Harimau Bakas Mati, Aktivis Satwa Desak Evaluasi Prosedur Translokasi

- Prosedur translokasi harimau perlu evaluasi dan perencanaan teknis yang matang agar aman bagi satwa dan manusia.
- Dorong penyusunan petunjuk teknis operasional terkait penanganan harimau agresif dan pelatihan ulang bagi personel konservasi.
- Konflik antara manusia dan satwa liar dipicu oleh penyempitan habitat, aktivitas manusia di daerah jelajah, dan perburuan satwa liar.
Bandar Lampung, IDN Times - NGO Forum HarimauKita mendesak Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) hingga Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (Ditjen KSDAE) mengevaluasi prosedur translokasi atau kegiatan memindahkan satwa dari dan ke dalam habitat dan atau luar habitat.
Desakan itu muncul seiring kasus kematian Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) jantan "Bakas" mati di Lembaga Konservasi Lembah Hijau Lampung, setelah dievakuasi usai tertangkap kandang jebak di Dusun Kali Pasir, Pekon Sukabumi, Kecamatan Batu Brak, Kabupaten Lampung Barat.
"Kami merekomendasikan evaluasi prosedur translokasi oleh BKSDA dan Ditjen KSDAE, untuk memastikan setiap langkah sesuai dengan Permen LHK Nomor P.17/2018 tentang Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Satwa Liar," ujar Ketua Forum HarimauKita, Iding Achmad Haidir, Rabu (12/11/2025).
1. Pentingnya perencanaan dan pertimbangan teknis hingga persiapan detail

Iding melanjutkan, proses pemindahan satwa khususnya harimau perlu perencanaan dengan pertimbangan teknis dan persiapan detail dan tidak bisa dilakukan secara mendadak, agar aman bagi satwa atau manusia.
"Forum HarimauKita menilai, kasus Bakas mencerminkan tantangan serius dalam tata laksana penanganan konflik dan translokasi harimau liar di Indonesia. Kematian satwa ini seharusnya menjadi momentum reflektif, bukan sekadar insiden teknis," tegasnya.
2. Dorong penyusunan juknis operasional

Selain mendorong evaluasi prosedur translokasi, Iding menambahkan, instansi maupun lembaga-lembaga terkait perlu menyusun petunjuk teknis (Juknis) turunan lebih terhadap operasional terkait penanganan harimau agresif.
Termasuk panduan penanganan pascajerat, dan pemindahan antar lembaga konservasi. Menurutnya, pelatihan ulang bagi personel WRU, PPS, dan mitra konservasi mengenai aspek kesejahteraan satwa (animal welfare), pengendalian stres satwa, serta koordinasi antar lembaga.
"Transparansi publik dan pembelajaran terbuka dari setiap insiden penanganan satwa dilindungi perlu dikedepankan, untuk memperkuat kepercayaan publik dan memperkaya basis pengetahuan konservasi nasional," ucapnya.
3. Konflik dipicu penyempitan habitat satwa

Iding menyebutkan, penanganan akar permasalahan dan faktor penyebab konflik antara manusia dengan satwa liar di lapangan bermula pada penyempitan habitat, aktivitas manusia di daerah jelajah, dan perburuan satwa liar.
"Khusus Bakas ini dugaan terbesar penyebab kematian, karena ada perilaku pembalasan sebab diduga pernah terjerat sebanyak 2 kali," katanya.
4. Pedoman pelajaran kolektif

Sejalan dengan sederet refleksi dan rekomendasi tersebut, Forum HarimauKita menegaskan, setiap individu harimau ditangani adalah aset genetik dan simbol moral perjuangan konservasi bangsa dimiliki segenap masyarakat Indonesia.
Kasus kematian harimau ini harus menjadi pelajaran kolektif, agar setiap tindakan penyelamatan satwa dilakukan dengan kehati-hatian, keterlibatan ahli, dan rasa tanggung jawab yang tinggi.
"Kematian seekor harimau liar bukan sekadar kehilangan biologis, tetapi juga cermin dari sejauh mana kita mampu menyeimbangkan keselamatan manusia dengan martabat satwa yang kita lindungi," imbuh Iding.
















