Aktivis Satwa Sebut Kematian Harimau Bakas Akibat Reaksi Stres Ekstrem

- Prinsip kesejahteraan satwa harus ditekankan
- Pertanyakan proses pemindahan harimau Bakas
- Kematian mengindikasi alami stres ekstrem pada harimau
Bandar Lampung, IDN Times - NGO Forum HarimauKita menyampaikan keprihatinan mendalam atas kematian seekor Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) jantan "Bakas" mati di Lembaga Konservasi Lembah Hijau Lampung, Kota Bandar Lampung.
Ketua Forum HarimauKita, Iding Achmad Haidir mengatakan, kematian Bakas menjadi kehilangan besar bagi upaya konservasi satwa liar di Indonesia, terutama mengingat populasi Harimau Sumatera terus menurun dan berstatus kritis terancam punah.
“Kami berbelasungkawa atas matinya satu individu harimau liar, spesies yang menjadi simbol konservasi Indonesia yang sayangnya jumlahnya terus menyusut,” ujarnya dikonfirmasi, Rabu (12/11/2025).
1. Tekankan prinsip kesejahteraan satwa

Berkaca atas kasus kematian satwa liar tersebut, Iding menyampaikan, harimau cenderung menghindar dari pandangan dan interaksi dengan manusia atau sifat elusif (elusive). Sehingga di setiap proses pemindahan satwa, dinding kandang harus ditutup rapat untuk menghindari satwa kontak visual dengan manusia di sekitarnya.
Termasuk menghindari suara gaduh dengan meminimalkan petugas yang berada di sekitar kandang satwa. Langkah itu disebut sebagai salah satu prinsip kesejahteraan satwa yang perlu diterapkan dalam setiap penanganan, agar bebas dari ketakutan dan rasa tertekan.
"Satwa harimau harus bebas dari rasa takut, baik dari harimau jantan lainnya maupun setiap tekanan dari kehadiran manusia di sekitarnya. Jika hal ini tidak dihindari dapat membuat harimau berada dalam kondisi ketakutan berlebih, menjadikan stres pada satwa dan memberikan efek negatif," tegasnya.
2. Pertanyakan proses pemindahan

Berdasarkan keterangan resmi BKSDA Bengkulu, Iding menilai, pemindahan harimau Bakas dari PPS Lampung ke Lembaga Konservasi Lembah Hijau dengan alasan keamanan dan perawatan yang lebih memadai meninggalkan beberapa catatan dan pertanyaan. Terutama menyangkut prosedur dan manajemen translokasi satwa liar berisiko tinggi seperti harimau dewasa agresif.
Salah satu pertanyaan mendasar ialah, minimnya informasi tentang tahapan pemindahan. Pasalnya, siaran pers tidak menjelaskan secara rinci waktu pemindahan, metode penanganan, siapa yang memberi otorisasi, serta apakah prosedur sedasi atau pembiusan diterapkan.
"Informasi dasar semacam ini penting untuk menilai kesesuaian tindakan dengan pedoman nasional dan standar kesejahteraan satwa (animal welfare). Indikasi lemahnya perencanaan dan koordinasi antar pihak," ucapnya.
Menyikapi keputusan tersebut, keterangan lapangan dihimpun anggota Forum HarimauKita, disebut keputusan pemindahan dilakukan secara mendadak tanpa keterlibatan dokter hewan penanggung jawab sebelumnya menangani satwa.
"Jika benar, hal ini menunjukkan adanya human error dan kegagalan komunikasi lintas otoritas termasuk PPS Lampung, BKSDA Bengkulu, dan Dirjen KSDAE," lanjut dia.
3. Kematian mengindikasi alami stres ekstrem

Iding turut menyoroti ihawal kondisi lingkungan dan stres satwa dialami oleh harimau Bakas. Pasalnya, penggunaan frasa “menabrakkan diri” dinilai perilaku menabrak kandang bukan tindakan menabrakkan diri, melainkan bentuk reaksi stres ekstrem terhadap gangguan di sekitar.
"Potensi stres dapat meningkat jika terjadi kebisingan dan keramaian manusia di sekitar kandang," katanya.
Lebih lanjut upaya satwa untuk menghindari stressor adalah berusaha menjauh atau keluar dari kandang yaitu, dengan mendobrak atau menabrak pintu ataupun dinding yang menghalanginya untuk keluar.
"Jadi semakin besar tenaga yang digunakan untuk melewati penghalang, maka semakin fatal dampak yang akan dialaminya bahkan bisa berakibat kematian karena luka traumatis serius pada organ-organ vital. Faktor-faktor ini semestinya diantisipasi dalam setiap kegiatan translokasi satwa liar," imbuhnya.
















