TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Mengenal Teknokra Unila, Pers Kampus Lahir Sejak Orde Baru 

Kerap alami intimidasi bahkan meninggal saat liputan

Kumpulan sampul tabloid Teknokra (IDN Times/Silviana)

Bandar Lampung, IDN Times - Pers mahasiswa atau pers kampus menjadi wadah belajar jurnalistik bagi mahasiswa yang tak harus dari jurusan jurnalistik. Mahasiswa yang bergabung dalam pers kampus, biasanya lebih dari sekadar tempat belajar.

Pers mahasiswa juga disebut-sebut sebagai garda terdepan dalam menyuarakan kebenaran. Sebab belum memiliki keterikatan khusus dengan instansi tertentu.  Kali ini IDN Times mengulik salah satu pers mahasiswa di Universitas Lampung (Unila) yakni Unit Kegiatan Penerbitan Mahasiswa (UKPM) Teknokra.

Itu adalah media kampus tertua di Sumatera bahkan di Indonesia. Selama 44 tahun UKPM Teknokra tak hanya meliput peristiwa di sekitar kampus saja, tapi peristiwa besar dan bersejarah di Lampung pun Teknokra andil di dalamnya.

1. Teknokra pernah beberapa kali mati suri

Anggota Teknokra bersama alummi saat Pra Musyawarah Besar 2019 (IDN Times/Istimewa)

Teknokra lahir untuk pertama kalinya 1975. Ketika itu Teknokra masih di bawah naungan Dewan Mahasiswa (Dema) Unila dan menjadi media humas dan komunikasi antar mahasiswa Unila.

Namun kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus dan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) digulirkan pemerintah Orde baru pada 1978 seakan menutup kreativitas dan keleluasaan mahasiswa dalam bersikap kritis. Bahkan kebijakan tersebut membuat koran kampus ini mengalami kematiannya yang pertama.

Selama empat tahun mengalami mati suri, yaitu selama rentang 1978-1981, Teknokra bangkit kembali dengan sedikit perubahan nama yaitu Teknokrat. Namun kebangkitan tersebut tak berlangsung lama, akibat proses kaderisasi dan alih generasi yang tersendat. Sehingga pada pertengahan 1983 Teknokrat berhenti terbit.

Baca Juga: Lima Fasilitas Unila Bisa Dinikmati Publik, Mana Kamu Paling Suka?

2. Kelahiran Teknokra ketiga kalinya

HUT Teknokra ke 42 (IDN Times/Istimewa)

Tapi namanya juga mahasiswa, tak kenal takut dan pantang menyerah. Muncul kembali orang-orang baru dari berbagai jurusan, bersama pendiri awal Teknokra untuk menerbitkan media kampus bernama Cendikia. Itu pada tahun 1985, mulai terbit secara kontinu meski tanpa Surat Izin Terbit (SIT).

Sementara aturan pemerintah melalui Departemen Penerangan saat itu semua penerbit pers termasuk media kampus harus memiliki SIT. Akhirnya teguran itu datang dari Jakarta dan membuat Cendikia berhenti terbit.

Namun keberuntungan kembali berpihak pada Teknokra. Ternyata para pendiri Teknokra pada 1975 sudah memikirkan masa depan Teknokra dan langsung mendaftarkan SIT yang terbit pada 1 Maret 1977 dengan nama Teknokra.

Tanggal tersebut yang akhirnya menjadi hari jadi Teknokra dan Teknokra kembali "lahir" yang ketiga kalinya dan melahirkan banyak karya. 

3. Prinsip pers alternatif membuat Teknokra tak hanya mengangkat isu seputar kampus

IDN Times/Istimewa

Fadilasari, alumni Teknokra dalam buku Jejak Langkah Pers Mahasiswa, mengatakan, isu-isu eksternal kerap menjadi laporan utama tabloid Teknokra. Seperti prostitusi di Bandar Lampung, pembredelan tiga media massa besar saat itu, Tempo, Editor dan Detik. Bahkan Teknokra sempat menunda waktu terbit agar bisa memuat berita tentang Soeharto lengser.  

Dalam meliput isu-isu tersebut, jurnalis Teknokra juga kerap mendapat intimdasi dari pihak terkait yang merasa dipojokkan. Ia mengatakan, pada 1995 saat masih berstatus  magang dia bahkan sudah ditugaskan meliput kejadian penggusuran di Kelurahan Pidada, Panjang, Bandar Lampungn yang menuai kontroversi dari pihak pemerintah dan masyarakat. 

Bahkan beberapa tulisannya pun kerap membuat pihak rekorat berang seperti laporan utama yang berjudul “Kelompok Kritis Musuh Pemerintah”.

“Tulisan itu ternyata membuat pejabat rektorat berang bukan kepalang. Tulisan yang ku buat dengan lembur beberapa malam di Teknokra itu apa boleh buat harus diberangus dan dilarang terbit. Lalu kami sepakat untuk menghitamkan bagian laporan utama,” kenang Fadila sapaan akrabnya.

Eks komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Bandar Lampung ini menambahkan, ia sempat tak digolongkan sebagai perempuan oleh teman-temannya. Pada saat meliput kejadian Talangsari yang pernah diberengus Tentara pada tahun 1989, seluruh anggota sepakat yang berangkat meliput hanya laki-laki saja.

Namun Fadila turut ikut dalam rombongan tersebut. “Tadinya aku tidak terima dianggap laki-laki. Tapi lama-lama aku tidak peduli. Laki atau perempuan sama saja. Yang penting bisa  menghasilkan karya terbaik,” kata dia.

4. Tragedi berdarah

Sisa-sisa dokumentasi Alm Saidatul Fitriah saat meliput demonstrasi(IDN Times/Silviana)

Masa terkelam Teknokra terjadi pada 1999. Saat itu terjadi demonstrasi besar di dekat Universitas Bandar Lampung (UBL) tepatnya di depan Kantor Koramil Labuhan Ratu yang saat ini sudah menjadi kantor kelurahan.

Para demonstran yang merusak papan nama Koramil menimbulkan kemarahan anggota Koramil. Fotografer Teknokra, Saidatul Fitria besama dua anggota magang berangkat meliput peristiwa tersebut.

Atul sapaan akrabnya mengabadikan peristiwa tersebut menggunakan kamera. Namun suasana semakin tak terkendalikan hingga mahasiswa masuk ke kampus UBL karena aparat menembakkan  gas air mata, peluru karet dan peluru tajam.

Pada saat itu Atul mendapat pukulan pada bagian kepalanya hingga ambruk tak berdaya. Atul kemudian dilarikan ke Rumah Sakit Advent dan koma selama lima hari. Atul akhirnya meninggal pada 3 Oktober 1999.

Baca Juga: Akademisi Unila Ciptakan Keyboard Aksara Lampung Fisik dan Digital

Berita Terkini Lainnya