TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Cerita Pejuang Talasemia Lampung dan Penanganan Medisnya

Sesama pengidap talasemia dilarang menikah

kelanakota.suarasurabaya.net

Bandar Lampung, IDN Times - Tak ada yang mau terlahir sebagai pembawa penyakit. Apalagi jika penyakit tersebut tergolong penyakit serius dan tak ada obatnya. Namun faktanya, ada beberapa jenis penyakit yang disebut penyakit keturunan sehingga sejak lahir sudah menderita penyakit tersebut.

Adalah penyakit talasemia, merupakan penyakit keturunan yang harus melakukan tranfusi darah seumur hidup. Menurut catatan Perhimpunan Orang Tua Thalasemia Indonesia (POPTI) Cabang Bandar Lampung, ada sekitar 300 anak penderita talasemia. Namun itu hanya yang masuk data saja.

Berikut ini IDN Times rangkum kisah pejuang talasemia dan penjelasan dari dokter di Lampung.

1. Berjodoh dengan penderita talasemia

Ruang Diary

Mendapat jodoh penderita talasemia memang sudah menjadi pilihan Ning Sunaria. Warga Rajabasa Bandar Lampung ini sudah mengetahui bahwa calon suaminya mengidap penyakit yang tak ada obatnya selain harus melakukan transfusi darah.

"Pada saat itu orang tua suami saya udah ngasih tau kalau anaknya sakit seperti ini dan setiap bulan harus tambah darah. Ya saya bismilah aja," ungkap Ning saat ditemui di Rumah Singgah Thalasemia di Bandar Lampung, Kamis (11/3/2021).

Untuk memutus keturunan yang mengidap penyakit serupa, setelah menikah Ning langsung memeriksakan diri ke Jakarta. Beruntungnya, dia dalam kondisi normal. Saat ini dia sudah memiliki anak dan anaknya pembawa sifat. Sehingga anak tersebut kelak harus menikah dengan pasangan yang tidak mengidap penyakit tahalasemia.

"Tapi yang saya lakuin ini jangan di contoh. Anak-anak sekarang harus periksa dulu baru menikah. Karena kalau ternyata sama-sama talasemia kan bahaya," terang ibu satu anak ini.

2. Selama tiga bulan sekali harus melakukan tranfusi ke Jakarta

tgmc.com

Ning harus pulang pergi Jakarta-Lampung tiga bulan sekali dan selama lima tahun. Itu sebelum di Lampung bisa melakukan pengecekan dan tranfusi darah untuk talasemia.

Meski sudah menggunakan BPJS menurutnya, tetap saja biaya yang dikeluarkan lumayan banyak. Sekali berangkat biasanya menghabiskan sekitar Rp5 juta.

"Saya ambil jadwal tiga bulan sekali karena memikirkan biaya hidup di Jakarta kan mahal. Apalagi ke sana juga sama keluarga gak mungkin saya sama suami aja," jelasnya.

3. Dikucilkan teman sekolah

hubpages.com

Penderita talasemia lainnya adalah Gita Putri. Ia sudah divonis sejak usia tujuh tahun mengidap talasemia mayor. Namun dia sudah merasakan gejalanya pada saat Taman Kanak Kanak.

"Jadi waktu ikut aktivitas olahraga itu ngerasa pusing, pucet terus sering mimisan. Dari situlah mulai diperiksain ternyata kata dokter talasemia dan harus rutin tranfusi darah," terang Gita.

Setelah berusia 15 tahun Gita baru memahami tentang penyakit yang dideritanya. Dia sempat minder dengan teman-teman sekolahnya karena sering membawa jarum suntik.

" Waktu sekolah bahkan sempet dikucilin. Karena kita berbeda sendiri. Tapi ya ada juga yang seperti anak normal tergantung penanganan orang tuanya," tutur Gita.

4. Tak bisa menyesuaikan dengan dunia pekerjaan

www.healthxchange.sg

Dunia pekerjaan pun ternyata belum bersahabat bagi penderita talassemia. Gita terpaksa mengundurkan diri karena kesulitan membagi waktu antara jadwal tranfusi dan jadwal kerjanya.

"Sebenarnya bos gak masalah. Yang penting kalau mau izin kerjaan harus selesai dulu. Cuma kalau misal aku minta tukeran shif gitu ada aja yang bilang di anak emasin karena keseringan izin," kata Gita.

Saat ini dia memilih untuk mencoba membuka usaha sendiri. Sebab penderita talasemia memang tak bisa melakukan pekerjaan yang berat.

Baca Juga: UTD PMI Lampung Terima Donor Plasma Konvalesen, Ini Syaratnya

5. Ada tiga jenis

honestdocs.id

Menurut Kepala UTD PMI Bandar Lampung, dr Aditya M Biomed, ada tiga jenis talasemia, pertama jenis ringan, sedang dan berat.

"Kalau yang berat setiap minggu harus tranfusi. Kalau sekali tranfusi mereka perlu dua, tiga kantong artinya sebulan itu minimal ada 8-10 kantong harus kita siapkan itu setiap minggu," jelasnya.

Kemudian untuk talasemia ringan tidak perlu melakukan tranfusi sedangkan penderita thalasemia sedang harus melakukan tranfusi tiga atau empat kali dalam setahun.

6. Penderita seharusnya memiliki 10 donor asuh

Alodokter

Di tengah pandemik COVID-19 menurut dr Aditya, pasien talasemia kesulitan mencari donor darah. Secara teori memang seharusnya satu pasien talasemia memiliki 10 donor asuh yang sudah siap donor saat pasien membutuhkan.

"Konsep idealnya seperti itu. Karena kalau makin bervariasi yang donor itu makin banyak antigen yang masuk ke dalam tubuh anak itu. Jadi lama-lama gak bisa. Istilahnya ada reaksi antigen antibodi antara darah pasien dengan darah pendonor," paparnya.

Namun sangat sulit untuk menerapkan konsep tersebut. Akhirnya setiap tranfusi, pendonornya selalu ganti. Sehingga variasi antigen antibodi dalam tubuh luar biasa dan itu juga tidak dianjurkan oleh ITF (International Thalassemia Federation).

"Masalah pandemik ini stok darah gak ada akhirnya kadang-kadang itu asal. Jadi comot sana comot sini. Bahkan saking gak adanya donor akhirnya harus bayar kan kasian. Bertubi-tubilah cobaan orang tua si anak itu," beber dr Adit.

7. Penanganan bisa membuat frustasi jika tak ada pencegahan

www.vedicus.com

Pada tahun 2008 dr Aditya pernah di kirim ke Italia untuk melihat penangan talasemia di negara tersebut. Menurutnya, penanganan talasemia yang sudah terlanjur jadi tak akan pernah selesai dan membuat frustasi. Sebab penanganan talasemia bukan dilakukan setelah terjadi, melainkan pencegahan.

Menurut cerita dr Adit, di Italia pemeriksaan darah dilakukan pada anak-anak SMA. Jika mereka terdeteksi pembawa sifat maka harus diberi tanda dengan memakai gelang berwarna oranye.

"Jadi gelang itu harus dipakai seumur hidup. Kalau yang memakai gelang oranye gak boleh menikah sama orang yang memakai gelang orange," paparnya.

Pencegahan tersebut sukes hingga pada 2002 Italia tidak memiliki bayi thalasemia. "Karena itu melibatkan gereja, jadi kalau yang punya gelang itu gereja gak akan menikahkan, jadi kompak," ungkapnya.

8. Perlunya pemahaman tentang talasemia pada remaja

weheartit.com

Lebih lanjut dr Aditya menerangkan, penanganan pada masa remaja tersebut dilakukan sebab pada masa-masa itu kisah cinta yang dialami mereka belum serius dan meuju ke pernikahan.

Sehingga pengetahuan itu penting untuk ditanamkan pada mereka agar tidak ada kasus talasemia baru. Jika pemeriksaan dilakukan pada saat akan menikah menurutnya itu tidak efektif. Karena tidak mungkin seseorang akan membatalkan pernikahannya jika sudah terlanjur mencintai.

"Jadi anak-anak usia SMA itu sudah diberi pengertia nanti kalau sudah waktunya menikah jangan lupa kalau mereka pembawa sifat thalassemia jadi jangan coba-coba kenalan dekat dengan pembawa sifat talasemia," jelasnya.

Baca Juga: Imbas COVID-19 Pasien Talasemia Lampung Sulit Dapat Transfusi Darah

Berita Terkini Lainnya