TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Cerita Millennial Lampung, Modal Nekat Ikut Indonesia Mengajar di Maluku

Mulanya Fitri tak berani jujur ke orangtua ke Maluku Utara

Fitri Wahyu Ningsih, relawan Indonesia mengajar di Kepulauan Sula Mauluku Utara (Pm.sula)

Bandar Lampung, IDN Times -  Mengabdikan diri menjadi seorang pengajar dan melakukan kegiatan sosial sudah menjadi pilihan hidup Fitri Wahyu Ningsih. Baginya hidup terasa hampa bahkan tak berguna jika harus mejalani rutinitas yang biasa-biasa saja.

Tak tanggung-tanggung, perempuan kelahiran kelahiran Pringsewu Lampung ini sudah dua kali mengabdikan diri di Indonesia bagian timur. Pertama sebagai relawan lingkungan selama satu tahun di Nusa Tenggara Timur dan yang baru saja selesai tahun ini adalah menjadi guru dari Indonesia Mengajar di Kepulauan Sula, Provinsi Maluku Utara.

Berikut kisah Fitri saat berbagi dengan IDN Times tentang perjalanannya mengabdi di Indonesia timur.

1. Mulanya tak berani jujur ke orangtua

Tak hanya mengajar di sekolah. Fitri juga aktif bersosialisasi pada masyarakat setempat (rangerfitri)

Pada saat ada pembukaan Indonesia Mengajar (IM) awal 2019 lalu, Fitri sempat ragu untuk mendaftar. Pasalnya, ia merasa sungkan meminta izin ke orangtuanya. 

Itu lantaran Fitri baru saja pulang dari NTT menjadi relawan lingkungan. Ditambah lagi statusnya sebagai anak sulung. 

Pembukaan IM pertama tak berhasil menggoyahkan hati Fitri. Dia menuruti keinginan kedua orang tuanya. Kemudian pertengahan tahun, IM kembali membuka kesempatan bagi pengajar muda yang ingin mengabdi.

Kali ini, Fitri mulai goyah. Apalagi teman-teman relawannya mulai memberi suport. "Akhirnya aku coba daftar lagi diem-diem tanpa sepengetahuan orang tua. Kalau keterima aku ambil kalau gak ya udah," kata alumni teknik Geofisika Universitas Lampung ini. Rabu (3/3/2021).

Baca Juga: Manajer Badak Lampung FC Terpapar COVID-19, Bagi Cerita Jalani Isolasi

2. Anggaran minim tapi tetap nekat

(Pm.sula)

Kabar bahagia itu pun menghampiri Fitri. Meski itu akan menjadi kabar sedih bagi kedua orangtuanya. Fitri lolos IM dan akan mengikuti pelatihan terlebih dahulu di Jakarta.

Saat itu Fitri mengaku belum berani menjawab kabar tersebut pada keluarganya. Dia bahkan berangkat ke Jakarta secara diam-diam.

Ternyata perjuangan Fitri tidak berhenti sampai pada izin orangtua saja. Biaya masih menjadi hal utama yang menjadi kendalanya.

Namun itu tak memupus semangatnya untuk bisa mengabdi ke pelosok negeri. Dia mencari pekerjaan tambahan sebagai EO acara untuk menambal keuangannya.

"Waktu itu bener-bener minim anggaran banget lah. Akhirnya temen-temen yang lain ikut bantu, Banyak hal pokoknya yang dibantu sampai aku bisa sampe Sula," katanya..

Saat pulang dari Jakarta, Fitri baru mengatakan ke orangtua diterima IM dan akan berangkat ke Sulah. Dengan berat hati orang kedua orangtua melepas kepergiannya. 

3. Bahasa jadi hal utama harus dikuasai

(rangerfitri)

Sebagai guru tentu Fitri harus menjelaskan banyak hal pada anak didiknya. Namun di awal pertemuan dia sulit menyesuaikan bahasa yang digunakan masyarakat Sula.

"Jadi mereka berbahasa Indonesia tapi versi timur. Kaya saya sudah makan jadi su makan jadi disingkat-singkatnya terbalik terbalik. Nah mereka gak paham kalau saya jelasin pake bahasa Indonesia yang biasa kita pake gini," terangnya.

Sehingga selama tiga bulan pertama Fitri beradaptasi bahasa dan makanan di wilayah setempat di sana yang didominasi karbohidrat.

"Pertama adaptasi makanan itu belajar makan banyak. Karena banyak karbo nya. Ada singkong, papeda, pisang nasi dan itu di makan semua. Karbonya banyak dan sayurnya dikit," selorohnya.

4. Menggerakkan masyarakat untuk peduli pendidikan

(Pm.sula)

Selama satu tahun lebih di Sula, tugas Fitri bukan sekadar mengajar di sekolah. Tapi juga melakukan pemberdayaan masyarakat. Seperti mendorong perubahan prilaku.

Sebab pendidikan di sana menurutnya masih sangat jauh kualitasnya dari pendidikan di kota-kota. Terlebih saat awal pandemik, belajar tatap muka dihentikan. 

Alhasil, tuntutan untuk belajar dalam jaringan menurutnya tak mungkin diterapkan di Sula dengan kondisi jaringan yang hanya ada di pantai dan tak semua murid memiliki gawai.

Padahal, menurutnya, saat pandemik ini guru dituntut lebih kreatif dan aktif. Kemudian peran orangtua juga ikut mengajari anaknya.

"Tapi dengan kondisi di mana orang tua aja ada yang gak bisa. Terus gurunya mau dateng ke rumah tapi anak-anak-baca udah ke hutan atau pantai. Jadi bener-bener gak belajar sampai mereka lupa cara baca ABC itu," paparnya.

Baca Juga: Cerita Setahun Pandemik, Klise tapi Bermakna

Berita Terkini Lainnya