TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Kisah Warga Batu Saeng Melawan Gelap dengan Tenaga Air, Hemat Listrik PLN

Puluhan tahun tanpa listrik warga inisiatif manfaatkan SDA

Potret Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) Turbin Tirta Cahaya Emas Dusun Batu Saeng, Kabupaten Tanggamus (IDN Times/Silviana)

Tanggamus, IDN Times - Masih terkenang jelas dalam ingatan Heksan, saat pertama kali pindah ke Dusun Batu Saeng, Pekon Sinarjawa, Kecamatan Airnaningan, Kabupaten Tanggamus, di tahun 2000 lalu. Menonton televisi adalah moment langka karena belum adanya listrik di dusun tersebut.

Heksan menceritakan, saat malam hari, cahaya didapat dari lampu ublik, terbuat dari kaleng bekas diisi minyak tanah dan potongan kain bekas sebagai sumbu api.

“Dulu ya kalau ada kabar dari luar, setelah beberapa hari atau minggu baru bisa dengar. Misal di desa ada kegiatan apa gitu kita ketinggalan informasi. Padahal cuma dari desa sebelah tapi kita kan di tengah hutan,  akses jalan masih susah. Jangankan kabar dari tv, dari desa sebelah aja susah kalau dulu,” cerita Heksan kepada IDN Times, Kamis (2/11/2023).

Namun 2008 lalu, masyarakat setempat kompak melawan gelap di dusunnya berada di tengah hutan dengan cara meniru desa lain sudah lebih dulu menggunakan energi listrik dari aliran sungai. Meski kini sudah ada PLN, warga Batu Saeng menjadi satu-satunya dusun yang mempertahankan energi listrik dari alam tersebut. 

Baca Juga: Biogas, Suar Warga Desa Rejo Basuki Lampung Tengah Gapai Energi Berdikari

1. Modal iuran, warga berhasil dirikan tenaga listrik dari air

Potret Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) Turbin Tirta Cahaya Emas Dusun Batu Saeng, Kabupaten Tanggamus (IDN Times/Silviana)

Heksan menceritakan, kekompakan warga dusunnya bergotong royong membangun tenaga listrik memanfaatkan aliran Sungai Ulu Air Lehek yang mengalir ke Sungai Induk Sang Arus. Bermodalkan iuran warga senilai Rp500 ribu saat itu, kincir pembangkit listrik berhasil dibangun dan menerangi 25 rumah warga dengan tiga titik lampu setiap rumah.

“Awalnya pakai kincir dulu, gagasan dari tiga orang, ada bapak Muhanan, Suranto dan Suratman (alm) itu tokoh pendiri tahun 2008. Tapi waktu pakai kincir itu putarannya tidak stabil dan rusak jadinya kita buat pakai turbin supaya lebih besar arus listriknya,” kata Heksan.

Pembuatan turbin menurut Heksan juga dilakukan secara gotong royong dan warga kembali iuran Rp1.500.000 per rumah. Dalam waktu satu bulan perangkat diberi nama Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) Turbin Tirta Cahaya Emas itu berhasil dibangun dan menghasilkan tegangan hingga 8.000 watt.

“Setelah pakai turbin baru bisa nonton tv berwarna, kalau malam juga jadi terang, rumah warga keliatan semua. Kalau dulu kan gak keliatan apa-apa, gelap gulita,” tuturnya.

2. Tantangan mengelola listrik tenaga air

Potret Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) Turbin Tirta Cahaya Emas Dusun Batu Saeng, Kabupaten Tanggamus (IDN Times/Silviana)

Namun, perjalanan membangun PLTMH demi mendapat percikan listrik tak berjalan mulus begitu saja. Seiring berjalannya waktu warga menghadapi tantangan seperti mesin rusak karena tumpukan sampah, kurangnya daya listrik serta aliran sungai menyusut saat kemarau juga menjadi kendala.

Mengatasi persoalan tersebut, warga setempat selalu kompak bergotong royong membersihkan area PLTMH dari tumpukan sampah daun yang menghambat putaran turbin. Selain itu juga rutin mengadakan iuran sebesar Rp15 ribu untuk biaya perawatan PLTMH.

“Kalau gak berangkat gotong royong ada denda sekitar Rp50 ribu, sesuai bayaran buruh sehari. Supaya kita tetap kompak, karena kalau gak dibersihin sampahnya numpuk bikin rusak dinamo,” terangnya.

3. Meski sudah ada PLN tetap andalkan listrik tenaga air

ilustrasi lampu (unsplash.com/Slava Samsonov)

Selama 12 tahun menggunakan tenaga listrik memanfaatkan sumber daya alam air, di tahun 2020, PLN mulai masuk ke dusun tersebut. Kendati demikian, kehadiran PLN tak lantas membuat masyarakat meninggalkan PLTMH yang sudah menyelamatkan warga dari kegelapan selama bertahun-tahun.

Bahkan Heksan mengatakan, penggunaan listrik PLN jauh lebih hemat karena warga menggunakan dua energi tersebut untuk kebutuhan sehari-hari.

“Kita itu jarang ngisi pulsa listrik PLN karena kalau lampu itu masih tetap pakai Turbin. Pokoknya kalau arusnya normal debit air lagi tinggi kita pakai Turbin. PLN cuma buat masak nasi atau tv. Jadi  kita ngisi pulsa itu 3 bulan sekali Rp20 ribu, karena kebantu dari turbin,” ujarnya.

4. Banyak perubahan dirasakan sejak kehadiran listrik

Ilustrasi meteran listrik (dok. PLN)

Kehadiran listrik juga dinantikan Muhanan, sudah tinggal di Batu Saeng sejak 1989. Sebagai ketua kelompok dan salah satu pendiri, Muhanan sangat senang ada banyak perubahan dirasakan warga kampung halamannya. Seperti bisa menggunakan peralatan elektronik sehingga informasi mudah didapat serta anak-anak bisa belajar dengan nyaman saat malam hari.

Apalagi di pertengahan 2022 lalu, kapasitas turbin masih kurang besar serta hampir terbakar itu mendapat bantuan dari salah satu perguruan tinggi di Lampung, Institut Teknologi Sumatera.

“Alhamdulilah sekarang udah makmur. Dulu sebelum ada listrik ya sepi sunyi. Belajar aja pakai ublik, kadang ubliknya tumpah hahaha. Kalau sekarang udah enak lah, daya listriknya juga sekarang nambah karena Turbinnya makin besar,” ujarnya.

Meski sudah ada PLN, di rumah Muhanan juga tetap mengandalkan tenaga listrik dari turbin untuk menghemat pengeluaran pulsa PLN. Menurutnya, jika semua menggunakan PLN satu bulan bisa menghabiskan pulsa Rp40 ribu.

“Masih terus dipakai supaya meringankan beban PLN, kan bayar pulsa ringan. Kalau semua pakai PLN kan boros. Selain itu juga supaya kita tetap bisa memanfaatkan sumber daya alam dan menjaga kelestarian lingkungan,” terangnya.

Baca Juga: Infrastruktur Jalan Kawasan Geothermal Ulubelu Suar Ekonomi Warga Desa

Berita Terkini Lainnya