Kampanye di Kampus, Ada Jaminan Bebas dari Politik Praktis?
PKPU tak boleh reduksi UU Pemilu, kuatkan di PBawaslu
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Bandar Lampung, IDN Times - Pada Agustus 2023 lalu, Mahkamah Konstitusi sempat membuat heboh dengan mengeluarkan Putusan Nomor 65/PUU-XXI/2023. Poin krusial dalam putusan tersebut terdapat pada Pasal 280 ayat (1) UU Pemilu dengan berbunyi kampanye pemilu diperbolehkan di satuan pendidikan.
Tentu hal ini menyebabkan pro dan kontra di kalangan masyarakat khususnya satuan pendidikan, termasuk di Universitas Lampung. BEM Unila pun akhirnya membuka diskusi publik terkait hal ini secara online dan offline, Selasa (5/9/2023).
Mengundang perwakilan KPU, Bawaslu, serta akademisi Lampung, mereka hendak membuka wawasan terkait keterjaminan independensi ruang akademis dari politik praktis pasca putusan MK dikeluarkan.
Baca Juga: Ajak Milenial dan Gen Z Memilih di 2024, KPU Lampung Gandeng Selebgram
1. Apakah kampus benar-benar sudah independen dan bebas dari politik praktis?
Dalam diskusi tersebut Akademisi Fakultas Hukum Unila, Muhtadi menjelaskan independensi memiliki dua pengertian yakni dalam aspek indenpendensi lembaganya dan individunya.
Indenpendensi lembaga artinya lembaga tersebut terbebas dari intervensi lembaga lainnya. Sedangkan indenpendensi individual artinya bebas dari intervensi individu lain baik di dalam maupun luar struktur lembaga misalnya dari atasan atau rekan sesama dosen.
“Tapi apakah benar selama ini kampus-kampus benar-benar bebas dari intervensi? Jangan-jangan selama ini intervensi itu sudah masuk hingga akhirnya berakhir dengan adanya OTT. Itu kan karena adanya intervensi. Artinya jangan-jangan selama ini kampus itu selama ini ada intervensi hanya saja terbungkus dengan sesuatu sehingga tidak nampak,” paparnya, Selasa (5/9/2023).
Ia juga mencontohkan, peraturan pemilihan rektor di kampus-kampus di terdapat pernyataan rektor dipilih dalam rapat senat khusus dengan persentase 65 persen suara dari anggota senat dan 35 persen suara menteri sebagai perwakilan pemerintah.
“Dengan masuknya suara menteri pun sebenarnya sudah ada intervensi dari lembaga diluar kampus. Lalu pertanyaannya menteri yang datang ini pejabat politik, aktif, atau tradisional? Bagaimana mungkin kampus bisa bebas dari intervensi pusat, meskipun dibalut dengan istilah “pengawasan”,” jelasnya.
“Dengan terlibatnya menteri dalam pemilihan ini pun, bisa saja tim sukses itu keliling bertemu dengan menteri untuk membawa suara ke kampus. Itu politik praktis bukan?,” tambahnya.
Baca Juga: Pemilu 2024, Gen Z Ingin Lebih Praktis dan Menarik