3 Penyedia Jasa Peti Kemas Pelabuhan Panjang Terbukti Monopoli Harga

- KPPU memberi sanksi perintah tanpa denda kepada 3 perusahaan penyedia jasa di Pelabuhan Panjang, Bandar Lampung
- Tiga terlapor terbukti bersalah atas praktik monopoli dalam kesepakatan penetapan harga jasa depo peti kemas selama 7 bulan
- Perintah kepada Terlapor I dan II untuk tidak melakukan perjanjian penetapan harga jasa depo peti kemas di wilayah setempat
Bandar Lampung, IDN Times - Tiga terlapor perusahaan penyedia jasa di Pelabuhan Panjang, Bandar Lampung diputuskan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) bersalah atas praktik monopoli dalam kesepakatan penetapan harga penyediaan jasa depo peti kemas.
Ketiga terlapor dalam perkara persidangan ini ialah PT Java Sarana Mitra Sejati sebagai Terlapor I, PT Masaji Tatanan Kontainer Indonesia (Terlapor II), dan PT Citra Prima Container (Terlapor III). Para pihak perusahaan itu terbukti menjadi kesepakatan alias kongkalikong tersebut selama lebih kurang selama 7 bulan sejak Mei 2022 sampai November 2022.
"Dalam putusan, KPPU tidak menjatuhkan sanksi denda kepada Terlapor I, Terlapor II dan Terlapor III dengan beberapa pertimbangan, antara lain memperhatikan kelangsungan kegiatan usaha karena adanya kerugian yang dialami para Terlapor, harga yang tidak berubah sejak 2013 hingga perkara a quo diputus, dan adanya Terlapor yang keluar dari pasar dengan cara menutup cabang," ujar Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Kerja Sama pada Sekretariat Jenderal KPPU, Deswin Nur, Rabu (2/10/2024).
1. Terlapor I dan II disanksi perintah tidak melakukan perjanjian penetapan harga

Meski tanpa sanksi denda, Deswin melanjutkan, putusan atas perkara Nomor 20/KPPU-I/2023 tentang Dugaan Pelanggaran Pasal 5 Undang-Undang (UU) No. 5 Tahun 1999 terkait kesepakatan tarif penyediaan jasa depo peti kemas di pelabuhan panjang lampung tersebut tetap menjatuhkan hukuman kepada Terlapor I dan II.
Hukuman dimaksud ialah PT Java Sarana Mitra Sejati dan PT Masaji Tatanan Kontainer Indonesia, dan dua pelaku yang masih melakukan kegiatan di Pelabuhan Panjang untuk tidak melakukan perjanjian penetapan harga penyediaan jasa depo peti kemas di wilayah setempat.
"Berdasarkan fakta, penilaian, analisis, dan kesimpulan di persidangan, Majelis Komisi memutuskan bahwa Terlapor I, Terlapor II, dan Terlapor III terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999," ungkapnya.
2. Penyelidikan inisiatif KPPU melibatkan 4 terlapor

Deswin mengungkapkan, pengusutan perkara monopoli harga penyediaan jasa peti kemas ini bersumber dari inisiatif KPPU melibatkan 4 pihak terlapor, PT Java Sarana Mitra Sejati (Terlapor I), PT Masaji Tatanan Kontainer Indonesia (Terlapor II), PT Citra Prima Container (Terlapor III), dan PT Triem Daya Terminal (Terlapor IV).
Keempat terlapor merupakan pelaku usaha yang menyediakan jasa layanan penyediaan depo peti kemas di Pelabuhan Panjang, Bandar Lampung. Penyelidikan awal, KPPU menduga telah terjadi pelanggaran Pasal 5 alias penetapan harga melalui penetapan tarif batas atas dan batas bawah bagi jasa depo peti kemas yang dilakukan oleh pelaku usaha tergabung dalam Asosiasi Depo Kontainer Indonesia (ASDEKI) DPW Lampung.
"Penetapan tarif ini dilakukan melalui Surat Nomor
007/ASDEKI-LPG/III/2022 tentang Pemberlakuan Penyesuaian Tarif Batas Atas. Kesepakatan
tersebut dilaksanakan oleh Anggota ASDEKI DPW Lampung yakni, Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III, dan Terlapor IV, yang dinilai mewakili seluruh pangsa pasar penyediaan jasa depo peti kemas di Pelabuhan Panjang pada 2022," terangnya.
3. Pelaksanaan penetapan tarif tidak berjalan baik

Dari serangkaian penyelidikan tersebut, Deswin mengungkapkan, dalam proses persidangan Majelis Komisi menemukan fakta pelaksanaan kesepakatan tarif tidak berjalan baik, karena posisi tawar penyedia jasa yang lemah terhadap perusahaan pelayaran dalam hal negosiasi sebagai bisnis penunjang penyelenggaraan usaha jasa terkait dengan angkutan di perairan di Pelabuhan Panjang.
Terlebih di pasar depo peti kemas di Lampung, frekuensi barang ekspor lebih tinggi daripada barang impor sehingga menimbulkan seringnya reposisi peti kemas dari tempat lain.
"Majelis Komisi menilai pembentukan tarif pelayanan usaha jasa depo peti kemas didasarkan atas kesepakatan penyedia jasa dan pengguna jasa. Jadi merujuk pada persaingan tarif antar pelaku usaha yang saling bersaing di pasar bersangkutan," pungkasnya.
Meski demikian, Majelis Komisi menemukan adanya serangkaian pertemuan dan antar terlapor terjadi pada kurun waktu sebelum terbitnya Surat Nomor 007/ASDEKI- LPG/III/2022 tentang Pemberlakuan Penyesuaian Tarif Batas Atas. "Pascasurat tersebut, terdapat penyesuaian tarif penyediaan jasa depo peti kemas di Pelabuhan Panjang oleh para terlapor, ini menunjukkan adanya kesepakatan antar mereka. Majelis Komisi menilai kesepakatan itu ditujukan mempertahankan eksistensi para terlapor dalam industri depo peti kemas," lanjut dia.
4. Terlapor III dan IV keluar dari pasar, Terlapor I dan II pilih bertahan

Dalam praktiknya, Deswin menyebutkan, pascapenetapan harga melalui ASDEKI, Terlapor III dan Terlapor IV justru keluar dari pasar karena tidak mampu memperoleh keuntungan dari kesepakatan harga tesebut. Sedangkan Terlapor I dan Terlapor II masih bertahan karena bagian dari komitmennya dengan konsumen.
Para Terlapor dinilai tidak mampu mempertahankan kesepakatan tarif tersebut, karena tingginya permintaan refund dari konsumen yang cukup tinggi dan harus dipenuhi untuk bisa bertahan di pasar karena kuatnya daya tawar pengguna
jasa.
"Dalam hal tersebut, Majelis Komisi menilai kesepakatan tarif yang dibuat tidak memberikan dampak yang tidak signifikan terhadap persaingan usaha," katanya.
Alhasil, berdasarkan fakta, penilaian, analisis, dan kesimpulan di persidangan, Majelis Komisi memutuskan Terlapor I, Terlapor II, dan Terlapor III terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Sementara Terlapor IV diputuskan tidak terbukti melanggar Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
"Atas pelanggaran tersebut, Majelis Komisi menjatuhkan sanksi berupa perintah kepada Terlapor I dan Terlapor II, pelaku usaha yang masih melakukan kegiatan di Pelabuhan Panjang untuk
tidak melakukan perjanjian penetapan harga penyediaan jasa depo peti kemas, serta menilai tidak terdapat alasan yang cukup untuk menjatuhkan sanksi berupa denda admisnistratif kepada para Terlapor," tandas Deswin.