PP 26/2023 Bikin Nelayan Lamtim dan Tuba Resah, Konflik 2017 Terulang?

Tak cuma berdampak ekonomi dan lingkungan, tapi juga sosial

Bandar Lampung, IDN Times - Masyarakat pesisir Kabupaten Tulang Bawang dan Lampung Timur dilanda keresahan setelah munculnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.

Larangan ekspor pasir laut dalam Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 33 Tahun 2002 kini dicabut dan digantikan dengan PP terbaru itu. Peraturan itu seolah mengulang masa kelam konflik akibat penambangan pasir laut di Lampung Timur dan Tulang Bawang 2017 lalu.

Sukardi, salah seorang nelayan di Kampung Kuala Teladas Kabupaten Tulang Bawang menyampaikan, aktivitas penambangan pasir laut di wilayah kampungnya tersebut berusaha membohongi publik dengan kedok persiapan alur pelayaran.

“Kita mau dibohongi. Katanya ingin buat pelabuhan besar. Padahal jalan saja gak ada. Kampung untuk aktivitas niaga juga gak ada di sana. Mereka malah mengeruk-keruk pasir di dalam yang jelas merugikan lingkungan. Masalahnya itu wilayah tangkap nelayan,” kata Sukardi dalam Diskusi PP 26/2023 Ancaman terhadap Keberlanjutan Lingkungan Pesisir, Selasa (6/6/2023).

1. Tak hanya lingkungan dan ekonomi, dampak penambangan pasir laut bisa memecah persatuan masyarakat setempat

PP 26/2023 Bikin Nelayan Lamtim dan Tuba Resah, Konflik 2017 Terulang?Ilustrasi penambangan pasir laut. (Mediatani)

Sukardi menceritakan, ada tiga dampak signifikan dari aksi penambangan pasir laut di pesisir Lampung yakni dampak lingkungan, ekonomi, dan sosial. Dari segi lingkungan tentu sumber daya laut akan terganggu sehingga otomatis membuat perekonomian masyarakat terhambat. Tangkapan nelayan menjadi berkurang.

Dampak sosialnya nelayan mengalami perubahan mata pencaharian. Meski ia hanya memiliki kemampuan untuk melaut mau tak mau harus jadi buruh bangunan juga, dan pekerjaan lain. Itu karena dengan jadi nelayan saja tak kan cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari.

“Kampung yang dulu sosialisasinya tinggi seperti sering duduk bareng, ngobrol, sekarang tidak terjadi lagi. Karena efek kegiatan tambang itu jadi terbagi kubu pro dan kontra. Yang kontra ini yang sudah mengerti tentang dampak tambang pasir ini,” jelasnya.

Hal senada pun disampaikan Derianto seorang nelayan di Desa Margasari Lampung Timur. Wilayahnya pernah menjadi tambang pasir pada 2017 silam hingga pecah konflik dan kriminalisasi di sana. Ia benar-benar merasakan secara nyata bagaimana nelayan yang dulu cukup memenuhi kebutuhan dari laut saja kini harus berprofesi ganda.

“Pemerintah bisa jamin apa kalau misalnya nanti terjadi bencana akibat aktivitas ini lalu banyak korban melayang. Bisa mengembalikan nyawa yang hilang? Kami cuma takut, kami saja yang sekarang sudah menerima dampaknya. Apalagi anak cucu kami beberapa tahun ke depan?” ujarnya.

Baca Juga: SK Tambang Pasir di Pantai Timur Lampung Bisa Dibawa Ke Jalur Hukum

2. PP No 26 Tahun 2023 bertabrakan dengan 5 program utama DKP Provinsi Lampung

PP 26/2023 Bikin Nelayan Lamtim dan Tuba Resah, Konflik 2017 Terulang?Diskusi publik PP 26/2023 Ancaman terhadap Keberlanjutan Lingkungan Pesisir. (IDN Times/Rohmah Mustaurida)

Menanggapi hal ini, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung, Sumaindra Jarwadi mengatakan, terbitnya PP Nomor 26 Tahun 2023 ini menjadi lucu. Itu karena bertabrakan dengan program kementerian untuk sumber daya pesisir dan laut.

Diketahui ada lima program dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung atas program kementerian tersebut yakni penambahan kawasan konservasi sebanyak 30 persen, penangkapan ikan terukur (dibatasi dan tidak memakai alat tangkap berbahaya untuk ekosistem laut), pembersihan laut dari sampah plastik, budi daya kelautan, dan pengawasan sumber daya kelautan.

“PP itu jadi menggambarkan bagaimana perlindungan negara terhadap lingkungan hidup Indonesia. Mereka mengkampanyekan lingkungan hidup tapi juga melakukan kebijakan merusak lingkungan hidup,” katanya.

Sumaindra melanjutkan, sudah menjadi rahasia umum ada pihak diuntungkan dalam proses ini. Namun pemerintah mengelak dan mengatakan berpihak pada rakyat. Padahal sebanyak 5 izin penambangan pasir laut di Lampung pada 2017 lalu semuanya berkonfik dengan masyarakat.

“Waktu konflik itu pemerintah ngapain? Mereka yang melegitimasi, memberi izin penambang itu, melepaskan juga, tapi saat kerugiannya terasa ke nelayan, pemerintah hanya melihat saja,” ujarnya.

3. DKP harus hati-hati karena bisa jadi perisai pihak-pihak tak bertanggung jawab

PP 26/2023 Bikin Nelayan Lamtim dan Tuba Resah, Konflik 2017 Terulang?Ilustasi pesisir Lampung. Pesisir Pulau Pasaran Bandar Lampung. (IDN Times/Rohmah Mustaurida).

Manajer Advokasi dan Kampanye Walhi Lampung, Edi Santoso mengatakan, banyaknya kerugian dan dampak negatif ini, Walhi menolak adanya PP No 26 Tahun 2023 tersebut.

“Kami juga meminta agar Pemerintah Provinsi Lampung berupaya agar adanya pencabutan PP ini agar tidak ada dampak bakal terjadi di kemudian hari. Karena judulnya mungkin hanya sedimentasi, tapi di bab 4 pasal 9 itu jelas disebutkan tambang pasir,” katanya.

Ia juga menyebutkan, dalam PP tersebut disebutkan peruntukan “sedimentasi” tersebut untuk reklamasi dalam negeri, pemerintahan, sarana prasarana pelaku usaha, dan bisa diekspor ke luar negeri selama kebutuhan dalam negeri terpenuhi.

Direktur Mitra Bentala, Rizani Ahmad melanjutkan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung harus berhati-hati atas pihak-pihak mau memanfaatkan hal ini namun berlindung pada perisai DKP.

“DKP bisa jadi bumper pihak-pihak yang ingin memanfaatkan ini hati-hati. Karena apa, izinnya semua ada di DKP. Jadi kalau ada apa-apa pasti yang ketempuhan DKP. Makanya DKP harus konsisten berpihak pada masyarakat, bagaimanapun hasil akhirnya harus tetap di sisi nelayan,” tambahnya.

4. Semua dinas kelautan dan perikanan se-Provinsi Lampung akan buat pernyataan penolakan PP tersebut

PP 26/2023 Bikin Nelayan Lamtim dan Tuba Resah, Konflik 2017 Terulang?Nelayan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Lempasing, Telukbetung Timur, Kota Bandar Lampung mulai mengeluhkan kelangkaan stok BBM solar sepekan terakhir. (IDN Times/Tama Yudha Wiguna)

Menanggapi hal ini, Kepada Bidang Pengelolaan Ruang Laut Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung, Sadariah mengatakan, hingga saat ini 5 program konservasi sumber daya pesisir dan laut tersebut masih bergulir.

Semua dinas kelautan dan perikanan se-Provinsi Lampung pun berada disuara menolak PP No 26 Tahun 2023. Namun ia mengaku saat ini pihaknya masih akan melihat peraturan turunan dari PP tersebut yakni peraturan menteri yang saat ini belum diterbitkan.

“Karena PP itu belum tentu akan dijalankan kok. Kalau ada penolakan mudah-mudahan akan direspon pusat. Saat ini juga kita masih menunggu seperti apa itu permen KP atas pelaksanaan PP terserbut,” ujarnya.

Sadariah menyatakan belum bisa merespon bagaimana ke depannya karena pihaknya masih menunggu pengaturan secara teknis. “Kalau nantinya PP ini berseberangan dengan program konservasi kawasan pesisir Lampung. Kami antar dinas juga berencana untuk berkumpul dan membuat pernyataan penolakan ini,” jelasnya.

Baca Juga: Korporat Stockpile Bungkam Protes Warga dengan Beri Sembako dan Kerja

Topik:

  • Rohmah Mustaurida
  • Martin Tobing

Berita Terkini Lainnya