TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Upacara Adat Ruwat Bumi Desa Sumur Kumbang Lamsel, Tradisi Legenda

Kepercayaan masih melegenda hingga saat ini

Masyarakat Desa Sumur Kembang Kecamatan Kalianda Kabupaten Lampung Selatan Upacara Adat Ruwat Bumi. (Dok. Diskominfo Lampung Selatan).

Lampung Selatan, IDN Times - Masyarakat Desa Sumur Kembang Kecamatan Kalianda Kabupaten Lampung Selatan Provinsi Lampung memiliki tradisi adat masih melegenda dari zaman nenek moyang hingga saat ini. Tradisi itu adalah Upacara Adat Ruwat Bumi.

Saking legendanya upacara itu, membuat warga Desa Sumur Kumbang rutin menggelar acara tersebut saban tahun. Tapi di sisi lain ada juga menganggap cerita ini hanya sekadar mitos, karena konon dikaitkan dengan hal ghaib dan diluar nalar.

Terkait hal itu, IDN Times rangkum penjelasan dari tokoh adat desa setempat seputar Upacara Adat Ruwat Bumi Desa Sumur Kumbang dan sejarah dibalik pelaksanaannya dikutip dari lampungselatankab.go.id.

Baca Juga: Fakta Unik Tradisi Bulimau Masyarakat Adat Lampung Sambut Ramadan 

1. Tradisi ini bermula 1837

Masyarakat Desa Sumur Kembang Kecamatan Kalianda Kabupaten Lampung Selatan Upacara Adat Ruwat Bumi. (Dok. Diskominfo Lampung Selatan).

Upacara adat Ruwat Bumi atau sedekah bumi merupakan tradisi turun temurun dilakukan masyarakat Desa Sumur Kumbang. Sesepuh Desa Sumur Kumbang, Santika menjelaskan, tradisi sedekah bumi atau dikenal juga dengan ruwat bumi merupakan bentuk rasa syukur masyarakat desa atas hasil bumi telah diperoleh.

Terdapat cerita yang cukup melegenda dibalik dilaksanakannya Upacara Adat Ruwat Bumi. Tradisi ini bermula 1837. Saat itu merujuk tutur kata orang terdahulu, Desa Sumur Kumbang masih sangat rawan akan penyakit yang tiba-tiba menyerang orang yang menanam segala jenis tanaman tanpa permisi di desa tersebut.

“Tahun 1837 mulai pertama diadakan oleh orang tua kita dulu, terus berhenti di tahun 1840 mulai lagi tahun 1848. Karena berhenti itu timbulnya penyakit, kata orang dulu tradisi harus dimulai lagi sedekah bumi,” jela Santika.

2. Guna menghalau terjadinya hal sial dan kemalangan

Sesajen saat melakukan Tradisi Malam 1 Suro di lereng Gunung Merapi, Selo, Boyolali, Jawa Tengah, Rabu (19/8/2020). (ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho)

Guna menghalau terjadinya hal sial dan kemalangan lainnya imbuhnya, para orang zaman dahulu melakukan ritual Upacara Adat Ruwat Bumi. Pada ritual tersebut disiapkan juga sesajen untuk diberikan kepada roh-roh terdahulu.

“Dulunya ini kata orang tua, di sini ini rawan. Siapa yang masuk ke sini, nanem apa saja, paling lamanya 3 bulan, pulang, sakit, meninggal. Selain dengan orang tua kita zaman dulu itu, uyut sapid namanya, dibacain supaya kampung ini aman, sejahtera,” ungkapnya.

Santika menjelaskan, ritual tradisi Ruwat Bumi dimulai bulan Muharam selama 6 Kamis dan 1 Jumat. Setiap hari Kamis sore para sesepuh kampung akan berkumpul di halaman masjid setempat untuk membaca syekh yang merupakan bagian dari ritual ruwat bumi.

3. Masyarakat tidak diperbolehkan membawa hasil dari kebun

pixabay

Setelah selesai melaksanakan ritual, acara akan dilanjutkan dengan makan bersama. Namun, pada hari ke-7 pelaksanaan upacara adat Ruwat Bumi akan dilaksanakan di hari Jumat. Yang mana, di hari terakhir tersebut seluruh masyarakat desa akan berbondong-bondong ke masjid untuk bersama-sama melaksanakan Upacara Adat Ruwat Bumi.

“Dimulainya bulan Muharam, setiap hari Kamis sore itu diadain baca syekh selama 6 Kamis itu hanya sesepuh-sesepuhnya yang bisa baca syekh itu. Terakhir di hari ke-7 itu diadakannya di hari Jumat, semua seluruh warga makan bersama di Masjid. Karena kebetulan masjid ini adalah center desa, berada ditengah-tengah desa,” ungkap Abah Santika lebih lanjut.

Tak kalah menarik adalah, khusus di setiap bulan Muharam, masyarakat setempat tidak diperbolehkan untuk membawa hasil bawaan dari kebun, khususnya sejenis kayu bakar di atas jam 11 siang ke rumah.

Baca Juga: Masyarakat Adat Lampung Pepadun dan Saibatin, Sudah Ada Sejak Abad 12

Berita Terkini Lainnya