Akademisi Petakan Delapan Bencana Berisiko di Lampung

Provinsi Lampung masuk kategori rawan bencana

Bandar Lampung, IDN Times - Sebagai daerah berada di kawasan Ring of Fire atau Cincin Api, Provinsi Lampung menjadi salah satu daerah di Indonesia masuk kategori rawan bencana.

Selain berada di lingkaran cincin api, daerah berjuluk Sai Bumi Ruwa Jurai ini juga berada di zona lempeng atau patahan gempa. Itu sebagian besar berada di sekitar wilayah subduksi merupakan pertemuan antara lempeng benua Eurasia dan lempeng benua Indo-Australia, atau dikenal dengan garis patahan sunda (Sunda Fault).

Merujuk hal itu, menjadi sorotan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Lampung. Organisasi ini mendorong Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung memerhatikan dengan serius mitigasi dan adaptasi terhadap bencana alam.

Di sisi lain, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Lampung sudah bekerja sama Institut Teknologi Sumatera (ITERA) memetakan dan menganalisis dampak terjadinya bencana yang ada di Lampung.

1. Wilayah pantai barat Lampung berpotensi tinggi terhadap gempa dan tsunami

Akademisi Petakan Delapan Bencana Berisiko di LampungIlustrasi pantai. IDN Times/Sunariyah

Direktur Eksekutif Walhi Lampung, Irfan Tri Musri mencatat, pantai barat Lampung termasuk kawasan mempunyai potensi tinggi terhadap bencana, baik gempa maupun tsunami. Pusat gempa tidak hanya berasal dari zona tumbukan lempeng berada di perairan barat Lampung, tetapi juga berasal dari daratan yaitu sepanjang zona Patahan Sumatera (Semangka) yang memanjang dari Kota Liwa sampai Kota Agung yang menerus ke Selat Sunda.

Kawasan pantai barat Lampung banyak terbentuk morfologi landai terutama di sepanjang pantai. Itu berisiko tinggi terhadap bencana tsunami yang bersumber dari pusat-pusat gempa terjadi di perairan baratnya.

Irfan menambahkan, pembangunan ekonomi sangat pesat di pantai barat wilayah Lampung telah menghadapkan pemerintah daerah pada persoalan-persoalan memerlukan penanganan lebih baik dan hati-hati. Untuk itu, pengkajian risiko bencana gempa dan tsunami sangat diperlukan agar perencanaan dan pembangunan wilayah dapat dilakukan lebih baik sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan.

2. Akademisi Itera memetakan delapan bencana berisiko terjadi di Lampung

Akademisi Petakan Delapan Bencana Berisiko di LampungIlustrasi Gempa (IDN Times/Arief Rahmat)

Berdasarkan keterangan dari Zulkifar selaku wakil ketua tenaga ahli penelitian kebencanaan ITERA bersama BPBD, delapan bencana menjadi bahan penelitian di antaranya banjir, cuaca ekstrem, kekeringan, gempa, kebakaran hutan dan lahan, tanah longsor, tsunami, gelombang tinggi.

Menurutnya, secara umum seluruh kabupaten/kota di Lampung memiliki risiko beragam mulai dari rendah sampai tinggi. Di Kabupaten Way Kanan menurutnya, memiliki risiko paling tinggi kebakaran hutan dan lahan (Karhutla).

Sedangkan kabupaten risiko tujuh bencana, hampir merata adalah Pesisir Barat. Kemudian beberapa daerah yang memiliki multirisiko tinggi dibanding daerah lainnya adalah Tanggamus, Pesisir Barat, Pesawaran, dan Lampung Selatan.

Baca Juga: Itera Kembangkan Riset Mitigasi Bencana dan Desa Berbasis Sains

3. Ancaman, kerentanan dan kapasitas bencana alam di Lampung

Akademisi Petakan Delapan Bencana Berisiko di LampungIlustrasi (IDN Times/dok BPBD PPU)

Zulfikar menyatakan, berdasarkan hasil analisis indeks risiko bencana banjir di Provinsi Lampung dengan mempertimbangan aspek ancaman, kerentanan dan kapasitas, ada 136 titik lokasi kerap dilanda banjir setiap tahunnya di 14 kabupaten/kota. Dari wilayah tersebut, terbagi menjadi tiga wilayah sungai yang sehingga potensi banjirnya lebih tinggi dibanding daerah lain yaitu Mesuji- Tulang Bawang, Seputih Sekampung dan Semangka.

Selanjutnya potensi bencana tanah longsor, biasanya sering terjadi di daerah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) dan Gunung Rajabasa.  “Jadi sesuai kondisi tofografi tanah longsor paling berpeluang besar itu di Lampung Barat, Lampung Utara, Way Kanan, Lampung Selatan, Pesisir Barat,  Tanggamus serta Pesawaran," papar dosen program studi Geomatika ITERA tersebut, Jumat (22/1/2020).

Zulfikar menambahkan, selain itu Provinsi Lampung juga merupakan salah satu dari 11 provinsi mengalami kekeringan cukup luas di Indonesia. Ada kabupaten terdampak signifikan yakni, Mesuji, Tulang Bawang, Lampung Utara, Lampung Barat dan sebagian wilayah Lampung Tengah.

Kekeringan tersebut juga mengancam daerah persawahan di Lampung Timur, Lampung Selatan, Tanggamus dan Pesawaran. Berdasarkan hasil survei dilakukan ITERA, terdapat sumber irigasi, bendungan dan pintu air yang bermanfaat untuk mengairi persawahan namun sudah tidak berfungsi dan rusak sehingga sebagian sawah petani bergantung pada sumur bor dan hujan.

4. Rekomendasi kebijakan yang diberikan dari hasil penelitian

Akademisi Petakan Delapan Bencana Berisiko di LampungFreepik.com

Setelah mendapatkan hasil dari kajian risiko bencana dengan ruang lingkup Provinsi Lampung merujuk tingkat kedalaman analisisnya adalah kecamatan, menurut Zulfikar perlu adanya tindak lanjut. Itu berupa penyusunan kajian risiko bencana di setiap kabupaten/kota agar tingkat analisisnya menjadi lebih detail yaitu kelurahan atau desa.

Selain itu, adanya hasil kajian ini dapat digunakan dan menjadi bahan referensi koordinasi antar Organisasi Perangkat Daerah (OPD) untuk melaksanakan penataan, perencanaan dan pengembangan daerah yang bersangkutan. Zulfikar juga mengatakan hasil dari penelitian tersebut langsung diberikan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota.

“Jadi selain kami beritahu risiko bencana itu seperti apa kami juga menambahkan untuk sekiranya apa yang bisa dilakukan oleh-oleh teman-teman di daerah agar bencana ini bisa dikurangi dampaknya. Karena bencana kan gak bisa dicegah, masa mau gempa dilarang kan gak mungkin. Tapi kita bisa mengurangi dampaknya dan itu sudah kami berikan teman-teman di kabupaten,” paparnya.

5. Minimnya sumber dana untuk merealisasikan hasil penelitian

Akademisi Petakan Delapan Bencana Berisiko di LampungIlustrasi Uang Rupiah (ANTARA FOTO/M RISYAL HIDAYAT)

Menurut Zulfikar, apa yang sudah diberikan dari hasil penelitian dan dilanjutkan oleh BPBD sudah berjalan meski pun belum sempurna. Itu lantaran terbatasnya anggaran serta keinginan politik di daerah.

“Jadi apa yang kami sarankan seringkali ingin dilakukan tapi karena kekurangan dana akhirnya tidak terlaksana secara maksimal. Tapi beberapa kabupaten yang awalnya belum memiliki desa tangguh bencana saat ini sudah dibentuk jadi ya ada kemajuan lah,” ujarnya.

Zulfikar menambahkan, pemerintah daerah lebih baik mencegah daripada mengobati sebab itu sangat penting. Sehingga lebih baik mengeluarkan uang yang mungkin lebih besar sekarang daripada nanti menunggu ada kejadian baru digelontorkan dananya. “Artinya teman-teman BPBD menurut kami juga membutuhkan beberapa bantuan tambahan dana untuk melaksanakan programnya dengan lebih baik,”terangnya.

Lebih lanjut disampaikannya, pemerintah juga perlu mengadakan integrasi. itu lantaran, risiko penelitian yang dilakukan 2019 bisa tidak sesuai dengan perencanaan wilayah yang sudah dilakukan tahun sebelumnya.

“Nah bisa jadi perencanaan wilayah ini gak sinkron dengan bencana. Misal kami bilang di daerah tersebut berisiko tinggi untuk gempa bumi dan longsor jadi jangan bikin rumah di sana tapi ternyata udah terlanjur ada yang bikin di sana karena dulunya belum ada pemikiran untuk pembangunan berbasis bencana alam,” jelasnya.

Zulfikar menjelaskan, seringkali sosialisasi ke masyarakat juga masih kurang sebab dana dari pemerintah untuk sosialisasi tersebut memang tidak banyak. Namun menurutnya, dari ITERA memiliki tenaga yang cukup banyak bisa diajak untuk kerja sama dalam rangka untuk menyosialisasikan dalam pembangunan dan pencegahan terhadap efek atau dampak bencana.

“Artinya ketika bencana terjadi di Lampung kita sudah siap apa yang harus dilakukan. Kemudian tidak panik dan bingung apa yang harus dikerjakan,” tandasnya.

6. Bencana 2020 tak ada korban jiwa

Akademisi Petakan Delapan Bencana Berisiko di LampungIlustrasi Gempa (IDN Times/Sukma Shakti)

Sekretaris BPBD Provinsi Lampung, Indra Utama, menyampaikan, terkait kajian risiko bencana memang berfungsi untuk mengurangi risiko bencana yang terjadi. Penelitian itu dilakukan selama lima tahun sekali.

“Kenapa dikaji setiap lima tahun, misal bencana banjir kita memperbaiki sungai-sungai. Nah kalau udah diperbaiki itu akan berubah indeks resikonya jadi kecil sekali kemungkinan terjadi. Artinya potensi banjirnya tetap, tapi karena sudah kita perbaiki itu risikonya sangat kecil,” ujarnya.

Indra menambahkan, selain itu terkait dana anggaran BPBD 2021 menurutya meningkat dibanding tahun lalu. Dari Rp5 miliar saat ini menjadi sekitar Rp9 Miliar. Dana tersebut di luar kegiatan tambahan seperti perbaikan infrastruktur yang tidak setiap tahun atau bergantung kebutuhan.

Sementara terkait kerugian bencana menurutnya pemerintah daerah lebih rinci mendatanya. Kerugian bencana menurutnya, bisa miliaran per satu kali terjadi bencana.

"Perhitungan itu kalau dinilai dari rumah rusak bisa dihitung. Tapi kalau dampak kerusakan itu yang jadi masalah. Misal jembatan rubuh kerugian satu miliar tapi dampak dari jembatan itu berapa kegiatan ekonomi masyarakat yang terhambat itu yang susah (dihitung),” ujarnya.

Indra menyampaikan, terkait bencana yang terjadi sepanjang 2020 tidak ada korban jiwa. Namun itu bukan sebuah prestasi, tetap saja harus ada upaya untuk meminimalisir terjadinya bencana.

“Ada yang meninggal itu setelah kejadian bencana karena kepeleset. Mungkin gini karena sudah rutin jadi orang udah tau kalau hujan seperti apa mereka udah bisa menyelamatkan diri. Cuma kan kita juga gak bisa bangga karena gak ada korban jiwa tapi tetap harus ada upaya juga jangan sampai banjir,”terangnya.

Baca Juga: Walhi: 37,4 Persen Hutan di Lampung Rusak

Topik:

  • Deryardli Tiarhendi
  • Martin Tobing

Berita Terkini Lainnya