Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Kisah Eddy Aqdhiwijaya, Penggerak Filantropi Milenial dan Gen Z

Filantropi Eddy Aqdhiwijaya. (IDN Times/Istimewa).
Intinya sih...
  • Milenial dan Gen Z masih kurang paham tentang filantropi, menganggapnya sebagai urusan para "sultan".
  • Eddy Aqdhiwijaya mendorong milenial dan Gen Z untuk terlibat dalam kegiatan filantropi, dengan memberikan bantuan berupa waktu, tenaga, pikiran, dan skill.
  • Dalam kesehariannya, Eddy juga aktif mempromosikan pesan kemanusiaan melalui nilai-nilai literasi, cinta, damai dan welas asih agama Islam kepada masyarakat luas.

Bandar Lampung, IDN Times - Milenial dan Gen Z ternyata masih banyak belum mengetahui dunia filantropi. Bahkan mereka menilai, filantropi adalah urusan para “sultan”. Padahal sejatinya, filantropi juga perlu menjadi urusan milenial dan Gen Z.

Bantuan yang diberikan tidak mesti berupa dana, tetapi waktu, tenaga dan skill juga bisa diberikan, dan menjadi bagian dari filantropi. Hal itu menjadi landasan Eddy Aqdhiwijaya Ketua Yayasan Islam Cinta Indonesia atau Gerakan Islam Cinta (GIC) menggerakkan kalangan milenial dan Gen Z untuk terlibat dalam kegiatan filantropi.  

"Citra filantropi, yang erat dengan tokoh-tokoh konglomerat sering membuat kita salah kaprah terhadap arti sebenarnya, memaknai filantropi sebatas kegiatan eksklusif yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang dengan sumber daya finansial yang besar," jelasnya, Kamis (17/10/2024).

Padahal menurut Eddy, filantropi sederhananya dapat disebut sebagai tindakan kedermawanan. "Sumber daya yang disumbangkan pun tidak hanya sebatas dana, tetapi juga bisa berupa waktu, tenaga, pikiran dan skill atau kemampuan kita," katanya.

1. Awal mula tekuni filantropi

Filantropis Eddy Aqdhiwijaya. (IDN Times/Istimewa).

Eddy lahir di Tangerang 19 Maret 1990. Awal mulai ia menekuni dunia filantropi pada masa krisis COVID-19. Eddy menjadi satu di antara para milenial terlibat untuk membantu masyarakat.

Saat pandemik, Eddy terlibat aktif dalam #SalingJaga hadapi COVID-19. Bahkan ia yang mengkoordinir gerakan #SalingJaga di sejumlah daerah bersama para milenial lainnya dari GIC yang tersebar di wilayah Indonesia.

Pandemik COVID-19 telah menjadi bencana merugikan kesehatan, sosial dan ekonomi warga. Masyarakat miskin dan pekerja informal adalah salah satu kelompok rentan yang sulit untuk menyambung hidup pada situasi seperti itu. Hal tersebut, yang menjadi alasan kepeduliannya di tengah krisis akibat pandemik COVID-19.

2. Gencar suarakan Palestina

Sumber Ilustrasi : Pixabay.com

Kiprahnya di dunia filantropi tidak berhenti sampai disitu. Eddy juga gencar menyuarakan #WeStandforPalestinian dan #IslamCintaPalestina, Menurutnya, ada tiga hal yang bisa dilakukan oleh masyarakat untuk membantu Palestina.

Pertama, #PesanCinta terus sebarkan pesan cinta kepada dunia. Suarakan keadilan dan perdamaian bagi semua. Kedua, #KirimDoa sisipkan dalam doa, harapan terbaik korban-korban tak berdosa. Semoga perdamaian dan kemerdekaan bisa terwujud di tanah Palestina. Ketiga #GalangDana Sisihkan sebagian rezeki kita untuk membantu meringankan beban mereka. Salurkan melalui kitabisa.com dan Dompet Dhuafa.

3. Inisiasi penerbitan buku populer Islami

Filantropis Eddy Aqdhiwijaya. (IDN Times/Istimewa).

Tidak hanya dua program di atas, Eddy juga aktif mempromosikan pesan kemanusiaan melalui nilai-nilai literasi, cinta, damai dan welas asih agama Islam kepada masyarakat luas.

Sejumlah program literasi terus dilaksanakan, ia memimpin redaksi sejumlah penerbitan buku-buku populer di Gerakan Islam Cinta (GIC) dengan melibatkan para penulis milenial seperti Husein Ja’far Al Hadar, Kalis Mardiasih, Zulfan Taufik, Azam Bahtiar dan masih banyak lagi yang lainnya.

Buku “Apalagi Islam itu Kalau Bukan Cinta?” Menjadi buku perdana Husein Ja’far Al Hadar yang dikoordinir Eddy. Saat ini, sudah lebih dari 50 buku yang dimiliki oleh GIC sejak tahun 2015 sampai dengan tahun ini, 2024.

4. Meski sibuk sempatkan membaca buku

Filantropis Eddy Aqdhiwijaya. (IDN Times/Istimewa).

Di tengah kesibukannya menjalankan filantropi, dalam kesehariannya Eddy selalu menyempatkan diri untuk membaca buku. Ia merekomendasikan satu buku yang penting di baca oleh milenial dan gen z untuk memahami filantropi yaitu buku Twelve Steps To A Compassionate Life karangan Karen Armstrong.

Dalam postingan terbaru di akun instagram pribadinya @eddyaqdhiwijaya ia mengungkap keresahannya terhadap minat membaca di Indonesia. Eddy mengatakan, aktifitas membaca dilakukan untuk menghabiskan waktu (to kill time), bukan untuk mengisi waktu (to full time) dengan sengaja.

"Artinya aktifitas membaca belum menjadi kebiasaan tapi lebih kepada kegiatan ’iseng’ saja. Aktifitas membaca pun belum menjadi prioritas yang masuk dalam to do list harian disertai dengan target baca,” tukas Eddy.

5. Tingkat literasi ada hubungan vertikal terhadap kualitas bangsa

Kemampuan literasi penting untuk mendapatkan kebenaran informasi (Pexels/Thought Catalog)

Ia menambahkan, tingkat literasi memiliki hubungan vertikal terhadap kualitas bangsa. Tolak ukur kemajuan serta peradaban suatu bangsa adalah budaya membaca yang telah mengakar pada masyarakatnya.

UNESCO menyatakan dari 1000 orang penduduk Indonesia, ternyata hanya satu orang yang memiliki minat baca. Indeksi minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001.

Masyarakat Indonesia rata-rata membaca 0-1 buku setiap tahun. Berbeda dengan warga negara Amerika Serikat yang terbiasa membaca 10-20 buku setahun, sedangkan warga Jepang 10-15 buku setahun. “Ini merupakan sebuah tragedi. Hal ini mengkonfirmasi bahwa literasi masih termarjinalkan pada lanskap ekonomi dan politik negara kita,” jelas Eddy.

 

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Martin Tobing
EditorMartin Tobing
Follow Us