Walhi: 37,4 Persen Hutan di Lampung Rusak

100 ribu Ha penguasaan kawasan hutan oleh koorporasi

Bandar Lampung, IDN Times - Bencana ekologis tak kunjung teratasi telah membawa Indonesia di ambang kehancuran yang cukup serius, tak terkecuali Provinsi Lampung. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Lampung merilis data Catatan Akhir Tahun 2020 dalam diskusi bertema “Pulihkan Demokrasi, Pulihkan Lampung, Untuk Keadilan Ekologis”, Selasa (19/1/2021)

Berdasarkan catatan tersebut, menyoroti isu wilayah kelola rakyat, semakin terdeforestasinya hutan di Provinsi Lampung, pertambangan pasir laut dan  kejahatan lingkungan di sektor pesisir, Sorotan lainnya, kerusakan ekologis di kawasan pesisir, dampak dari perubahan iklim, Isu perkotaan dan bencana ekologis, pertambangan ilegal, dan konflik sumber daya alam yang belum terselesaikan di Provinsi Lampung.

1. Kerusakan hutan di Lampung mencapai 37,42 persen

Walhi: 37,4 Persen Hutan di Lampung Rusak(Ilustrasi) ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas

Berdasarkan catatan Walhi total kawasan hutan di Lampung 1.004735 hektare (Ha). Dari total tersebut, luas kerusakannya sudah mencapai 375.928 Ha atau 37,42 persen. 

Menurut Direktur Walhi Lampung, Irfan Tri Musri, penguasaan kawasan hutan mencapai 100 ribu Ha oleh koorporasi di Lampung  Contohnya, PT Silva In Hutani di Kabupaten Mesuji 43.100 Ha; PT Budi Lampung Sejahtera di Kabupaten Way Kanan 9,600 Ha; PT Inhutani V Unit Lampung 58,45 Ha, PT Allindo Embryo Agro di Giham Tahmi Kabupaten Way Kanan 6.925 Ha; dan PT Penyelamat Alam Nusantara di Way Pisang Kabupaten Lampung Selatan 543 Ha.

Selain itu, terkait aktivitas illegal loging menurut Irfan hingga saat ini masih sangat masif di Lampung. Bahkan, belum ada satu pun kejahatan illegal loging yang berhasil ditangkap.

“Yang ditangkap itu sopir, tukang angkut angkut kayu atau tukang tebangnya. Kalau yang pelaku dibelakangnya belum ada yang ditangkap,” ujar Irfan.

2. Alih fungsi mangrove berpotensi memperparah kerusakan iklim

Walhi: 37,4 Persen Hutan di Lampung RusakFacebook.com/nusapenidadestination

Provinsi Lampung mempunyai panjang garis pantai 1.105 kilometer. Namun panjang garis pantai tersebut tak diimbangi dengan tanaman mangrove yang bisa mencegah terjadinya abrasi.

Menurut Irfan, Lampung hanya memiliki sekitar 2000 Ha kawasan mangrove. Jumlah tersebut belum memenuhi kebutuhan garis pantai di Lampung. “Kalau kita kalkulasikan dengan panjang garis pantai minimal ada sekitar 4000 hektare kawasan hutan mangrove yang ada di kawasan Provinsi Lampung,” ujarnya.

Dia menjelaskan, alih fungsi lahan mangrove semakin memperparah kerusakan iklim global. Padahal, mangrove memiliki cadangan dan persediaan karbon tiga sampai empat kali lipat lebih banyak dari tumbuhan biasa.

“Perubahan iklim saat ini berpotensi menimbulkan kekeringan, kebanjiran terus abrasi pantai dan kenaikan permukaan air laut sampai dengan pengaruh terhadap musim,” jelasnya.

3. Kondisi pesisir provinsi Lampung semakin buruk

Walhi: 37,4 Persen Hutan di Lampung RusakKondisi pesisir Galesong Raya yang terdampak abrasi. IDN Times / ASP Sulsel

Di kawasan pesisir pantai timur Lampung Selatan, masyarakat sekitar tambak merasakan buruknya kondisi pesisir karena abrasi tiap bulannya terus meningkat.  Berdasarkan temuan Walhi Lampung, di pesisir Pantai Margasari, terdapat gumpalan oli  berbusa berwarna cokelat keputihan dan cairan oli berwarna hitam di bibir pantai. Panjangnya berkisar 798 meter dan lebar 10 meter, serta kedalaman cemaran limbah relative 4-5cm.

Menurut Irfan, hingga saat ini belum ada dampak serius yang terlihat di wilayah tersebut. Temuan lainnya, di pesisir Pantai Muara Gading Mas, terdapat temuan limbah seperti aspal berbentuk semi padat dengan panjang berkisar 1.978 meter dan lebar sekitar 7 meter.

Selain itu, di pesisir Pantai Bandar Negeri juga terdapat temuan limbah berupa aspal dan oli yang berserakan di bibir pantai. Panjangnya sekitar 2.173 meter dan lebar sekitar 7 meter.

“Dampak pencemaran limbah ini terhadap Pantai Muara Gading Mas langsung berdampak terhadap kebersihan pantai wisata di Muara Gading Mas utamanya Pantai Kerang mas,” terang Irfan.

Kejadian serupa imbas limbah aspal dan oli terjadi di pesisir pantai Desa Margasari, Desa Sri Minosari, Desa Muara Gading Mas, Desa Bandar Negeri, Desa Karya Makmur dan Desa Karya Tani, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur.

4. Penyempitan sungai dipengaruhi sampah

Walhi: 37,4 Persen Hutan di Lampung RusakKondisi tumpukan sampah di TPA Bakung, Bandar Lampung. (IDN Times/Silviana)

Sampah yang ada di Kota Bandar Lampung saat ini mencapai 1.000 ton per hari. Jumlah tersebut bukan merupakan akumulasi keseluruhan sampah yang ada di Kota Bandar Lampung, melainkan sampah-sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga yang hanya diangkut dan masuk ke Tempat pembuangan Akhir (TPA) Bakung berlokasi di Teluk Betung kota setempat. 

Menurut Irfan, masalah persampahan tersebut memperparah kondisi sungai maupun pesisir kota. Selain permasalahan sampah di sungai, beberapa aktivitas usaha juga diduga melakukan perusakan dan pencemaran sungai di Kota Bandar Lampung.

Itu merujuk pantauan sungai menjadi tempat pembuangan segala macam limbah, mulai dari limbah domestik, sampah, tinja, dan akhirnya mencemari sungai-sungai yang ada di Kota Bandar Lampung.

“Tercatat sepanjang tahun 2020 ini telah terjadi sembilan kasus terkait kondisi sungai di Kota Bandar Lampung, hal ini dikarenakan sungai di Bandar Lampung mengalami pendangkalan dan penyempitan. Selain itu, terkait manajemen pengelolaan sungainya juga masih buruk,” papar Irfan.

5. Belum ada upaya serius dari pemerintah Provinsi Lampung

Walhi: 37,4 Persen Hutan di Lampung RusakCatatan akhir tahun Walhi Lampung (IDN Times/Silviana)

Dari berbagai fenomena kerusakan alam tersebut, Walhi Lampung menilai belum ada upaya serius dari pemerintah Provinsi  Lampung serta aparat penegak hukum dalam memberi sanksi tegas terhadap pelaku kejahatan lingkungan.

Menurut Irfan, Walhi Lampung telah menyuarakan kepada pemerintah Provinsi Lampung untuk mencapai keadilan ekologi dalam pengelolaan lingkungan hidup untuk mendorong perbaikan dan kondisi lingkungan di Lampung. Misalnya, Walhi memberikan rekomendasi kepada Pemprov Lampung melalui DPRD Provinsi Lampung agar menghentikan revisi Perda Provinsi Lampung Nomor 1 Tahun 2018 tentang rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K) Provinsi Lampung.

Selain itu, meminta gubernur Lampung mendukung dan mendorong pemberian pengakuan negara atas wilayah kelola rakyat melalui skema perhutanan sosial. Itu sebagai solusi penyelesaian konflk tenurial (lahan) di dalam kawasan hutan serta perbaikan fungsi kawasan hutan dan peningkatan ekonomi masyarakat.

Rekomendasi lainnya adalah meminta gubernur dan DPRD Provinsi Lampung untuk membuat kebijakan Perda atau Pergub tentang pengelolaan hutan berbasis masyarakat dan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Topik:

  • Martin Tobing

Berita Terkini Lainnya