TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Alasan Sulitnya Merealisasi Program Adaptasi Perubahan Iklim di Desa

Lampung Timur jadi salah satu daerah rentan perubahan iklim

Ilustrasi bawang merah. (IDN Times/Rohmah Mustaurida)

Lampung Timur, IDN Times - Polemik dampak perubahan iklim terhadap bidang pertanian masih menjadi isu paling umum. Namun juga sulit terpecahkan hingga saat ini, khususnya di Lampung.

Hal itu disampaikan Dosen Agronomi Universitas Lampung, Paul Benyamin Timotiwu dalam FGD Kondisi Iklim Saat Ini dan Proyeksi Masa Depan bersama YKWS dan Pokja Adaptasi Perubahan Iklim (API) di Sukadana, Lampung Timur, Kamis (13/4/2023).

Ia mengatakan, perubahan iklim ini tidak hanya menjadi isu nasional saja tapi juga sudah menjadi masalah dunia. Bahkan masuk ke dalam SDG’s (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan).

“Kaitannya di pertanian sendiri. Kami pengin dari masing-masing daerah di Lampung itu punya satu hal yang ditonjolkan. Seperti di Mesuji misalnya, di sana komoditasnya bawang merah dan sudah cocok sama dengan kondisi klimatologisnya,” kata Paul.

Baca Juga: Kapolsek di Lampung Timur Tabrakan dengan Pemotor, 1 Korban Meninggal

1. Alasan sulitnya merealisasikan program adaptasi perubahan iklim di desa

FGD Kondisi Iklim saat ini dan Proyeksi Masa Depan oleh Yayasan Konservasi Way Seputih di Sukadana, Lampung Timur. (IDN Times/Istimewa)

Menanggapi hal tersebut, Pendamping Proklim Desa Tegalyoso, Eksas Yulianto mengatakan, ternyata masalah pertanian di desa tak sesederhana kelihatannya. Ia menjelaskan, justru sebagian besar pamong tingkat desa sudah memiliki pemahaman terkait problematika tersebut.

“Jadi mereka juga sudah paham terkait ini, sehingga desa berencanalah membuat anggaran untuk kegiatan adaptasi perubahan iklim. Tapi nyatanya tidak bisa terlaksana, karena ternyata programnya dicoret oleh petugas verifikator dan diminta untuk diganti,” ujarnya.

Sehingga Eksas menilai kurangnya pengetahuan tentang perubahan iklim di tingkat verifikator juga bisa memengaruhi pelaksanaan program adaptasi perubahan iklim khususnya dibidang pertanian di daerah-daerah.

Gapoktan Desa Tulus Rejo, Tri Wahono menambahkan, permasalahan lain di tingkat tapak adalah pengetahuan petani mengenai perubahan iklim dan bagaimana cara meresponsnya.

2. Petani wajib punya aplikasi AGROPED

Ilustrasi petani. (IDN Times/Rohmah Mustaurida)

Meski tak menjawab perihal petugas verifikator, Paul segera mengenalkan aplikasi AGROPED kepada gapoktan yang hadir pada saat FGD digelar. Itu untuk menjawab masih kurangnya pengetahuan petani soal perubahan iklim dan cara mengatasinya.

“Aplikasi ini kami buat untuk petani. Di sini ada data iklim secara lengkap. Aplikasi ini juga pakai maps, jadi data BMKG akan langsung terdeteksi sesuai lokasinya. Di sini juga ada harga petani, harga pasar yang bisa jadi referensi bapak ibu jual padi. Jadi kalau mau jual gabah, lihat dulu update harganya di sini,” katanya.

Paul menyampaikan, aplikasi tersebut sudah ada di Playstore dan selalu diupdate setiap hari sehingga petani tak akan mendapatkan informasi basi. Selain itu ada fitur chat untuk melakukan konsultasi dari petani atau penyuluh kepada para ahli di bidangnya.

“Pertanyaannya juga bersifat terbuka, oleh ekspert ini akan dijawab dan dipost secara publik. Sehingga petani lain juga bisa baca jawaban itu dan dijadikan pembelajaran,” imbuhnya.

3. Lampung Timur masuk kategori daerah rentan perubahan iklim

FGD Kondisi Iklim saat ini dan Proyeksi Masa Depan oleh Yayasan Konservasi Way Seputih di Sukadana, Lampung Timur. (IDN Times/Istimewa)

Kepala Stasiun Klimatologi BMKG Pesawaran, Indra Purna mengatakan, sebagai penyedia informasi terkait iklim, pihaknya sangat terbuka dengan kolaborasi bersama Pokja API Lampung Timur untuk memberikan informasi terkini.

“Lampung ini sebenarnya merupakan salah satu daerah yang rentan terkena dampak perubahan iklim. Makanya kami selalu melakukan literasi perubahan iklim. Kalau tahun lalu, kami baru salurkan itu ke Bandar Lampung. Sekarang, dengan adanya informasi ini (Pokja API), nanti kita bisa arahkan ke sini,” katanya.

Berhubungan dengan iklim ini, Plt Kepala Dinas Lingkungan Hidup Lampung Timur, Maidasuri menambahkan, salah satu dampak perubahan iklim yaitu berubahnya pola musim dan cuaca ekstrem seperti banjir, tanah longsor, dan kekeringan memengaruhi sektor pertanian, kesehatan manusia, dan peningkatan risiko bencana.

“Kalau dari analisa data BPS tahun 2003-2022, kecenderungan tren curah hujan di Kabupaten Lampung Timur itu mengalami peningkatan dengan rata-rata curah hujan 2003 sebesar 152,12 mm, meningkat di 2021 mencapai 201,75 mm. Menurut data SIDIK KLHK, ada sembilan desa masuk kategori sangat rentan dampak perubahan iklim di Kabupaten Lampung Timur,” paparnya.

Baca Juga: Stockpile Batu Bara Menjamur di Lampung, Ada Potensi Bahaya!

Berita Terkini Lainnya