Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

5 Logical Fallacy Secara Tidak Sadar Sering Dilakukan

ilustrasi lelah (pexels.com/Kaboompics)
ilustrasi lelah (pexels.com/Kaboompics)
Intinya sih...
  • Confirmation bias: Cari informasi yang mendukung keyakinan, abaikan yang bertentangan. Baca sumber berita dengan perspektif berbeda untuk menyeimbangkan informasi.
  • Hasty Generalization: Tarik kesimpulan umum dari contoh terbatas. Selalu pertanyakan sampel yang cukup untuk membuat kesimpulan.
  • Post Hoc Fallacy: Asumsi A menyebabkan B karena terjadi setelah A. Selalu cari bukti hubungan sebab-akibat yang lebih kuat.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Pernah gak sih merasa yakin banget sama pendapat kita, tapi pas dipikirkan lagi ternyata argumennya gak terlalu kuat? Jangan khawatir, kamu gak sendirian!

Sebagai manusia, punya kecenderungan untuk jatuh ke dalam perangkap logical fallacy atau kesalahan logika tanpa disadari. Di era media sosial seperti sekarang, logical fallacy jadi semakin mudah menyebar.

Kita sering membagikan opini, berdebat, atau bahkan meyakinkan orang lain dengan argumen yang sebenarnya punya celah logika. Lebih mengkhawatirkan, kebiasaan ini bisa memengaruhi cara mengambil keputusan sehari-hari.

Yuk, kenali lima logical fallacy yang tanpa sadar sering dilakukan dalam kehidupan!

1. Confirmation Bias, hanya percaya informasi sesuai keyakinan

ilustrasi bekerja (pexels.com/MART PRODUCTION)
ilustrasi bekerja (pexels.com/MART PRODUCTION)

Confirmation bias terjadi ketika cenderung mencari, mengingat, dan mempercayai informasi yang mendukung keyakinan, sambil mengabaikan bukti yang bertentangan. Misalnya, kamu mungkin hanya membaca artikel berita dari sumber yang sesuai dengan pandangan politikmu, atau hanya mengingat testimoni positif tentang produk favoritmu.

Kita semua melakukan ini hampir setiap hari tanpa sadar. Saat scrolling timeline media sosial, lebih cenderung mengklik dan membagikan konten mengkonfirmasi apa yang sudah diyakini.

Padahal, untuk mendapatkan gambaran yang utuh tentang suatu isu, perlu mempertimbangkan berbagai sudut pandang, termasuk yang bertentangan dengan keyakinan kita. Mulai sekarang, coba sesekali membaca sumber berita dengan perspektif berbeda untuk menyeimbangkan informasi.

2. Hasty Generalization, menarik kesimpulan dari sampel terlalu kecil

ilustrasi lelah (pexels.com/Tima Miroshnichenko)
ilustrasi lelah (pexels.com/Tima Miroshnichenko)

Hasty Generalization adalah ketika menarik kesimpulan umum berdasarkan contoh atau pengalaman yang sangat terbatas. Contohnya, pernah sekali naik ojek online yang ugal-ugalan, langsung menyimpulkan "semua driver ojek online ngebut dan bahaya". Atau bertemu satu orang dari suatu daerah yang tidak ramah, lalu beranggapan semua orang dari daerah tersebut pasti seperti itu.

Fallacy ini sangat mudah terjadi karena otak kita memang dirancang untuk mencari pola dan membuat generalisasi untuk menghemat energi. Tapi saat menarik kesimpulan terlalu cepat, kita bisa membentuk prasangka yang gak adil dan membuat keputusan yang keliru.

Cobalah untuk selalu bertanya pada diri sendiri: "Apakah sampel yang aku punya sudah cukup untuk membuat kesimpulan ini?" atau "Apa ada faktor lain yang mungkin memengaruhi situasi ini?"

3. Post Hoc Fallacy, mengira urutan kejadian berarti sebab-akibat

ilustrasi bekerja (pexels.com/Kaboompics)
ilustrasi bekerja (pexels.com/Kaboompics)

Post Hoc Fallacy (atau lengkapnya Post Hoc Ergo Propter Hoc) adalah kesalahan logika saat mengasumsikan karena kejadian B terjadi setelah kejadian A, maka A pasti menyebabkan B. Misalnya, kamu minum jamu, lalu esoknya flu kamu sembuh. Kamu langsung menyimpulkan jamunya yang menyembuhkan, padahal mungkin saja tubuhmu memang sudah waktunya pulih.

Kita sering banget terjebak dengan fallacy ini dalam kehidupan sehari-hari. Baru download aplikasi penghemat baterai, terus baterai HP awet seharian. Langsung mikir aplikasinya keren, padahal mungkin kamu memang gak banyak pakai HP hari itu.

Atau percaya sama ritual "keberuntungan" sebelum ujian karena pernah sukses sekali waktu pakai baju tertentu. Untuk menghindari Post Hoc Fallacy, cobalah selalu mencari bukti hubungan sebab-akibat yang lebih kuat, gak cuma berdasarkan urutan waktu aja.

4. Appeal to Authority, menerima pendapat hanya karena statusnya

ilustrasi bekerja (pexels.com/Mikhail Nilov)
ilustrasi bekerja (pexels.com/Mikhail Nilov)

Appeal to Authority terjadi ketika menerima suatu pernyataan sebagai kebenaran hanya karena diucapkan oleh seseorang yang dianggap otoritas atau ahli, bahkan dalam bidang yang bukan keahliannya. Contohnya, percaya saran kesehatan dari selebritis (bukan dokter), atau menerima teori ekonomi dari pemain sepak bola terkenal hanya karena mereka populer.

Kesalahan logika ini terjadi karena kita punya kecenderungan alami untuk menghormati figur otoritas dan mencari jalan pintas dalam memproses informasi. Lebih mudah percaya kata orang terkenal daripada mengecek faktanya sendiri, kan?

Tapi ingat, keahlian di satu bidang gak otomatis membuat seseorang jadi ahli di bidang lain. Artis yang sukses belum tentu paham nutrisi, dan atlet terkenal belum tentu mengerti investasi. Mulailah mempertanyakan: "Apakah orang ini benar-benar punya keahlian di bidang yang dibicarakan?"

5. Slippery Slope, berpikir satu langkah kecil akan berujung bencana

ilustrasi teman (pexels.com/Tim Douglas)
ilustrasi teman (pexels.com/Tim Douglas)

Slippery Slope Fallacy terjadi ketika kita berpikir satu kejadian kecil akan memicu rangkaian peristiwa yang berujung pada hasil yang ekstrem, padahal gak ada bukti kuat untuk hubungan sebab-akibat tersebut. Contohnya, "Kalau kamu izinkan anakmu main game satu jam, nanti dia akan kecanduan, nilai sekolahnya turun, gak bisa kuliah, dan masa depannya hancur."

Kita sering menggunakan fallacy ini untuk menakut-nakuti diri sendiri atau orang lain agar gak mengambil suatu keputusan. "Kalau sekali telat bayar cicilan, nanti bisa-bisa rumah disita!" atau "Kalau sekali bohong ke pacar, lama-lama hubungan pasti berakhir."

Padahal, dalam kenyataannya, satu langkah kecil gak selalu berujung pada konsekuensi ekstrem yang dibayangkan. Kita perlu realistis melihat hubungan sebab-akibat dan gak membesar-besarkan risiko yang belum tentu terjadi.

Jadi, mulai sekarang, coba deh lebih perhatikan pola pikir sendiri. Tanyakan pada dirimu: "Apakah kesimpulan yang aku ambil benar-benar didukung oleh bukti yang kuat?" atau "Apa mungkin aku terjebak dalam logical fallacy?" Dengan kebiasaan mengecek logika kita sendiri, kita bisa jadi pemikir yang lebih tajam dan gak mudah terjebak dalam kesalahan berpikir yang merugikan. Semoga bermanfaat!

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Martin Tobing
EditorMartin Tobing
Follow Us