TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Perempuan dan Anak Kelompok Paling Terdampak Kasus Tambang Pasir

DAMAR: Mulai dari KDRT, kekerasan gender, stunting, dan TPPO

Ilustrasi perempuan pesisir. Foto: Ibu-ibu Pulau Pasaran menjemur ikan. (IDN Times/Rohmah Mustaurida).

Bandar Lampung, IDN Times - Sejak 2017 hingga sekarang masyarakat pesisir Tulang Bawang dan Lampung Timur dilanda keresahan akibat aktivitas penambangan pasir laut hingga mengakibatkan rusaknya sumber daya laut. 

Tak hanya pada lingkungan, ternyata dampak penambangan pasir laut ini juga berdampak pada sistem perekonomian dan sosial masyarakat. Seperti cerita dari seorang nelayan sekaligus Koordinator Forum Komunitas Nelayan Rajungan Nusantara di Lampung Timur, Mizwan.

Ia menceritakan, betapa kehidupan sosial masyarakat nelayan hancur akibat dampak ditimbulkan adanya penambangan pasir. Ditambah Presiden "Jokowi" Widodo malah mengeluarkan PP Nomor 26 Tahun 2023. PP tersebut secara tidak langsung melegalkan aktivitas tambang pasir laut di Indonesia.

Baca Juga: Walhi Lampung Soroti PJ Bupati Tuba Tidak Tahu Soal Tambang Pasir 

1. Perpecahan keluarga bisa muncul karena perekonomian nelayan sulit akibat pertambangan pasir laut

Ilustrasi nelayan. (Pinterest)

Mizwan menceritakan, beberapa kisah masyarakat di kampungnya, Ada seorang nelayan tak bisa memenuhi kebutuhan rumah tangganya akibat area tangkapnya sudah tak ada ikan lagi. Area tangkap itu rusak akibat adanya penambangan pasir laut.

“Akhirnya apa? suaminya di rumah, istri dan anaknya yang tua ke luar negeri (jadi Pekerja Migran Indonesia). Suaminya di rumah ngurus anaknya yang kecil lain. Istri sama anaknya keenakan di luar negeri akhirnya gak pulang-pulang, ujung-ujungnya pecah rumah tangganya. Itu kejadian nyata dan banyak nelayan dirugikan,” katanya.

Ia mengaku, sudah banyak nelayan putus asa karena hasil tangkapnya tak bisa memenuhi kebutuhan. Akhirnya beberapa harus berprofesi ganda jadi buruh bangunan, tukang service, dan lainnya agar tetap bisa makan dan menyekolahkan anak. 

“Kalau sudah begini pemerintah bisa apa? Ngasih bantuan? Bisa cukup apa ngasih bantuan sembako? Bisa buat nyekolahkan anak dengan bantuan itu?,”tukasnya.

2. Perempuan jadi PMI karena suami bekerja nelayan tak bisa mencukupi kebutuhan

Ilustrasi TKW (radarbanyuma.co.id)

Menanggapi kasus ini, Koordinator Advokasi Kebijakan dan Pendidikan Publik LAdA Damar, Eka Tiara Chandrananda menyebutkan dalam kasus kerusakan lingkungan, perempuan dan anak pasti akan menjadi kelompok paling terdampak.

“Perempuan dan anak itu sangat rentan dengan kegiatan yang merusak lingkungan seperti penambangan pasir laut di Kabupaten Tulang Bawang dan Lampung Timur ini,” katanya, Rabu (7/6/2023).

Itu dikarenakan, semua aktivitas kerusakan lingkungan dampaknya pasti sangat luas dan merembet dari masalah satu ke masalah lainnya. Sehingga paling benar adalah tidak melakukan kerusakan lingkungan dari awal.

“Kalau suaminya sudah susah cari uang mau gak mau perempuan turun. Yang tadinya bisa nih istri cari kerang di laut atau kerja apapun lah dari laut, tapi karena lautnya dirusak, akhirnya ya dia harus lebih jauh lagi mencari kebutuhan pangannya. Akhirnya ke luar negeri jadi TKW,” jelasnya.

3. Perempuan dan anak rentan kekerasan berbasis gender dan TPPO

Ilustrasi Perdagangan Perempuan (IDN Times/Mardya Shakti)

Eka mengatakan, sudah banyak kejadian seperti itu. Perempuan harus menjadi tulang punggung akibat suami tak punya pekerjaan. Tak hanya istri bahkan anak pun bisa turut mencari nafkah untuk keluarga dengan putus sekolah.

Padahal, dunia luar tersebut tentu sangat rentan bagi perempuan dan anak. Mereka akan berisiko mendapat perlakuan kekerasan berbasis gender bahkan tindak pidana perdagangan orang (TPPO).

“Artinya pemerintah juga harus melihat lebih dalam lagi nasib para perempuan dan anak-anak akibat kerusakan alam itu. Belum lagi kalau ibunya ke luar negeri, kesehatan, pendidikan anak, rumah tangga, dan lain-lain juga hilang. Akhirnya anak gak keurus dan jadi stunting,” paparnya.

Baca Juga: PP 26/2023 Bikin Nelayan Lamtim dan Tuba Resah, Konflik 2017 Terulang?

Berita Terkini Lainnya