Jalur Pendakian Gunung Lampung Minim Fasilitas, Risiko Pendaki Tinggi

- Keamanan gunung di Lampung dinilai masih minim, pendaki sering kehilangan barang dan masalah keamanan di area perkemahan juga jadi sorotan.
- Fasilitas dasar minim, belum ada basecamp layak, pengelolaan gunung di Lampung belum tertata sesuai standar.
- Perlu sistem asuransi dan kesadaran pendaki, persiapan fisik dan peralatan wajib, jalur pendakian sudah lumayan, tapi risiko tetap ada.
Bandar Lampung, IDN Times - Gunung di Lampung sering kali menggoda para pendaki untuk menapaki jalurnya. Namun, dibalik keindahan gunung yang ada di Bumi Ruwa Jurai, tersimpan risiko besar yang kerap luput dari perhatian seperti jalur curam tanpa pagar pengaman, minim pos darurat, dan tak jarang tanpa akses komunikasi yang stabil.
Fenomena meningkatnya jumlah pendaki pemula maupun musiman tak selalu diiringi kesiapan infrastruktur keselamatan. Bahkan, belum semua jalur pendakian punya sistem mitigasi risiko yang memadai. Kali ini IDN Times mengulas potret keselamatan jalur pendakian gunung di Lampung, serta menyoroti urgensi perbaikan sistem penyelamatan dan edukasi bagi para pendaki.
1. Keamanan gunung di Lampung dinilai masih minim, pendaki sering kehilangan barang

Guntoro, warga Bandar Lampung hobi mendaki menilai, aspek keamanan dan fasilitas pendakian di Lampung masih jauh dari kata ideal. Mulai dari persoalan parkir hingga tidak adanya sistem evakuasi darurat, masih menjadi kendala utama bagi para pendaki.
"Kalau kita bawa kendaraan, bingung mau parkir di mana. Biasanya numpang di rumah warga, tapi kalau hilang kan gak ada yang tanggung jawab," kata Guntoro kepada IDN Times, Sabtu (2/8/2025).
Tak hanya itu, masalah keamanan di area perkemahan juga jadi sorotan. Ia menyebut, para pendaki sering kehilangan barang saat meninggalkan tenda untuk melakukan summit (mendaki ke puncak). "Kadang kita ninggalin barang-barang di tenda pas summit, begitu balik udah ada yang hilang," ujarnya.
2. Fasilitas dasar minim, belum ada basecamp layak

Menurut Guntoro, gunung-gunung di Lampung umumnya belum memiliki fasilitas dasar yang layak seperti basecamp, kamar mandi, hingga loker penyimpanan. Hal ini berbeda dengan gunung-gunung di Pulau Jawa yang sudah dikelola oleh kelompok sadar wisata (Pokdarwis).
"Kalau di Jawa itu basecamp-nya udah bagus, ada loker buat nitip barang, ada petugas, ada sistem. Di sini baru Gunung Rajabasa yang mulai kelihatan tertata, udah ada plang petunjuk dan jalur yang jelas," terangnya.
Sementara Gunung Tanggamus, Pesagi, dan Seminung disebutnya masih belum tertata sesuai standar, meski sudah mulai dikelola. Pendataan pendaki, larangan apa saja saat mendaki, hingga petunjuk jalur belum tersedia dengan baik.
"Petunjuk arah banyak yang gak diperbarui. Padahal penting banget supaya pendaki gak tersesat. Jalur tracking juga harusnya diperlebar dan dibersihkan dari rumput liar," tambahnya.
3. Perlu sistem asuransi dan kesadaran pendaki

Guntoro juga menyoroti belum adanya sistem asuransi atau prosedur evakuasi resmi bagi pendaki yang mengalami kecelakaan di beberapa gunung Lampung. Menurutnya, ini perlu segera diterapkan untuk meningkatkan keselamatan.
"Kalau ada pendaki cedera atau hilang, gak ada sistem evakuasi yang jelas. Seharusnya sudah ada SOP, asuransi, dan tim siaga seperti di gunung-gunung besar lain," jelasnya.
Meski begitu, ia menegaskan keselamatan juga merupakan tanggung jawab pribadi. Pendaki harus sadar akan kondisi fisik dan tidak memaksakan diri jika merasa lemah.
Ia juga menyarankan agar pendaki yang punya riwayat penyakit tidak melakukan tracking malam hari. Namun bagi Guntoro, solidaritas antarpendaki adalah hal utama. Sebab, saat berada di gunung, semua menjadi saudara. Sehingga harus saling bantu jika ada yang mengalami kesulitan.
"Aku pernah nganter turun pendaki yang dititipin ke tendaku karena dia udah gak kuat lagi. Ku perhatiin kok dia ada tanda-tanda terkena hypo sama penyakit ketinggian dan dia punya riwayat asam lambung jadi aku langsung anter turun. Biasanya itu terjadi sama pendaki tektok yang gak ngecamp, mereka naik pas malam hari itu bahaya juga karena kita rebutan oksigen sama tumbuhan, dan beberapa gunung memang tidak disarankan untuk malam hari," terangnya.
4. Persiapan fisik dan peralatan wajib, bukan pilihan

Menurut seorang pemandu gunung resmi, Micho Zyafutra, risiko kecelakaan di alam terbuka bisa ditekan jika pendaki memiliki kesadaran penuh terhadap kondisi fisik dan kelengkapan pribadi. Ia menegaskan, persiapan fisik menjadi faktor utama sebelum mendaki.
“Kalau fisik gak siap, potensi apes di atas 75 persen. Latihan lari sore satu sampai dua minggu sebelum naik bisa bantu banget, ditambah pola makan dan tidur yang dijaga,” ujarnya.
Selain itu, ia menyoroti pentingnya membawa peralatan yang memadai. Bukan soal mahal, tapi soal fungsi dan keamanan.
“Kalau bawa tenda jelek dan kena badai, bisa ambruk. Jaket juga jangan asal, bawa yang bisa tahan dingin. Alat yang aman sama dengan nyawa selamat,” katanya.
Micho mengisahkan pernah menghadapi situasi darurat ketika seorang pendaki mengalami hipotermia. Dalam kondisi seperti itu, menurutnya pemandu harus sigap memberikan pertolongan pertama.
“Kalau makin parah, kita minta bantuan ranger di basecamp. Tapi itu tergantung jarak. Ada yang 2 jam sudah sampai, ada juga yang harus nunggu lebih dari sehari karena aksesnya susah,” jelasnya.
5. Jalur pendakian sudah lumayan, tapi risiko tetap ada

Micho menyebut, jalur pendakian di Lampung sebenarnya sudah cukup jelas. Namun, ada tantangan utama yang harus diantisipasi oleh pendaki, yakni medan yang terus menanjak dari basecamp hingga puncak.
“Kalau jalur pendakian memang sudah dibuka tapi banyak petunjuk arah yang sudah tidak ada. Ditambah medan di Lampung itu beda, tanjakannya hampir gak ada habisnya. Jadi persiapan fisik harus ekstra,” ujarnya.
Ia juga menyoroti pendaki pemula atau yang terlalu percaya diri sebagai tantangan tersendiri. Banyak dari mereka hanya fokus ingin cepat sampai puncak.
“Sering kali gak peduli sama temannya sendiri. Pokoknya yang penting sampai puncak duluan, itu keliru,” ujarnya.
Ia tak mempersoalkan pendaki yang datang untuk membuat konten. Namun, konten yang dibuat sebaiknya juga mengandung edukasi.
“Kalau cuma konten doang tanpa persiapan, itu yang bikin repot. Yang jadi korban bukan cuma mereka, tapi juga tim SAR dan ranger. Yang udah siap aja bisa kena musibah, apalagi yang setengah-setengah,” ujarnya tegas.
6. Peduli kebersihan tanggungjawab semua

Terkait kebersihan gunung, Micho mengakui sebagian besar pendaki kini sudah mulai sadar. Namun, tetap ada yang perlu diingat.
“Minimal, bawa turun sampah sendiri. Jangan tinggalkan jejak kecuali jejak kaki,” tegasnya.
Ia berharap, pemerintah dan pengelola gunung bisa membangun lebih banyak shelter permanen di jalur pendakian. “Kalau bisa, di setiap pos ada shelter permanen. Itu penting banget buat mengurangi risiko kecelakaan,” tandasnya.