TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Catatan Akhir Tahun, PERMAMPU Kritisi Isu Politik dan Pemilu Inklusif

Keterwakilan perempuan sampai fasilitas minim dalam pemilu

ilustrasi perempuan (IDN Times/Arief Rahmat)

Intinya Sih...

  • PERMAMPU melakukan pendidikan politik untuk pemilu secara hybrid
  • Keterwakilan perempuan dalam pemilu masih di bawah 30 persen
  • Fasilitas minim dalam pemilu untuk kelompok marginal dan rentan perlu ditingkatkan

Bandar Lampung, IDN Times - Memperingati Hari Pergerakan Perempuan, PERMAMPU (Komsorsium Perempuan Sumatera Mampu) melakukan pendidikan politik untuk pemilu secara hybrid. Kegiatan ini juga menjadi ajang diskusi terkait masalah ketidak adilan gender di tanah air yang tak ada habisnya.

PERMAMPU melihat ketidakadilan gender juga masih dapat dirasakan pada pesta demokrasi saat ini. Khususnya bagaimana partisipasi, representasi dan kepemimpinan dalam pelaksanaan Pemilu 2024 bisa inklusif.

Apalagi pemilu merupakan sarana kedaulatan rakyat dan tanpa partisipasi atau keterwakilan perempuan maka Indonesia bukanlah negara demokrasi. Dalam catatan akhir tahunnya, PERMAMPU pun mengidentifikasi beberapa temuan atau fakta masih terpinggirnya perempuan dan kelompok marginal lainnya dalam proses Pemilu 2024.

1. Belum terpenuhinya keterwakilan 30 persen perempuan sebagai peserta pemilu

Dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 disebutkan dalam pemilihan umum di Indonesia, wajib kiranya keterwakilan perempuan sebagai peserta pemilu dipenuhi minimal 30 persen.

“Namun faktanya, berdasarkan DCT (daftar calon tetap) anggota DPD RI secara nasional, dari 668 calon untuk 38 dapil, hanya 133 perempuan (19,91 persen). DCT DPRD provinsi di 3 provinsi Pulau Sumatra juga menunjukkan masih ada beberapa partai yang tidak dapat memenuhi ketentuan minimal 30 persen perempuan,” kata Direktur Eksekutif Perkumpulan DAMAR Lampung, Eka Tiara Chandrananda, Minggu (31/12/2023).

Menurut data PERMAMPU, ia menyebutkan di Sumatera Barat atau wilayah Suku Minang dan terkenal akan sistem matrilinealnya, keterwakilan perempuan di Gerindra hanya 29,69 persen, PKB 29,23 persen, bahkan PKN sama sekali tak mengusung calon perempuan.

“Secara keseluruhan, angka keterwakilan perempuan di Pulau Sumatera minimal 30 persen belum terpenuhi. Pada Pemilu 2019, keterwakilan perempuan di DPR RI, DPD provinsi di Pulau Sumatera hampir semuanya tak lebih dari 30 persen. Hanya Bengkulu dan Sumsel yang mencapai itu yakni Bengkulu 50 persen (2 laki-laki, 2 perempuan) dan Sumsel keempat DPD adalah perempuan,” papar Eka.

Baca Juga: Nunggak Online Shop, UMKM Balam Tak Bisa Ajukan Pinjaman Tanpa Bunga

2. Perempuan mahluk politik dan perlu dihitung secara utuh

Ilustrasi Remaja Perempuan. (IDN Times/Aditya Pratama)

PERMAMPU juga mengkritik masalah penghitungan kuota perempuan berdasarkan presentase dengan pembulatan ke bawah jika didapat hasil di bawah 50 persen. Hal ini tentu semakin menurunkan jumlah perempuan di DCT.

“Keputusan ini sudah dianulir oleh MA melalui putusan perkara nomor 24 P/HUM/2024 yang diputus pada tanggal 29 Agustus 2023, tetapi tidak ada kejelasan mengenai implementasi dan adanya perubahan dalam prosentase perempuan di DCT,” ujar Eka.

Penyelenggaraan PEMILU hingga saat ini juga masih belum mampu mendekatkan dan memfasilitasi kelompok marginal dan kelompok rentan untuk melaksanakan hak politiknya baik sebagai pemilih maupun yang dipilih.

3. Fasilitas minim dalam pemilu untuk kaum marginal dan rentan

Beberapa fasilitas minim untuk kaum marginal dan rentan dalam pemilu tersebut di antaranya adalah terbatasnya jumlah surat suara untuk Penyandang Disabilitas Fisik/Sensorik/Daksa dan penyediaan template suara braille untuk disabilitas sensorik.

“Template suara ini tidak dikenal, tidak pernah dilihat, dan sulit ditemukan di internet. Sedangkan kelompok marginal dan rentan lain seperti masyarakat adat yang tertinggal, terpencil, buta huruf, lansia, ibu hamil dan menyusui belum diberi perhatian khusus dan memperoleh tempat nyaman saat berada di TPS,” jelas Eka.

Sensitifitas Penyelenggara Pemungutan Suara dalam memfasilitasi kelompok disabilitas rungu dan kelompok rentan lain di TPS juga masih kurang responsif. Lansia, perempuan hamil, perempuan yang mempunyai anak-anak kecil bahkan bayi, disabilitas dengan kursi roda atau kesulitan berjalan, semua membutuhkan tempat aman dan nyaman di TPS. 

“Jangkauan terhadap masyarakat di daerah terpencil juga belum menjamin penyediaan logistik pemilu, sosialisasi agar surat suara sampai di kabupaten, serta bahasa yang mudah dimengerti di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar),” imbuhnya.

Berita Terkini Lainnya