Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

LBH Bandar Lampung Nilai Kehadiran Menteri ATR/BPN Cuma Ajang Simbolis

IMG-20250729-WA0003.jpg
Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid menyambangi Pemprov Lampung. (IDN Times/Tama Yudha Wiguna).
Intinya sih...
  • Kehadiran Menteri ATR/BPN di Lampung hanya ajang simbolis dan seremonial.
  • Konflik agraria di Anak Tuha menjadi simbol kegagalan tata kelola agraria negara.
  • Masyarakat tiga kampung terus meminta pencabutan HGU PT BSA dan proses mediasi dengan keadilan hukum.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Bandar Lampung, IDN Times - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung menilai kedatangan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid ke Provinsi Lampung sebatas ajang simbolis dan seremonial.

Direktur LBH Bandar Lampung, Sumaindra Jarwadi, menjelaskan, kehadiran Nusron Wahid kali ini kembali mempertontonkan potret kegagalan negara dalam menyelesaikan konflik agraria di Lampung telah berlangsung selama puluhan tahun.

Salah satu paling mencolok dan belum terselesaikan hingga hari ini ialah konflik masyarakat tiga kampung (Kampung Bumi Aji, Kampung Nehara Aji tua, Kampung Negara Ajir Baru) di Kecamatan Anak Tuha, Kabupaten Lampung Tengah dengan PT Bumi Sentosa Abadi PT BSA.

"Kehadiran Menteri ATR/BPN di Lampung tanpa membawa langkah konkret terhadap penyelesaian konflik di Anak Tuha mencerminkan pendekatan simbolik yang jauh dari keadilan substantif. Menteri seharusnya tidak hanya datang meresmikan program-program legalisasi aset atau menyampaikan pidato seremonial, tetapi harus hadir langsung di titik-titik konflik agraria kronis untuk mendengar suara korban dan mendorong penyelesaian tuntas," ujarnya, Rabu (30/7/2025).

1. Simbol kegagalan tata kelola agraria negara

IMG-20250730-WA0006.jpg
Warga tiga kampung di Kecamatan Anak Tuha menggelar aksi demontrasi. (Dok. LBH Bandar Lampung).

Sejak pertemuan antara Menteri ATR/BPN Nusron Wahid dengan Gubernur Lampung kemarin, Sumaindra menyampaikan, pemerintah pusat kembali menyoroti ketidakpatuhan sejumlah korporasi pemegang HGU di Lampung dalam memenuhi ketentuan menyediakan minimal 20 persen lahan plasma untuk petani lokal.

Menurutnya, pernyataan tegas itu mencerminkan kegagalan dalam implementasi kebijakan agraria telah diamanatkan dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang pokok-pokok Agraria serta ketentuan pelaksanaannya. Sebagai daerah yang menjadi episentrum konflik agraria, maka kasus Anak Tuha di Lampung Tengah menjadi simbol kegagalan tata kelola agraria negara.

"Di wilayah ini, masyarakat dari tiga kampung telah lama menggarap lahan tersebut sebelum terbit HGU miliki perusahaan. Namun sejak 1972, lahan mereka perlahan dialihkelola oleh korporasi PT Chandra Bumi Kota hingga akhirnya PT Bumi Sentosa Abadi (BSA) mulai mengklaim HGU atas sekitar 807 hingga 955 hektare," beber dia.

Lebih ironisnya, disebutkan PT BSA mengklaim hampir 1.000 hektare sebelum 2022 yang dikelola dan ditanami hanya sekitar 60–65 Ha sawit, sementara sisanya dikuasai oleh petani penggarap telah kembali menguasai lahan 2014. Namun, gugatan dari masyarakat ditolak dengan alasan cacat formil, itu dinilai menandakan ranah hukum gagal memberikan keadilan substantif.

"HGU yang diklaim PT BSA dan dikeluarkan oleh negara tidak pernah melibatkan meaningful participation. Tak ada proses dialog yang bermakna dan dianggap tak ada pengakuan atas eksistensi penggarapan rakyat. Negara secara sepihak mengakui dan melegitimasi kepemilikan perusahaan atas tanah yang dikelola rakyat. Di sinilah akar dari krisis berlangsung hingga hari ini," lanjutnya.

2. Bukti brutalitas struktural

Eksekusi lahan perkebunan PT Bumi Sentosa Abadi (BSA) di Kampung Negara Aji Tua, Kecamatan Anak Tuha, Kabupaten Lampung Tengah, Kamis (21/9/2023). (IDN Times/Tama Yudha Wiguna).
Eksekusi lahan perkebunan PT Bumi Sentosa Abadi (BSA) di Kampung Negara Aji Tua, Kecamatan Anak Tuha, Kabupaten Lampung Tengah, Kamis (21/9/2023). (IDN Times/Tama Yudha Wiguna).

Memasuki September 2023, Sumaindra mengungkapkan, kekerasan eskalatif melibatkan aparat gabungan bersama PT BSA menggelar penggusuran paksa, mengerahkan sampai 1.500 personel TNI/Polri hingga Satpol PP. Itu guna meratakan lahan, menangkap, dan mengkriminalisasi warga termasuk 7 orang dianggap subjek provokasi perlawanan.

Eksekusi ini bukan hanya menunjukkan keberpihakan negara kepada perusahaan, tetapi juga mempertontonkan brutalitas struktural terhadap masyarakat yang mempertahankan ruang hidupnya. Warga mengalami intimidasi, pemanggilan, hingga penahanan.

"Aparat bersenjata mengelilingi kampung-kampung, patroli dilakukan setiap hari dan rasa takut menjadi hantu baru di tanah yang dahulu menjadi tempat hidup yang damai. Di sini, kesan negara semakin terlihat bahwa kerapkali keadlian substantif sangat sulit untuk digapai kaun rentan, termasuk para petani kecil di tiga kampung Kecamatan Anak Tuha," imbuhnya.

Hingga saat ini masyarakat tiga kampung tetap kukuh terhadap pendirian untuk meminta, agar HGU PT BSA dicabut, lahan dikembalikan ke rakyat, dan proses mediasi disertai keadilan hukum bukan diwarnai aksi. "Sejak April 2025, aksi damai beranggotakan sekitar 500 sampai 700 orang dari tiga kampung berlangsung di Kantor Bupati dan DPRD Lampung Tengah, disertai tuntutan pembentukan pansus agraria, evaluasi legalitas HGU, pembebasan petani yang ditahan, dan penarikan polisi dari lahan sengketa," sambungnya.

3. Antara hukum administratif dan keadilan substantif

Eksekusi lahan perkebunan PT Bumi Sentosa Abadi (BSA) di Kampung Negara Aji Tua, Kecamatan Anak Tuha, Kabupaten Lampung Tengah, Kamis (21/9/2023). (IDN Times/Tama Yudha Wiguna).
Eksekusi lahan perkebunan PT Bumi Sentosa Abadi (BSA) di Kampung Negara Aji Tua, Kecamatan Anak Tuha, Kabupaten Lampung Tengah, Kamis (21/9/2023). (IDN Times/Tama Yudha Wiguna).

LBH Bandar Lampung mendampingi masyarakat untuk mengajukan desakan pembentukan Panitia Khusus (Pansus) penyelesaian konflik agraria, serta mendesak pencabutan HGU PT BSA dinilai cacat secara legal dan etis, namun respons negara tetap pasif. Ia menyampaikan, janji pertemuan, audiensi, dan mediasi dikemukakan pemerintah daerah hingga kini tidak menunjukkan perubahan mendasar terhadap struktur kepemilikan lahan yang timpang tersebut.

Selaras dengan konflik ini, kondisi terjadi di lapangan membenturkan dua realitas. Pertama, wakil rakyat di tingkat pusat dan provinsi menyerukan evaluasi HGU dan teguran ke korporasi tidak menepati kewajiban plasma. Kedua, pemerintah daerah tampak lambat membuka ruang dialog inklusif dan menghukum ketidakadilan kronis terjadi terhadap konflik agraria di Kecamatan Anak Tuha.

"Ketimpangan ini menegaskan bahwa reforma agraria bukan sekadar soal lahan, tetapi pertarungan antara hukum administratif dan keadilan substantif bagi masyarakat adat dan petani kecil," ucap Sumaindra.

4. Kunjungan simbol kosong

IMG-20250729-WA0016.jpg
Gubernur dan Wagub Lampung menerima kunjungan Menteri ATR/BPN Nusron Wahid. (IDN Times/Tama Yudha Wiguna).

Sumaindra menambahkan, LBH Bandar Lampung memandang konflik agraria ini tidak dapat dilihat semata sebagai persoalan sengketa kepemilikan lahan antara perusahaan dan warga. Tetapi manifestasi dari struktur kekuasaan yang timpang dan negara lebih banyak berfungsi sebagai alat pemulus ekspansi kapital dibanding sebagai penjamin keadilan.

Oleh karena itu, sejatinya momentum kedatangan Nusron Wahid di Lampung menjadi titik balik reformasi agraria berpihak, sebab, ketika perusahaan gagal menyediakan kewajiban 20 persen plasma tetap mendapatkan perpanjangan HGU, maka legitimasi kebijakan agraria dipertanyakan.

"Penyelesaian konflik agraria di Anak Tuha bisa menjadi laboratorium perubahan baik mediasi terbuka, audit lapangan partisipatif, dan pencabutan HGU yang terbukti cacat hukum atau mengabaikan hak masyarakat lokal. Karena tanpa lompatan struktural tersebut, kunjungan pejabat tinggi hanya akan menjadi simbol kosong," tegasnya

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Martin Tobing
EditorMartin Tobing
Follow Us