi dari media sosial, pemberitaan, dan hal-hal konkret yang mereka sadari.

“Mungkin mereka memang tidak sepaham dengan orang dewasa soal regulasi pemerintahan, tetapi mereka sudah mulai ikut merasakan sehingga ada emosi yang hadir,” katanya.

Meski begitu, faktor usia membuat mereka tetap berada di bawah perlindungan yang kuat. Apalagi di Indonesia ada Undang-Undang Perlindungan Anak yang cukup kuat. Jadi ia berharap mereka tidak terlibat dalam sesuatu yang merugikan, misalnya kekerasan atau menjadi korban.

"Kalau orang dewasa, kalau ada apa-apa itu hak asasi. Sedangkan anak-anak ini hak asasi plus perlindungan. Mereka sangat privilage,” jelasnya.

5. Demo damai bisa jadi pembelajaran, tapi resiko tetap ada

IMG-20250901-WA0028.jpg
Massa aksi menggelar unjuk rasa di DPRD Lampung, Senin (1/9/2025). (IDN Times/Tama Yudha Wiguna).

Cindani menilai, demonstrasi yang berlangsung damai di Lampung bisa menjadi pembelajaran positif. Anak-anak remaja bisa melihat bahwa demo tidak harus menggunakan kekerasan.

“Jadi mereka ikut kakak-kakaknya para mahasiswa turun ke jalan. Karena memang mereka senang dengan hal-hal seperti itu, seperti saat konvoi kelulusan. Itu sesuai dengan perkembangan mereka,” ujarnya.

Namun, ia mengingatkan jika mereka justru mengalami kekerasan saat ikut demo, dampak psikologisnya bisa serius. Itu bisa dilihat dari berbagai aspek, mulai sosial, psikis, hingga fisik.

Secara kognitif juga mungkin terpengaruh, misalnya ada cidera pada bagian kepala atau tekanan lainnya. Dampaknya bisa memengaruhi mental mereka dalam jangka panjang.

Menurut Cindani, tugas utama anak adalah belajar dan tumbuh sehat. Sehingga, jika saat anak-anak mereka mendapat kekerasan dan berdampak pada mental, efeknya bisa panjang.

"Saat dewasa mereka bisa trauma, kesulitan bekerja, atau tidak mampu beradaptasi di lingkungan. Jadi harus diperiksa apakah itu dampak dari kekerasan yang dialami saat masih anak-anak,” tambahnya.

6. Peran orang tua, buka ruang diskusi

ilustrasi orangtua menasihati anak perempuan (pexels.com/Nicole Michalou)
ilustrasi orangtua menasihati anak perempuan (pexels.com/Nicole Michalou)

Cindani menekankan pentingnya peran orang tua menyikapi fenomena ini. Ia menyarakan, orang tua perlu membuka ruang diskusi.

Jangan sampai menganggap anak masih kecil jadi tidak perlu tahu. Justru orang dewasa harus bisa memberi arahan dengan informasi yang benar dan sumber artikel yang kredibel.

"Jika merasa tidak kompeten, orang tua bisa meminta bantuan profesional. Sehingga anak-anak bisa diarahkan sesuai fakta, jadi aspirasinya tersalurkan dengan cara sehat dan aman. Kalau ruang diskusi ditutup, anak pasti punya rasa penasaran dan mencari orang lain yang dianggap kompeten. Padahal bisa saja salah dan berbahaya. Akhirnya anak bisa jadi pelaku sekaligus korban,” terangnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Martin Tobing
EditorMartin Tobing
Follow Us

Latest News Lampung

See More

Fenomena Anak Kecanduan Roblox, PPPA Balam Ingatkan Bahayanya

06 Sep 2025, 19:02 WIBNews