TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Kebebasan Berpendapat di Lampung Jadi Sorotan Nasional

Sepanjang 2020, sembilan jurnalis mengalami intimidasi

Ilustrasi Kebebasan Bersuara (IDN Times/Arief Rahmat)

Bandar Lampung, IDN Times - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Lampung mencatat ada sembilan jurnalis yang mengalami intimidasi yang dilakukan oleh negara dan yang tidak diketahui terduga pelakunya selama masa pandemik COVID-19 atau hingga November 2020.

Data itu disampaikan LBH Pers Lampung saat mengadakan diskusi bertajuk 'Menakar kebebasan berpendapat di Bumi Ruwai Jurai' di  Emersia Hotal & Resort Bandar Lampung, Jumat (27/11/2020).

1. Video liputan jurnalis televisi diminta dihapus

Sejumlah jurnalis melakukan aksi diam mengecam aksi kekerasan kepada jurnalis. IDN Times/ Alfi Ramadana

Dari 9 jurnalis yang menerima intimidasi, ada jurnalis RMOL Lampung yang diintimidasi secara verbal dan gender oleh Gubernur Lampung pada 3 Maret 2020. Kala itu, jurnalis sedang tugas liputan dan mengajukan pertanyaan. Tapi gubernur tidak menjawab pertanyaan yang diajukan, justru menyerang fisik jurnalis (argumnetum ad hominem).

Kasus lainnya adalah dua Jurnalis TEKNOKRA Universitas Lampung (Unila) mengalami intimidasi. Akun aplikasi Gojek dan WhatsApp mereka diretas, hingga dihubungi via telepon sebanyak 12 kali oleh orang yang tidak dikenal. Intimidasi dan teror tersebut dikarenakan terkait akan diselenggarakannya diskusi Pelanggaran HAM yang ada di Papua pada 11 Juni 2020.

Ketua AJI Bandar Lampung pada saat melakukan advokasi terkait intimidasi, ancaman, dan teror terhadap dua jurnalis TEKNOKRA mendapatkan intimidasi dengan diretasnya nomor handphone dan aplikasi WhatsApp pada 11 Juni 2020.

Kasus lainnya adalah empat Jurnalis mengalami intimidasi saat peliputan aksi #mositidakpercaya penolakan UU Ciptak Kerja (Omnibuslaw). Rinciannya, pada 7 September 2020 jurnalis lampungsegalow.co.id dan jurnalis Lampungone.com merekam tindakan aparat yang melakukan pemulukulan terhadap peserta aksi, kemudian polisi membentak dan meminta agar video tersebut dihapus.

Keesokan harinya  8 September 2020 jurnalis Radar Lampung Radio dan jurnalis Metro TV mengalami intimidasi ketika meliput aksi sweeping anggota kepolisian. Dua jurnalis itu sedang bertugas  mengambil video penyisiran sejumlah titik, di mana aparat menghalau pelajar yang hendak mengikuti aksi di Bundaran Tugu Adipura.

Kedua jurnalis itu kemudian dipaksa oknum polisi menghapus foto dan rekaman video aparat memukuli para siswa. Kemudian jurnalis Lampung TV pada 9 November mendapatkan intimidasi saat mewawancarai Walikota Bandar Lampung. 

Baca Juga: AJI-PWI Sayangkan Kalimat Ancaman Herman HN ke Wartawan

2. AJI sudah memproyeksikan kebebasan berpendapat di Lampung akan terganggu

IDN Times/Silviana

Catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung, pada akhir 2019 sudah memproyeksikan kebebasan berpendapat di lampung akan sedikit terganggu. Hal itu disampaikan Ketua AJI Bandar Lampung, Hendry Sihaloho, pada acara diskusi yang diadakan LBH Pers Lampung. 

"Proyeksi tersebut terbukti karena pada 2020 lembaga pers mahasiswa Teknokra Unila mengalami teror dan peretasan. Bahkan sampai ke keluarga hingga berhari-hari," ujarnya.

Hendry menambahkan, pada akhir 2019 ada pembubaran film Ku Cumbu Tubuh Indahku oleh sekolompok orang mengatasnamakan organisasi agama. Deretan kasus tersebut menurutnya, menjadi persoalan serius bagi AJI, mengingat ruang demokrasi di Lampung ini cukup aman.

"Dalam konteks demokrasi tidak ada hal senstif dalam menyampaikan pendapat. Bahkan sekalipun opininya tentang pembubaran negara. Orang bebas mengeluarkan pendapatnya," tegasnya.

3. Lampung mendapat sorotan nasional terkait kebebasan berpendapat

IDN Times/Silviana

Hendry juga menyampaikan beberapa tahun terakhir Lampung mendapat sorotan nasional. Dia menyayangkan tidak adanya tindakan dari pemerintah atau pun penegak hukum dalam menyikapi permasalahan ini.

"LBH Pers melaporkan kasus peretasan teror Teknokra ke Polda itu terjadi diskusi yang begitu alot dan ujung-ujungnya laporannya ditolak. Kemudian dialihkan menjadi pengaduan. Jadi jangan cuma beretorika saja bahwa kami mendudung kebebasan tapi tidak menunjukkan keseriusan yang konkret," tegasnya.

Menurut Hendri, jika hal ini tidak ditindak serius maka ini akan menjadi normalisasi dan mengancam kebebasan berpendapat selanjutnya. "Kita semua berpotensi mengalami itu. Inilah pentingnya ini diusut secara serius," tandasnya.

4. Kebebasan berpendapat ada aturannya

IDN Times/Silviana

Acara diskusi tersebut juga dihadiri Kasubdit Bantuan Hukum Polda Lampung AKBP Made Kartika. Ia menyampaikan, kebebasan berpendapat juga memiliki aturan. Sehingga tidak serta merta bebas begitu saja.

"Selama berpendapat itu dilakukan secara aman, tertib dan damai maka saya rasa polisi tidak ada alasan untuk melakukan pengamanan,"jelasnya.

Menurut Made, dalam melakukan unjuk rasa wajib memberitahu polisi. Supaya ada pertimbangan dari pihak kepolisian apakah unjuk rasa tersebut bisa berjalan dengan damai.

"Terkait pengamanan demo, Kepolisian punya hak untuk melakukan pengamanan,
Tapi kalau tidak bisa buktikan dalam 1 kali 24 jam maka pulangkan artinya itu salah tangkap," paparnya.

5. Pengamanan massa harus berdasarkan status yang jelas

Penandatangan fakta integritas yang dilakukan oleh narasumber diskusi (Silviana/IDN Time)

Menanggapi pernyataan Made, Direktur LBH Bandar Lampung, Chandra Muliawan mengatakan, masyarakat sipil yang akan menyampaikan pendapat di muka umum itu hanya melakukan pemberitahuan saja. Kemudian pihak kepolisian wajib menerbitkan tanda terima.

"Sehingga gak ada penolakan ketika kita menyampaikan pendapat. Kita tidak diizinkan itu nggak ada," ujarnya.

Selain itu imbuhnya,  terkait pengamanan massa aksi menurutnya harus dengan status dan kejelasan. Itu karena dalam menjaga ruang sipil yang sehat adalah soal informasi. Jangan sampai kebebasan berpendapat wujudunya adalah kekerasan.

Baca Juga: AJI-IJTI Buka Posko Pengaduan Jurnalis Alami Kekerasan Liputan Demo

Berita Terkini Lainnya